Opini Pos Kupang

Isolasi Sosial-Serentak di Eropa

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Isolasi Sosial-Serentak di Eropa

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Isolasi Sosial-Serentak di Eropa
Dok
Logo Pos Kupang

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Isolasi Sosial-Serentak di Eropa

Gabriel Adur, Bekerja di Keuskupan Agung Muenchen-Freising-Jerman

POS-KUPANG.COM - Mencekam dan menakutkan. Dua kata ini menggambarkan situasi di beberapa negara Eropa saat ini. Sejak minggu lalu Italia menetapkan bahaya epidemi Corona nasional. Penegasan pemerintah Italia dalam pernyataan resminya menguatkan peryataan badan kesehatan internasional ( WHO).

Sejak sat itu Italia mulai menghentikan kegiatan-kegiatan yang melibatkan begitu banyak orang.

Prakirakan BMKG, Sepuluh Lokasi Wisata di Sumba Berpotensi Diguyur Hujan Siang Hari Ini

Pertandingan sepak bola klub raksasa Juventus dan Inter Milan membuka mata setiap orang di Eropa akan bahaya penyebaran virus Corona made in China yang menjadi molotof waktu yang sudah dan siap meledak.

Pro kontra antara kubu yang menerima dan tidak menerima keputusan pemerintah terjadi. Ini biasa. Namun bukan hal yang biasa lagi ketika kita tidak melihat tujuan positif dari keputusan ini.

Tujuannya hanya satu: paling kurang memperlambat penyebaran virus. Tindakan preventif perlu diintensifkan agar masyarakat mawas diri. Kritikan begitu banyak orang yang melek akan situasi di berbagai media berseliweran.

Begini Suasana Rapat Koordinasi Pencegahan Covid-19 di NTT

Christiano Ronaldo dan Co mendapat kecaman publik karena mengeritik keputusan pertandingan tanpa fans di San Siro dan di berbagai stadion-bola bola due Eropa dan Italia dalam laga-laga nasional dan internasional seperti liga Champions dan liga Eropa.
Bukan hanya stadion-stadion Bola yang sepih.

Tempat-tempat konser musik dan teater pun sudah mulai kehilangan pengunjung. Penundaan jadwal konser musik dan teater terjadi. Entah sampai kapan. Kegiatan Berwisata dibatasi. Bahkan pemilik-pemilik restoran, hotel dan kafe membatasi para pengunjungnya.

Sekolah-sekolah dan universitas-universitas tidak melakukan aktivitas belajar mengajar dan perkuliahan. Perusahaan-perusahaan meliburkan banyak karyawan dan membuat home office (bekerja dari rumah ).

Bukan hanya Italia. Jerman, Perancis, Belanda, Belgia, Austria, dan negara-negara lain di Eropa Barat mulai mengambil kebijakan yang sama. Selain sekolah-universitas, perkantoran, dan perusahaan, gereja pun mendukug kebijakan pemerintah.

Bundes Kanzlerin Jerman Angela Merkel meminta agar masyarkat dan setiap orang untuk tetap tenang tapi waspada. Panik dan kepanikan dalam menghadapi situasi yang mencekam bukan solusi.

Langkah-langkah kecil seperti yang disarankan oleh para medis terutama para ahli virus ( virologen) meski menjadi acuan praktis dalam meredam lajunya perkembangan virus mematikan ini.

Beda dengan Italia, klub-klub bola Jerman mengambil inistiatif yang patut menjadi contoh publik. Pertandingan-pertandingan sepak bola Bundesliga pun dilangsungkan tanpa penonton. Bahkan kalau mungkin untuk sementara diberhentikan.

Untuk sementara konser-konser musik dan teater yang melibatkan seribu penonton ditunda dan atau dibatalkan. Agen-agen penjualan tiket berupaya untuk mengembalikan uang-uang penjualan tiket kepada para pembeli. Pemerintah berupaya untuk membantu secara finansial beberapa perusahaan yang menunda berbagai kegiatan dan meliburkan para karyawan.

Kegiatan-kegiatan ibadah dan rohani lain di gereja-gereja pun kini mulai dibatasi. Misalnya: dalam acara pernikahan, pembaptisan, atau penguburan diupayakan untuk dibuat dalam lingkunan keluarga.

Memang pahit! Sekaligus menyedihkan. Namun ini realitas. Awal musim semi sebenarnya menjadi waktu dan saat dan indah untuk mulai menikmati kehidupan setelah kita mengalami musim dingin yang panjang. Aktivitas-aktivitas budaya dan sosial yang menarik perhatian umum masyarakat mulai pertengahan Maret ditunda atau ditiadakan sama sekali.

Intermeso kehidupan melepas lelah setelah bekerja dengan menikmati musik, menikmati teater, membaca di tokoh-tokoh buku, dan perpustakaan umum atau ke stadion-stadion bola dan pesta-pesta rakyat terancam dan terpaksa ditiadakan.

Secara manusiawi memang sulit untuk diterima. Namun yang sulit ini meski dijalani. Memang bukan hal biasa, tapi yang unik ini di Eropa adalah merupakn realitas baru. Menjaga jarak agar aparat kesehatan bekerja baik dan maksimal. Sehingga jaminan kesehatan warga tetap terpelihara.

Jerman memang memiliki sistem kesehatan sangat baik. Rumah-rumah sakit memiliki dokter-dokter berkompeten didukung pula oleh ahli-ahli virus yang kualitasnya mendunia. Sistem kesehatannya diakui secar internasional.

Jerman dengan sistem asuransi kesehatannya yang diperuntukan untuk seluruh masyarakat tanpa membedakan si miskin dan si kaya menguatkan harapan mereka untuk bisa tetap hidup sehat.

Tenaga-tenaga medis Jerman mendukung keputusan politik pemerintah untuk membuat karantina dengan jangka waktu 14 hari bagi mereka yang positif. Mengasingkan pasien dari sentuhan dan relasi dengan orang lain merupakan cara strategis untuk tidak terjadi kontiminasi. Dengan itu tak ada dampak lanjutan dimana virus secara adil dibagikan kepada orang lain.

Cahaya matahari di awal musim semi tahun 2020 memang sangat menggoda. Ia pandai merayu. Kegenintannya ingin agar setiap insan dibiarkan terlelap dalam pelukannya. Di situ, pertimbangan rasional dan hati dipertanyakan.

Antara ingin menikmati hangatnya matahari bersama-sahabat dan kenalan atau lebih memilih sendiri. Kalau kita memilih ingin bersama dan semesra mungkin bersama orang lain, kemungkinan terjadi penyebaran. Tapi kalau kita menjaga jarak maka virus tidak disebarkan. Meski kerinduan tak terobati.

Jadwal-jadwal kunjungan keluarga pun bahkan dikurangi. Orang-orangtua yang pada umumnya tinggal di panti-panti jompo yang nota bene kelompok rawan terkena infeksi virus untuk sementara kurang mendapat kunjungan dari keluarga. Kerinduan mereka akan anak dan cucu diurung. Bukan hanya untuk mereka baik tapi juga untuk anak dan cucu.

Liburan panjang menjelang Paskah dan setelah Paskah tahun ini meski diisi dengan kegiatan-kegiatan pribadi. Kreativitas-estetis dan kognitif setiap warga agar tidak terjerumus dalam stress meski digali dan dikembangkan. Anak-anak sekolah memanfaatkan waktu secara efektif di rumah.

Terlihat jelas saat ini mal-mal dan fashion shope mulai sepi pengunjung.Ini secara ekologis merupakan kerelaan mutlak (meski terpaksa) untuk membiarkan udara kembali bersih. Ini juga mengurangi polusi. Di sisi lain sekaligus biaya dan anggaran sosial dan rumah tangga mengalami penghematan mutlak.

Check up ke dokter meski dijalani. Jelasnya untuk mengetahui bukan saja apakah saya terkena terkena virus atau tidak, namun untuk memastikan apakah sistem kekebalan tubuh saya kuat atau lemah. Ini kewajiban dan sekaligus tanggungjawab sosial rakyat. Bukan paranoia atau over panic charakter.

Sinergisitas antara seruan untuk tetap aman dengan keharusan memeriksa kesehatan memungkinkan adanya jaminan bahwa rakyat tidak ingin virus Corona merusak tatananan sosial.

Di sisi lain keharusan ini bisa saja mengubah jadwal-hidup harian rakyat. Di sini perubahan jadwal dalam rumah tangga dan kehidupan sosial masyarakat yang pasti dan ketat bertekuk lutut di hadapan ancaman si Corona. Kedisplinan waktu kerja pun tak berdaya dan kurang berfungsi seperti biasanya.

Virus Corona seakan-akan memperkuat egoisme masyarakat Eropa. Ketika kita berpergian dengan angkutan-angkutan umum terlihat jelas setiap penumpang baik kereta ataupun bus secara suka rela ingin menjauh dari penumpang lain.

Sehingga percuma kalau ada yang berupaya memakai parfum mahal saat ini, karena toh jarang orang mendekat sekalipun wangian sangat mengundang rasa. Tak perlu memaki lipstik kalau masker tidak mau kotor dan berwarna merah. Bahkan kerinduan untuk berjalan bergandengan tangan setiap pasangan seakan-akan dibatasi karena di setiap celah jari ada orang ketiga yang tidak menginginkan kemesaraan.

Ketidakpastian apakah seseorang terinfeksi atau tidak membuat relasi sosial masyarakat dibatasi. Isolasi sosial masyarakat saat ini memang tak pernah diinginkan. Namun konsekuensinya sangat besar. Berharap tak ada depresi sosial kolektif di saat udara hangat di awal musim semi yang indah.

Namun di balik semuanya ini teruslah menatap ke depan. Di sini harapan badai pasti berlalu meski kuat. Waktu akan menjawab semuanya. Di tengah isolasi sosial kita toh tidak mau dan tak akan melupakan sesama, seperti yang diserukan oleh Paus Fransiskus. Berharap waktu musim panas tiba si Corona bukan lagi seperti nona-nona dan nyong-nyong yang mau merebut kebahagiaan orang lain. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved