Opini Pos Kupang
Quo Vadis BPIP?
Sebagai lembaga auxiliary, BPIP adalah lembaga yang memiliki tugas untuk membantu melaksanakan fungsi negara
Oleh: Aven Jaman, Pendiri Komunitas Suara Profesional dan Relawan Tangguh untuk Negeri (SPARTAN) Nusantara
POS-KUPANG.COM - Konon, BPIP adalah lembaga auxiliary negara Indonesia. Sebagai lembaga auxiliary, BPIP adalah lembaga yang memiliki tugas untuk membantu melaksanakan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara. Ini berarti BPIP adalah lembaga yang menunjang fungsi negara Indonesia. Cakupan tugasnya secara khusus adalah melakukan pembinaan ideologi Pancasila pada masyarakat.
Pasal 3 dan 4 Perpres No. 7 Thn. 2018 tentang BPIP misalnya secara tegas menyatakan bahwa secara garis besar tugas dan fungsi BPIP adalah membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila, menyelenggarakan penyusunan pendidikan serta pelatihan ideologi Pancasila, serta memberikan rekomendasi terkait regulasi agar lebih "Pancasilais", dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
• Kesejahteraan Guru Honorer dan Dana BOS
Periode awal lembaga ini berdiri, diisi oleh sosok-sosok yang kalau ditakar secara an sich per pribadi pejabatnya bolehlah dibilang pengamal Pancasila yang jempolan. Maka, meski sempat menuai kontroversi pada saat pendiriannya, keberadaan orang-orang jempolan tadi di dalam BPIP setidaknya diyakini mampu menepiskan anggapan kalau lembaga ini cuma bancakan politik semata.
Harapan akan hilangnya tayangan intoleransi dan antidemokrasi di beranda-beranda berita nasional pun membuncah. Maklum, telah ada kini sebuah lembaga yang secara khusus "menangani" Pancasila. Faktanya?
Sejak resmi berdiri, geliat dan kiprah lembaga ini malah tak kedengaran. Apa saja yang telah dilakukan, bagaimana tindakan mereka terhadap aksi-aksi yang berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila, dllsb., sepi dari pemberitaan. Apakah media malas memberitakan ataukah memang lembaganya sendiri tidak bekerja? Entahlah. Yang jelas, dua tahun terakhir ini, (baca: usia BPIP), malah intensitas tindakan intoleransi antarwarga Negara Indonesia malah makin memrihatinkan.
• Dana BOS Untuk Gaji Guru Honorer Gebrakan Awal Merdeka Belajar Mendikbud
Kita sebut di sini antara lain penolakan pembangunan Gereja di Karimun. Insiden di Minahasa atau pula kisah tentang penolakan terhadap warga yang hendak merayakan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung Desember kemarin. Rentang waktunya amat berdekatan, tepat ketika kita telah memiliki lembaga yang bertugas khusus merevitalisasi nilai-nilai luhur dalam dasar negara bernama BPIP.
Pada kasus-kasus tersebut, BPIP tidak terlihat urun rembug, turut bertindak. Sebuah pernyataan publik dari jubir atau kehumasannya pun tak ada. Maka, wajar kalau kemudian relevansi keberadaannya kembali dipertanyakan publik.
Menguatkan Sinyalemen Bagi-bagi Kue Kekuasaan
Tidak semua orang mampu menangkap arah dan tujuan sebuah akrobasi politik. Itu pasti. Sebahagian orang tidak paham yang namanya jurus-jurus dan trik-trik amankan elektabilitas dan popularitas demi kepentingan politik. Bagi mereka, kamus politik hanya kenal istilah baik dan jahat, kawan dan lawan. Tak ada ruang antara. Karenanya, sebuah kebijakan publik bisa dengan mudah diterima sebagai sesuatu yang baik oleh golongan ini asalkan benar menjawab kebutuhan.
Maka wajar apabila lebih banyak yang euphoria dengan ide pembentukan BPIP kemarin daripada yang menolak. Sebab, yang euphoria ini merupakan gabungan antara yang melihat langkah itu sebagai sebuah keharusan di hadapan agresifitas kelompok pejuang ideologi khilafah dengan mereka yang polos dan lugu terkait manuver politik.
Maka, tatkala Jokowi membentuk lembaga BPIP, euphoria pun mengalir. Saking larut dalam hingar-bingar pembentukannya yang sempat menuai polemik, banyak yang luput melihat bahwa langkah pembentukan lembaga ini bisa saja lebih bermuatan motif politik demi Pilpres 2019 ketimbang benar-benar ingin memasyarakatkan kembali nilai-nilai Pancasila.
Yang jelas terlihat oleh publik adalah BPIP dimaksudkan untuk membendung arus dukungan pendirian khilafah di Indonesia. Momentumnya tepat. Publik seketika dibuat bernafas lega setelah sempat dibuat gemas. Cerdik, bukan?
Apapun motif di saat itu, yang jelas BPIP kemudian berdiri secara resmi dengan landasan hukum berupa Perpres No 7 Thn. 2018. Sejatinya, pendirian lembaga ini tidak benar-benar baru melainkan hasil evolusi terhadap Unit Kerja Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang kala itu diketuai oleh Yudi Latif.
Yang tak kalah menarik buat disimak adalah soal besarnya gaji para pejabat lembaga tersebut. Tidak tanggung-tanggung, berdasarkan Perpres Nomor 42 tahun 2018 tentang hak Keuangan Pejabat BPIP, para pejabatnya diganjari gaji sekitar Rp.112.548.000,-untuk posisi Ketua Dewan Pengarah BPIP, Rp. 100.811.00,-untuk anggota Dewan Pengarah BPIP, dan Rp. 76.800.000,-untuk jabatan Ketua BPIP.
Bandingkan dengan gaji dan tunjangan Presiden beserta menteri-menterinya yang hanya berada pada kisaran 30 hingga 60an juta saja! Sungguh, angka yang fantastis.
Apabila besaran gaji pejabat BPIP dihubungkan pula dengan asumsi tadi maka akan kembali menguatkan dugaan bahwa ini hanyalah taktik politik demi melumpuhkan potensi kekuatan lawan pada Pilpres 2019.