Opini Pos Kupang
Saputangan Kafan Buat Tuan Corona, Opini 13 April 2020
"Tuan Corona, brengsek sekali Anda ini." "Kenapa?" Jawab Tuan Corona cuek. "Kejam! Seenakmu menggunting puluhan ribu nyawa di dunia
Saputangan Kafan Buat Tuan Corona
Oleh : Marsel Robot
Dosen, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana
Seumpama saja, corona adalah sosok seperti manusia, maka kita sebut saja "Tuan Corona."Ia perlahan menuju halaman rumah Anda. Ia berhenti sejenak, mengintai keluarga Anda.
Ia berjingkrak perlahan melampaui tanah gelombang di depan rumah Anda. Entah apa yang Anda lakukan terhadapnya? Marah? Pastilah. Atau bergegas menghunus parang pusaka yang di taruh di sudut almari. Tetapi, itu sangat sulit.
Tuan Corona justeru berubah menjadi pedang, beracun pula. Sebab, ia terjelma dari semua jenis libido manusia. Karena itu, Anda hanya berkemungkinan menyerangnya dengan sejumlah pertanyaan:
"Tuan Corona, brengsek sekali Anda ini." "Kenapa?" Jawab Tuan Corona cuek.
"Kejam! Seenakmu menggunting puluhan ribu nyawa di dunia dengan begitu sederhana. Dan Anda tahu?" "Apa itu?"
"Kota-kota pada mati diguyur ketakutan, prosesi penguburan massal diusap rintik kesedihan. Karnaval pulang rumah dan pulang ke dalam diri menjadi episode paling liris bagi umat manusia di abad ini.
Hari-hari ini begitu sulit kami bedakan desah tangisan atau nyanyian penutup peti jenazah. Hai! Tuan Corona! Masih berapa banyak lagi nyawa yang kau lumat?"
"Hehehe," agak parlente Tuan Corona menyahut, "Ya, jutaanlah. Itu tak terhitung dalam statistik pemerintahmu." "Terus, yang lain?" "Selebihnya Anda sendiri yang membunuh, atau oleh saudaramu?"
"Maksudmu?" "Di negara Anda akan ada penambahan lima kali lipat karena ada virus lain yang memanfaatkan kedatangan saya."
"Virus apa itu?" "Hoaks, dan sama kejamnya dengan yang saya lakukan. Sebab, kepanikan dan ketakutan menyumbangkan 50 persen kematianmu."
"Matilah kami. Lalu?" "Virus berikutnya, perilaku Anda yang jutek, cuek, dan ugalan. Saya menyuruh Anda pulang ke rumah. Toh, Anda tidak sampai-sampai ke rumah juga."
"Ah... kalu lihat sekarang. Kami di rumah kan." "Tidak, ini bukan rumah. Ini home stay, tempat engkau menunggu saya berlalu."
"Lalu, apa yang kaumau Tuan Corona...?" "Sabar, jangan potong pembicaraan saya. Saya mau lanjut, atau saya akan mencabut nyawamu?
Virus berikutnya lagi, Anda ini shok hebat. Kau kira bumi ini milikmu, lantas kau merampoknya. Memang ini bikinan Anda.
Kerjamu menggembur keadaan. Saatnya Anda kembali ke dalam diri, tanggalkan semua identitas lain selain kau cuma manusia yang tidak punya apa-apa.
Kesibukan Anda juga tak ada apa-apanya. Semua yang Anda lakukan tidak melebihi apa-apa."
"Memang kami harus melakukan apa?" "Anda terlalu sibuk sih. Tapi sampai hari ini Anda belum menemukan vaksin yang mengusir saya dari paru-parumu. Di negerimu ini paling banter memproduksi vaksin hoaks."
"Tapi, masih berapa lama Tuan Corona di negeri kami?" "Tergantung keadaan. Sepertinya masih lama?" "Bangsat! Mengapa Tuan tidak segera pergi?" "Anda tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mengusir saya."
"Kekuatan apa yang harus kami miliki Tuan?" "Pertama, Anda jangan bandel. Lanjutkan perjalanan menuju rumahmu dan menuju dirimu.
Tinggalkan semua rumah ibadah karena itu rumah ibadah yang paling megah ada di hati, di pikiran, dan perbuatanmu. Rumahmu juga adalah rumah ibadah. Ibadah di rumah menjadi urusan pribadimu.
Bukan ibadah di luar yang lebih banyak pose daripada meregukoase iman di sana. Kedua, saat ini paling indah untuk menyingkir belati di hati dan tumbuhkan melati di antara kalian. Bangunlah solidaritas untuk melawan saya."
"Tuan corona, kami hanya dapat memberikan saputangan dari kafan ini, tanda tak ada lagi yang tersisa dari perjuangan kami, selain berkabung.
Terimalah ini sebagai bukti bahwa Anda tidak hanya menusuk lambung hingga paru-paru, lalu mencekik pernapasan, tetapi masuk sampai pembulu kesadaran kami."
Ketika Anda menyerahkan saputangan kafan itu kepada Tuan Corona, diam-diam saya menghilang dari sisi kanan rumah Anda.
Namun, minimal, saya mendapatkan beberapa pesan hasil pertengkaran Anda dan Tuan Corona. Pertama, virus hoaks jauh lebih masif menciptakan kepanikan.
Keadaan sekarang begitu sulit membedakan antara berita dengan berita-beritaan. Media sosial selalu mengambil posisi sebagai pihak ketiga yang menggemburkan keadaan, sekaligus mereguk keuntungan berlipat ganda.
Tambahan pula, pejabat pemerintah yang gengsian menggunakan istilah asing seperti lockdown, social distancing dan istilah asing lainnya.
Rakyat mengira istilah-istilah ini sejenis virus yang menyebar bersamaan dengan virus corona.
Kedua, momen ini adalah petaka kemanusiaan yang sangat boleh jadi mengubah peradaban dan mereken-reken libido kemanusiaan yang kadang menenteng identitas murahan.
Corona pula yang memadamkan api dalam sekam kebencian Indonesia terhadap China. Sekelompok masyarakat Indonesia anti China, bahkan Presiden Joko Widodo sering dituduh antek China.
China dibenci, terutama karena dua hal. Pertama, China yang mengendalikan "piring nasi" (menguasai perekonomian Indonesia), dan kedua, China adalah bangsa kafir.
Tapi si kafir sudah menyumbangkan 40 ton alat kesehatan kenegeri fakir ini. Keadaan kian memburuk, pemerintah puyeng (pusing).
Tak tahan lagi, Presiden Joko Widodo menelpon Presiden China Xi Jinping. Inti pembicaraan ialah kerja sama kemanusiaan untuk mengatasi petaka corona.
Xi Jinping menyatakan siap mendukung dan membantu Indonesia dalam mengatasi pandemi Virus Corona COVID-19 saat ini.
"Virus tidak mengenal batas dan merupakan musuh bersama umat manusia," ujar Presiden Jokowi,
seraya menekankan bahwa Indonesia sangat menentang tindakan stigmatisasi dan siap bekerjasama dengan China untuk memperkuat solidaritas dan kerja sama internasional.
"Indonesia berharap dapat bekerja dengan China untuk memperdalam kerja sama dan mendorong pengembangan hubungan bilateral kedua negara," imbuh Jokowi. (Liputan6.com03 Apr 2020, 11:41 WIB).
Wabah tidak memandang harta, takhta, agama, golongan, suku, negara. Toh, kita hanya manusia, kekuatan kita adalah ketika melihat sesama sebagai manusia dan melakukan sesuatu untuknya.
Corona melumpuhkan semua libido kemanusiaan dan egoisme yang merasa paling berkuasa di bumi yang bukan miliknya ini. Kita mungkin hanya berkata seperti puisi di bawah ini.
Hanya saputangan dari kafan yang kumiliki
Menghapus darah pada ujung tombak takdir
Terbukalah tabir, aku tak punya apa-apa
Saputangan kafan menghapus belati dan hati
Dari doa sebentuk cari muka paling klasik
Hari-hari ini bulan bercahaya darah dikepung tangisan
Kamboja kuburan berbunga duka
Suara piano di ruang rutin ditelan pusara
Jalan pulang ke rumah lebih jauh daripada ke kuburan
Dan atas bukit, gereja kecil tergelincir oleh air mata
Corona mungkin suara semesta
yang sedang mengukur jarak antara dia dan kita (emer).