Opini Pos Kupang
Sebuah Esei Tentang Corona
Lalu korbanpun berjatuhan, dan terus berjatuhan karena kesulitan beradaptasi menghadapi bahaya yang tak kelihatan ini. Orang bilang kena virus corona
Jika kerusakan lingkungan menjadi semacam trigger bagi mutasinya berbagai virus baru, maka bukan tidak mungkin saat ini corona diam-diam menertawakan dan mencemooh kita, "wahai manusia, inilah akibatnya kalau ganggu habitatku." Cemooh ini mengingatkan bahwa kesehatan manusia, hanya akan dinikmati dengan baik jika kesehatan lingkugan dan makluk hidup lain juga dijaga.
Kelihatannya corona tetap setia mengubah diri mengikuti perkembangan jaman, berbanding lurus dengan laju keserakahan manusia mengeksploitasi lingkungan. Maka penanganan corona dengan demikian tidak hanya sebatas penyediaan pelayanan medis kuratif yang memadai dan terjangkau bagi penderita, tetapi juga juga menciptakan lingkungan yang sehat di tempat mereka hidup, bermain, bekerja dan bermasyarakat, agar kesehatan rakyat tidak terganggu, baik oleh perilakunya sendiri, maupun perilaku orang lain. The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of fundamental rights of every human being.
Kita hidup dalam era yang penuh dengan getar-getar roh jahat, tetapi juga diwarnai oleh Roh Kebenaran. Maka mengatasi corona secara bersama-sama tidak lagi sekadar tantangan praktis tapi juga moral, dan religius. Memang agama tidak dapat memberi jawab bagi permasalahan dan penderitaan yang digelombangkan corona. Namun kendati tahu begitu, dalam hari-hari senyap ini, orang terus tiarap di pangkuan agama. Kendati ragu dan putus asa, orang terus berharap dari sanalah keselamatan akan datang.
Dan ketika corona dikaitkan dengan Tuhan. Bukan sekadar yang mahakuasa, tapi juga yang maharahman dan maharahim, agama memberi jawab: wabah pasti berlalu. Hanya butuh kesabaran. Tuhan tidak pernah terlambat, juga tidak pernah salah memberi pertolongan. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya.
***
WUHAN april 2020. Seperti pertanda yang datang dari alam, setiap musim ada akhirnya. Saat daun-daun segera berubah warna menjadi kuning, lalu berguguran ditiup angin, saat itu pulalah sebuah musim akan berakhir dan pucuk-pucuk hijau kembali meranggas. Wuhan telah mensyukuri berakhirnya pandemi.
Barangkali itulah salah satu sebab kegembiraan yang melegakan saat ini. Meski kita baru terdampak dan angka positif terus bertambah, orang tidak lagi berada pada posisi defensif, orang tidak lagi was-was berlebihan. Tapi adakah selebihnya hanya sepi?
Entahlah. Dari Wuhan kita menemukan bahwa corona hanya bisa dikarantina, sejauh kita setia mengkarantinakan diri. Dan dia akan mati iseng sendiri. Maka untuk kasih sayang kita kepada semua orang yang kita kasihi dan for our common future, mari mengkarantina diri. On care for our common home, we first had to change our selves mengikuti protokol pemerintah.
Jika kita enggan, maka tidak ada satu akar apapun untuk dibicarakan, selain kepongahan. Lingkungan kita sedang demam dan kita adalah coronanya. Kalau kita enggan, alam akan melalukan eleminisasi seperti kita mengeliminisasi virus. Dunia tidak diserahkan kepada kita untuk kegembiraan, tetapi untuk pengontrolan. Supaya kita menjadi manusia.
Keberanian untuk menerima diri sebagai manusia, akan membuat kita berani meninggalkan pelbagai keyakinan sosial yang membelenggu, termasuk keyakinan religius bahwa agama kita bisa menyelesaiakan pelbagai masalah dunia termasuk corona. Menjadi manusia artinya menerima ketak-berdayaan diri dan percaya Tuhan ikut serta dalam ketakberdayaan itu.
Time is a kind friend. Kita hanya perlu melihat ke air yang diam. Di sanalah kita akan tahu kenapa sejarah Tuhan penuh dengan wabah dan tulah. A thing of beauty is a joy for ever. Maka meski gentar, kita juga terhibur bahwa kita ikut mengalami pandemi ini dan menyadari bahwa kita tetap manusia yang rapuh, tetapi lebih berarti dalam rasa syukur. Karena Tuhan yang memiliki kita. Bukan sebaliknya. Bukankah sejarah Tuhan dimulai dengan kisah genesis, penciptaan kosmos, dan bukan penciptaan manusia, apalagi agama? (*)