OPINI PASKAH: Menderita Bersama untuk Bangkit Lebih Kuat

Kita dipaksa menarik diri secara radikal. Mengurangi sedrastis mungkin waktu berada di luar rumah. Memotong kesibukan. Mengubah pola kerja.

Editor: Agustinus Sape
Shutterstock
Ilustrasi gunakan masker cegah penyebaran coronavirus 

Menderita Bersama untuk Bangkit Lebih Kuat

Oleh: Max Regus

(Imam Keuskupan Ruteng; Dekan FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Flores)

POS-KUPANG.COM - Nokia, yang pernah menjadi perusahaan raksasa handphone (HP) dunia, memiliki satu slogan. Connecting People (menghubungkan orang-orang). Konektivitas antar orang. Keterhubungan antar ruang hidup.

Kita tahu dengan pasti. Itu adalah penyokong utama globalisasi. Kotak-kotak hidup yang berjarak mesti terhubung. Dengan ringkas. Juga mesti dengan lekas. Akumulasi keberhasilan mesin globalisasi bergantung pada bekerjanya hukum ini.

Namun, sergapan Coronavirus mengatakan hal sebaliknya. Pada satu sisinya, hukum ini dianggap sebagai medium terbaik penyebaran Coronavirus. Secara fisik, kita diminta untuk membangun jarak. Tidak perlu terhubung satu sama lain lagi untuk jangka waktu yang tidak menentu.

Menderita Bersama

Kita sedang meniti hari-hari yang amat sulit. Segenap term yang membahasakan sesuatu yang negatif, justru dianggap memiliki makna positif. Terlebih menghidupkan. Isolasi diri, karantina mandiri, social-physical distancing, dan pembatasan sosial hadir begitu dominan.

Semuanya muncul sebagai mekanisme baru dalam usaha memutus rantai penyebaran Coronavirus. Kita dipaksa menarik diri secara radikal. Mengurangi sedrastis mungkin waktu berada di luar rumah. Memotong kesibukan. Mengubah pola kerja. Kita menderita. Pada titik tertentu.

Pergerakan sosial-ekonomi yang dibatasi, bagi sebagian dari antara kita, adalah pukulan mematikan. Terlalu banyak orang yang menggantungkan hidup dan asap dapur tetap mengepul dari arus lalu lintas manusia saban waktu. Semua itu tengah berhenti secara mendadak. Tidak ada uang. Tidak ada penghidupan. Siklus ekonomi bukan saja melambat, tetapi merongrong ketersediaan sembako. Orang-orang mulai menguras simpanan di buku tabungan mereka yang mungkin jumlahnya tidak seberapa.

Namun, sekali lagi, ada ajakan agar kita mau “menderita bersama”. Barangkali ini menjadi salah satu kristalisasi paling pedih dari usaha memerkaya solidaritas sosial saat  ini. Di tengah amukan pandemi Coronavirus.

Namun, ajakan ini niscaya ditempatkan pada maknanya yang paling membius kita secara positif-konstruktif. Pengungkapan kesediaan memaknai ajakan ini nampak dalam beragam bentuk. Kita sedang melihat begitu banyak insiatif kesukarelawanan yang datang dari banyak ranah. Usaha gigih memperlambat dan menghentikan penyebaran Coronavirus.

Konsumerisme, yang sekian mewabah dalam ruang perilaku manusia, juga sudah sekian lama menjadi gaya hidup berkebudayaan. Coronavirus menghadirkan suatu situasi di kekinian dan sebagai, cepat atau lambat, proyeksi masa depan umat manusia, dalam apa yang disebut dengan ‘kelangkaan’ (scarcity).

Fenomena panic buying yang terjadi di beberapa tempat di awal-awal serangan Coronavirus sebetulnya mengungkapkan ketakutan laten yang berdiam di sudut-sudut kehidupan manusia modern yang dibanjiri begitu banyak kelimpahan yang teramat rapuh. Salah satu hal paling sulit dikerjakan adalah belajar untuk hidup ‘apa adanya’.

Bangkit Lebih Kuat

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved