Anton Doni : Perlu Ada Skema Bantuan untuk Cluster Mahasiswa Terdampak

Belum ada skema bantuan yang secara jelas ditujukan kepada mereka. Pemerintah diharapkan tidak tutup mata terhadap cluster

Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/ISTIMEWA
Garda NTT bersama mahasiswa Flores Timur 

Anton Doni : Perlu Ada Skema Bantuan untuk Cluster Mahasiswa Terdampak

POS-KUPANG.COM--Mahasiswa adalah salah satu cluster terdampak pandemi Covid-19 yang belum ditangani secara serius. Belum ada skema bantuan yang secara jelas ditujukan kepada mereka. Pemerintah diharapkan tidak tutup mata terhadap cluster terdampak yang kasat mata ini.

Hal ini diungkapkan Anton Doni dalam rilisnya yang diterima POS-KUPANG.COM, Minggu, (3/5/2020).

Skema bantuan sembako di perkotaan Jabodetabek yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) lanjut Anton, belum jelas. Apakah dapat menjangkau cluster mahasiswa terdampak yang merupakan mahasiswa perantauan yang macet aliran dananya. Ketiadaan dukungan administrasi karena sebagian besar tidak memiliki KTP Jabodetabek merupakan kelemahan mereka dalam mengakses bantuan sosial yang ada.

Karena itu, kata Anton, kalau perhatian terhadap cluster terdampak ini harus dilakukan melalui bantuan sembako, maka perlu ada kebijakan afirmatif dari Pemda Jakarta atau Jabodetabek maupun Pemerintah Pusat untuk melonggarkan persyaratan administrasi untuk mahasiswa perantauan. Agar tahapan bantuan sosial berikutnya dapat diakses. Dan perlu ada sosialisasi yang jelas agar mereka dapat mengakses bantuan ini.

Alternatif kedua, lanjut Anton, melalui jalan BLT Dana Desa.

"Saya sudah berkirim surat kepada Menteri Desa, dan melakukan komunikasi whatsapp panjang dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Desa. Namun demikian terkendala dengan definisi konvensional mereka tentang kewargaan desa dan regulasi bantuan yang ditujukan kepada keluarga miskin," tegas Anton.

Selain itu, lanjut Anton, bahwa kewargaan desa haruslah dipahami lebih dari batasan kependudukan. Dan kalau kita lihat jiwa Undang-Undang Desa yang baru, warga Desa tidak harus sekadar dipahami sebagai mereka yang tinggal di Desa dan berKTP desa yang bersangkutan.

Warga desa, menurut Anton, mencakup mereka yang merantau, dan anak-anak desa yang merantau untuk urusan pendidikan. Jika konsep itu terlalu longgar, maka ia wajar diperketat dengan batasan administrasi kependudukan di masa normal. Tapi di tengah masa sulit, konsep kewargaan yang longgar yang sebetulnya tepat untuk keadaan desa tradisional kita dapat diterapkan.

"juga mengatakan bahwa Pemerintah perlu melihat fakta keadaan desa secara lebih cermat dan dengan kesadaran akan keberagaman. Keluarga miskin di desa tidak hanya mereka yang bertahan hidup di desa. Dalam kasus sejumlah daerah di NTT, keluarga miskin di sana keluar dari desa dan merantau mencari pekerjaan dan penghasilan di luar desa," ujar Anton.

Keluarga miskin, kata Anton, bahkan termiskin itu, yang merantau di luar desa dan di luar negeri, kemudian mau menyelamatkan masa depan mereka dengan menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Karena itu adalah salah jika Pemerintah melihat bahwa anak-anak yang kuliah di kota besar adalah mereka yang bukan berasal dari keluarga miskin di desa.

Karena itu jika kategori keluarga miskin yang berhak menerima BLT Dana Desa, jelas Anton,  dapat didefinisikan sedemikian rupa untuk menjangkau keluarga miskin di desa yang sedang merantau ke luar negeri dan atau anak-anak desa yang sedang merantau kuliah dan mengalami kesulitan hidup, maka BLT Dana Desa dapat merupakan jalur pengaman sosial yang dapat diandalkan.

"Sekali lagi saya mau menegaskan bahwa seharusnya Desa merupakan jalur pengaman sosial paling efektif dan terkelola untuk mahasiswa perantauan yang terdampak pandemi Covid 19. Karena di desa dapat dilihat mana mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dan mana yang bukan," ujar Anton yang mantan Ketua PMKRI Cabang Kupang ini.

Anton menambahkan, mahasiswa dengan orang tua atau anggota keluarga penopang pendidikan mereka di perantauan yang sedang jatuh miskin karena PHK atau diistirahatkan sementara dan mana yang tidak. Semuanya dapat diklarifikasi melalui mekanisme musyawarah desa.

Pemerintah tingkat atas seperti Pemda atau Kementerian Desa, kata Anton, dapat memfasilitasi kebijakan dengan tujuan ini. Dan kalau Pemda dan Kemendesa sedang mati gaya tanpa kreativitas kebijakan, maka Presiden perlu turun tangan untuk mendorong adanya perhatian ke sana. Sektor terdampak mahasiswa perantauan tidak boleh diabaikan.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved