News Analysis
Dr Laurens Syahrani MPA Dosen Fisipol Undana Bicara Soal Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020
Penetapan daerah tertinggal tahun 2020-2024 yang didalamnya terdapat 13 kabupaten di NTT sesungguhnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan
POS-KUPANG.COM - TERBITNYA Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 tentang penetapan daerah tertinggal tahun 2020-2024 yang didalamnya terdapat 13 kabupaten di NTT sesungguhnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Mengikuti logika Perpres ini, maka kita segera paham bahwa NTT masih mengidap persoalan di bidang perekonomian, sumber daya manusia, sarana prasarana, kemampuan keuangan daerah, serta aksesibilitas.
Indikator lain seperti tingkat kemiskinan, kondisi stunting yang tinggi adalah situasi tidak terelakkan yang menunjukkan ketertinggalan NTT dibandingkan dengan daerah lainnya di negeri ini. Secara singkat saya ingin mengajukan salah satu penjelasan tentang ketertinggalan NTT dalam situasi yang disebut sebagai pemerintahan normal dan implikasinya.
• Hikmah RAMADHAN: Kriteria Penerima Sedekah
Salah satu persoalan serius NTT adalah pemerintahannya masih terus bekerja dengan standar normal hingga saat ini. Padahal ketertinggalan NTT adalah sesuatu yang levelnya krisis.
Di daerah lain, jika pemerintahnya tidak bekerja maksimal hanya akan menghasilkan pelambatan kemajuan ekonomi. Namun di NTT, tidak maksimalnya kinerja pemerintah dampaknya akan lebih serius yaitu melempar NTT jauh ke belakang pada situasi kemiskinan yang semakin ke sini semakin kompleks.
Ketertinggalan NTT bukan sekadar perkara pendapatan daerah. Lebih jauh situasi ini menuntut banyak korban antara lain kualitas pendidikan anak-anak yang buruk, kesehatan yang tidak memadai, hingga munculnya solusi nekat warganya menjadi tenaga kerja ilegal di luar negeri dimana nyawa menjadi taruhannya.
• Hujan Iringi Pemakaman Djoko Santoso
Dalam standar normal, kerja pemerintah cenderung menjadi rutinitas yang ditandai oleh tidak adanya inovasi kebijakan, keberanian mengambil keputusan penting pada hampir semua level pemerintahan minimal dalam 25 tahun terakhir untuk merespon kompeksitas NTT.
Dalam kurun waktu ini, program Desa Mandiri Anggur Merah misalnya yang dijalankan selama hampir 10 tahun di pemerintahan sebelumnya nyaris tidak terendus jejak implikasinya bagi perubahan kondisi sosial dan ekonomi warga NTT khususnya di pedesaan.
Saat ini, program kelorisasi, kebijakan tenaga kerja ilegal yang gencar didiskusikan selama ini belum juga menampakan tanda-tanda memiliki daya ledak kebijakan yang mampuni. Dalam kurun waktu ini pula, reformasi birokrasi juga tidak jalan-jalan.
Penataan birokrasi masih bergulat di level permukaan seperti penataan nomenklatur struktur, rotasi pejabat birokrasi yang sifatnya rutin namun tidak stragis dan bahkan cenderung terjebak sebagai mekanisme balas jasa.
Implikasinya serius, saat ini birokrasi justru bertransformasi menjadi struktur yang sulit dikendalikan bahkan dengan mekanisme hirarkis dari level pejabat politik sekalipun.
Hari ini reformasi birokrasi adalah cerita tidak gampang karena berhadapan dengan struktur perilaku yang terlampau mapan dan stabil sehingga memiliki daya tolak (resisten) yang kuat terhadap upaya reformasi sebagaimana tesis Caiden (1969) tentang resistensi birokrasi .
Tesis pemerintahan normal inilah yang bagi saya menjadi salah satu sebab dasar yang melahirkan paradox kebijakan ala NTT. Dalam situasi krisis (ketertinggalan), berbagai pilihan kebijakan termasuk regulasi, program, anggaran, mobilisasi birokrasi, desain kinerja hingga dinamika politik lokal justru masih digerakan atau bekerja dalam logika normal. Paradoks semacam inilah yang menjelaskan ketertinggalan NTT hingga saat ini. (cr1)