Are Gau dan Ketulusan TNI Bertahan di Bukit Curam Mengurai Mimpi Warga Wolokota Ende (2)
Tantangan jalan darat berat. Bukan hanya bukit-bukit curam. Mereka juga mesti waspada terhadap serangan babi hutan atau ular.
Kehadiran TNI membangkitkan asa warga Wolokota yang mulai lelah menanti kapan bisa menikmati akses jalan ke Desa mereka. Desa mereka di sebelah timur, di balik bukit dari titik start itu.
Usai bercandaria, mereka lalu berpencar, berjalan kesana kemari mencari signal, sekedar memberi kabar kepada anak istri. Senyum mereka merekah, karena bisa menumpahkan rindu meski hanya lewat telepon.
Ignasius Sari (40) warga Wolokota, kepada POS-KUPANG.COM, mengatakan, mereka selalu siap membantu TNI meretas bukit agar warga Wolokota bisa menikmati akses jalan, namun terbersit ragu apakah TMMD bakal sampai ke Wolokota.
Kata Ignasius di Wolokota ada sembilan puluh dua kepala keluarga terbagi dalam tiga dusun. Mereka membagi per dusun untuk membantu TNI membuka jalan.
"Sebenarnya saya ragu juga apakah ini bisa selesai sampai di Wolokota atau tidak," kata Ignasius sembari memandang jauh ke bukit-bukit. "Tapi dengan kehadiran TNI saya percaya kalau kita sama-sama dan ke depannya banyak orang peduli dengan Wolokota, pasti banyak kemajuan," sambungnya.
Apresiasi untuk TNI juga datang dari Drs. Abraham Badu, M. Si, orang Wolokota yang saat ini menjabat sebagai Assisten I di Setda Ende. Abraham Badu merupakan orang pertama dari Wolokota yang meraih gelar sarjana dan magister.
Cerita tentang are gau membuat Abraham terngiang kisah perjuangannya di masa lalu. Abraham selalu bawa are gau ketika bepergian ke ladang. Juga ketika ia berangkat ke Ende untuk melanjutkan pendidikan jenjang SMP dan SMA.
Abraham meraih gelar Sarjana ilmu sosial di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, pada tahun 1979/1980. Beberapa tahun kemudian mengambil magister di Universitas Indonesia (UI).
"Wah kalau bicara perjuangan dulu, memang luar biasa menantang. Yah makanya pas ada TMMD 108 ini buka jalan di sana saya dukung dan senang," kata Abraham saat diwawancarai POS-KUPANG.COM di ruang kerjanya, (10/7/2020).
Abraham menceritakan ketika keluar Wolokota mereka biasanya melalui jalur laut, mengunakan perahu dayung. Namun saat musim ombak akses melalui laut mati total.
"Yah kalau ombak besar siapa berani, kami jalan bukit-bukit curam, harus hati-hati dan bekal yang selalu kami bawa itu are gau, karena sangat praktis dan bertahan lama," ungkapnya.
Tantangan jalan darat berat. Bukan hanya bukit-bukit curam. Mereka juga mesti waspada terhadap serangan babi hutan atau ular.
Untuk biaya sekolah dan kuliah, kata Abraham, orangtuanya bertani dan jual tikar. Tikar dibuat sendiri oleh ibunya. "Jadi memang rata-rata perempuan di Wolokota, sejak kecil sudah dilatih oleh ibu mereka menyaman tikar," ungkapnya.
Dandim 1602 Ende, Letkol Inf Fuad Suparli kepada POS-KUPANG.COM mengatakan, mereka memilih membuka jalan ke Wolokota, karena warga sudah lama menanti bisa menikmati akses jalan.
Personil TNI yang dikerahkan seratus lima puluh orang. Karena masih dalam kondisi pandemi Covid-19, maka sebelum turun ke lapangan semua personil dirapid tes.