Cerpen
Cerpen Petrus Nandi: Memoar Ayah dan Batu Tua
Mentari pagi menyapa dari ufuk timur. Berkas-berkas sinarnya menyelinap di sela dinding rumahku yang terbuat dari papan.
POS-KUPANG.COM|KUPANG - Mentari pagi menyapa dari ufuk timur. Berkas-berkas sinarnya menyelinap di sela dinding rumahku yang terbuat dari papan, mendarat di permukaan kelopak mataku hingga terbuka.
Lolongan anjing, nyanyian ayam jantan dengan bunyi yang selalu sama, teriakan anak-anak yang melintas di depan rumah saat pergi ke sekolah, kicauan burung pipit yang hinggap di dahan-dahan bambu di belakang rumah, berpadu membentuk gita fajar yang indah.
Aku pun terbangun dan beranjak meninggalkan kamar tidur. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 6 pagi. Kulihat ayah sudah tak lagi di tempat tidurnya. Ibu juga demikian.
Mereka memang selalu begitu. Selalu tak kujumpai mereka di kamar tidur saat aku bangun pagi.
• Kabar Gembira, Tahun ini Pemerintah Tambah Cuti Bersama 4 Hari, Total 24 Hari
Bangun subuh dan memulai hari dengan membereskan rumah sudah menjadi rutinitas harian mereka. Sekitar jam 5, ibu sudah menyalakan tungku api. Sesudahnya, bersama para ibu di kampung ia bergegas ke sumber mata air untuk mengisi jerigen-jerigen air yang masih kosong.
Sumber mata air di kampung kami hanya satu. Jaraknya 300-an meter dari kampung. Letaknya pada bidang tanah yang miring memaksa warga kampung untuk menggali lubang di bawahnya untuk dijadikan penampung air. Debit airnya tidak stabil.
Pada musim hujan air biasanya mengalir cukup deras. Namun tidak demikian halnya pada musim kemarau. Debit air yang kecil memaksa para ibu berlomba-lomba mendapat giliran pertama menimba air. Jika saja ada yang terlambat, ia mesti berjaga selama berjam-jam hingga air yang tertampung cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seharian penuh.
Hari kemarin, aku sama ayah dan ibu pulang dari rumah nenek. Satu minggu kami menetap di rumahnya. Ia sempat berpesan agar sepekan ini ayah dan ibu tidak boleh melakukan kegiatan apa-apa di luar rumah.
"Bergiat di dalam rumah boleh, tetapi di luar rumah tidak boleh. Awas celaka!" Demikian pesannya. Entah apa alasannya dan apa konsekuensinya, aku sama ayah dan ibu tidak diberi jawaban. Nenek hanya bilang bahwa ia memiliki firasat yang kurang baik mengenai keluarga kami dalam pekan ini.
• DBD Renggut 13 Nyawa Anak Sikka, Ini Daftar Korbannya
Saat kulihat ayah membersihkan kebun mininya di samping rumah, aku langsung memergokinya, mengingatkannya pada pesan nenek dengan bahasaku yang polos.
"Anak sayang, nenek tidak punya maksud apa-apa. Ia hanya kasihan dengan kita. Seminggu yang lalu kita sudah membantu dia. Ayah memperbaiki rumah kecilnya yang reot, membersihkan ladang kecilnya. Pastilah kita kelelahan. Kamu minggu lalu kerjanya apa di rumah nenek?"
"Mencari dan mengumpulkan kayu api sama Doni dan Rian, teman baru aku." "Lalu, kamu lelah atau tidak?" "Lelah, yah..." "Nah, itu dia maksud nenek. Kalau kamu lelah, ya harus istirahat. Awas nanti kamu sakit kalau paksa kerja."
"Lalu, ayah gimana rasanya? Lelah kan?" Sambil mengelus-elus kepalaku, ia menjawab, "Ayah tidak sedikitpun merasa lelah.
Membantu nenek kamu seminggu kemarin membuat ayah tambah kuat dan bersemangat dalam bekerja. Hari ini juga, ayah akan ke kebun untuk memanen jagung kita yang sudah matang buahnya. Ayah tidak mau jagoan semata wayang ayah ini kelaparan. Stok makanan harus selalu tersedia di dapur. Kamu mau kan makan jagung muda?" Dielusnya lagi kepalaku.
"Aku mau yah, tapi, kata nenek..."
"Sudah, sudah, jangan dipikirin. Ayah akan baik-baik saja hari ini. Tuh, ibu kamu baru pulang timba air. Ayo sana, bantu ibu siapkan bekal untuk ayah." "Baik ayah." Aku meninggalkan ayah dengan rasa berat hati.
• Lydia Natalya Purba: Bekerja Bukan Karena Uang
Aku punya firasat yang kurang baik. Setelah beberapa langkah, aku membalikkan pandangan padanya. Pada kedua bola matanya aku mendapat sebuah penglihatan tentang nasib sial yang menimpanya hari ini. Sedikit lama aku menatapnya, dan dia memberikan isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Andi, sini nak." Ibu memanggilku dari dapur. Pasti ada sesuatu yang harus aku kerjakan di sana. Dan ternyata benar. Ia memintaku menyiapkan bekal bagi ayah yang sebentar lagi berangkat ke kebun. Aku menyiapkan bekal ayah dengan rasa berat hati. Baru beberapa detik kugapai sebuah gelas minuman, tiba-tiba gelasnya jatuh. Mungkin ini efek dari kegelisahan hatiku. Atau mungkin ini pertanda kurang baik.
Aku makin gelisah. Ibu hanya tersenyum melihat aku memungut pecahan gelas minuman itu sambil memberikan gelas yang baru untuk disimpan dalam keranjang bekal ayah.
Setelah selesai membereskan kebun mini dekat rumah itu, ayah lekas berangkat ke kebun jagung yang letaknya 3 KM dari kampung. Baru beberapa langkah dari pintu rumah, aku mendekati dia. "Ayah,..." Aku menyebut kata ini dengan berat dan risau hati. Dia menimpaliku dengan senyum. Dielusnya sekali lagi kepalaku. Kali ini tanpa sepatah kata pun. Pesannya sudah jelas, bahwa hari ini semuanya akan baik-baik saja.
"Andi mau ikut ayah ke kebun."
• Lydia Natalya Purba: Bekerja Bukan Karena Uang
"Nanti kamu menyusul saja, sama ibu. Ayah pergi duluan. Ok sobat?"
"Nanti kamu pergi sama ibu, nak. Kita akan menyusul ayah." Suara ibu menyambut dari dalam rumah. Aku pun menurutinya. Aku kembali ke dalam rumah, membantu ibu membereskan rumah. Ayah melanjutkan perjalanannya.
Setelah kurang lebih 4 jam berlalu, aku dan ibu berangkat menyusuli ayah ke kebun. Setibanya di tengah jalan, kami dikagetkan dengan sesuatu yang menakutkan. Kulihat ibu terjatuh. Tak sempat menolong ibu, aku juga jatuh terjungkal.
Gempa bumi dengan kekuatan yang tidak aku tahu besarnya menimpa kampungku dan kampung-kampung di sekitarnya. Durasinya 5 menit. Aku dan ibu pusing tak karuan. Setelah 5 menit berselang dan bumi berhenti berguncang, aku tersadar.
Tiba-tiba, bayanganku langsung tertuju pada sosok ayah. Serasa sedang bermimpi, aku membayangkan kujur tubuhnya rapuh tertimpa sebuah pohon besar. Makin gelisahlah hatiku. Ibu minta aku agar pulang ke rumah saja, biar ia sendiri yang melanjutkan perjalanan, tetapi aku menolak.
Setelah lama berjalan, kami pun tiba di area dekat kebun. Di situ ada sawah om Husse. Sekitar 400 meter di sebelah atas sawah itu terletak kebun jagung kami. Di sebelahnya ada sungai kecil. Aku melihat sebuah batu besar di tengah-tengah sungai itu. Batu itu rupanya baru nampak di situ. Sebelumnya aku sering melintasi sungai itu tetapi ia tidak ada. Sawah milik kami terletak persis 50 meter di seberang sungai itu. Karena aku belum bersekolah, aku sering ditugaskan ibu untuk menjaga padi yang belum dipanen agar tidak dimakan oleh burung pipit.
Aku dan ibu kemudian melintasi sungai itu untuk menaruh barang-barang bawaan di pondok sawah. Kami berencana untuk makan siang di pondok sawah saja, sebab kebun jagung itu tidak jauh amat dari situ.
Saat mendekati batu itu, aku melihat darah menempel di bagian atasnya yang tidak terkena aliran air. Juga ada sehelai kecil rambut lurus dan kulit kepala tertempel pada batu itu. Ibu merasa kaget saat melihat darah pada batu itu. Aku makin risau dan gelisah. Lagi-lagi, aku memikirkan ayah. Buru-buru kami menyimpan barang-barang di pondok dan langsung menemui ayah di kebun. Ibu mendahuluiku.
"Ya Tuhan, ayah......ayah..... ayah...," kudengar ibu merintih. Lalu kumelihat ke arah ibu, dan di pangkuannya, ayah dengan tubuh bersimbah darah sudah tidak bernyawa lagi.
"Ayah, ayah, ayah," Teriakku histeris.
• Iuran BPJS Kesehatan Kembali ke Nilai Awal, Kelas Tiga Rp25.500
Kudekati mereka berdua dan memastikan apakah ayah masih hidup. Kudekatkan jari pada lubang hidungnya, tidak ada sehembus nafas pun yang terasa. Kuraba dadanya, dan tak sedenyut pun nadi terasa. Ayah benar-benar sudah mati.
Bagian atas kepalanya tak lagi berambut. Luka besar menganga di atasnya. Darah, rambut lurus dan kulit kepala yang menempel pada permukaan batu itu milik ayah. Nyawa ayah direnggut batu besar itu. Kuputar kembali ingatanku. Yang kudapati hanyalah deretan firasat buruk tentang ayah, percakapan pagi di kebun mini dekat rumah, dan pesan nenek pada hari kemarin.
***
Kenangan pahit 18 tahun silam masih tersimpan dalam ruang ingatku. Hari ini aku memulai masa liburan kuliah dengan membantu mama menjaga padi di sawah. Kulayangkan pandangan pada kebun jagung ayah. Tak ada lagi jagung di sana.
Semuanya menjelma hutan lebat. Lalu kualihkan pandangan ke arah batu tua itu. Ia tidak sekokoh dulu lagi. Banjir yang melintas di sungai ini pada musim-musim hujan 18 tahun belakangan ini telah mengalirkan tanah dan pasir hingga menguburkan sebagiannya. Rumput-rumput kecil tumbuh di atasnya. Tidak ada lagi darah, sehelai kecil rambut dengan kulit kepala ayah di sana. Waktu sudah berjalan tanpa kompromi sambil menghilangkan semuanya.
• Kisah Haru Ojol Kupang, Antar Pesanan Makanan, Tak Disangka Cewek Lulusan Kebidanan Temui Hal Ini
Batu tua itu tak sekokoh dulu lagi. Kenangan tentangnya ialah butir-butir air yang mengalir dari kedua bola mata mungil seorang bocah kecil 18 tahun silam. Ingatan tentang batu tua itu ialah isak sendu anak pada tengah hari yang membahasakan perihnya takdir yang menindih, saat ia tak kuat menghadapi kenyataan hidup tanpa sosok ayahnya lagi.
Kini aku sudah dewasa dan mengerti bahwa tak selamanya aku harus merasa kehilangan ayah. Masih ada ibu yang menemani hidupku. Dan hari ini aku kembali melihat batu tua itu.
Aku menangis, tapi bukan lagi menangisi kepergian ayah. Aku menangisi nasib batu tua yang kini kian tenggelam dimakan tanah dan pasir sungai. 5 atau 10 tahun lagi ia pasti benar-benar hilang, dan aku tidak dapat lagi melihat bayangan ayah, duduk sambil menghisap rokok di atas permukaannya, sambil tersenyum dan memberi isyarat padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
(Petrus Nandi, kelahiran Pantar-Lamba Leda, 30 Juli 1997. Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero).