Ini Deretan Kebijakan Anies Baswedan yang Kontroversial, Bertentangan dengan Pemerintah Pusat

Ini Deretan Kebijakan Anies Baswedan yang Kontroversial, Bertentangan dengan Pemerintah Pusat

Editor: Alfred Dama
KOMPAS.COM/RYANA ARYADITA UMASUGI
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Blok G, Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (3/9/2019) 

 LRT tersebut akan dibangun dengan skema pembiayaan kerja sama pemerintah daerah dan badan usaha (KPDBU) dengan nilai investasi sekitar Rp 15 triliun.

Sebelum proyek itu berjalan, Pemprov DKI Jakarta mengirimkan surat ke Kementerian Perhubungan untuk menyampaikan rencana pembangunan LRT koridor Pulogadung-Kebayoran Lama.

Kemenhub kemudian membalas surat dari Pemprov DKI. Isinya, Kemenhub menyatakan rencana trase LRT Pulogadung-Kebayoran Lama berimpitan dengan trase moda mass rapid transit (MRT) koridor timur-barat (Cikarang-Ujung Menteng-Kalideres-Balaraja).

Kedua moda transportasi tersebut rencananya sama-sama melewati Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Letjend Suprapto, Tugu Tani, Jalan Kebon Sirih, dan Jalan KS Tubun.

Karena itu, Kemenhub meminta Pemprov DKI mengubah rencana trase LRT Pulogadung-Kebayoran Lama. 

LRT Pulogadung-Kebayoran Lama Pemprov DKI Jakarta pun mau tak mau mengubah rencana trase atau rute LRT Jakarta koridor Pulogadung-Kebayoran Lama karena mengikuti arahan Kemenhub.

"Kami sesuaikan," ujar Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah.

Saefullah berujar, Pemprov DKI Jakarta akan selalu mendukung kebijakan pemerintah pusat.

Karena itu, Pemprov DKI akan mengubah rencana trase LRT Pulogadung-Kebayoran Lama yang sama dengan trase MRT koridor timur-barat.

Namun, Saefullah belum merinci perubahan trase tersebut. "Kata kuncinya adalah integrasi. Kalau sudah ada program (pemerintah) pusat, ya kami integrasikan. Jadi enggak boleh beriringan begini, padahal melayani hal yang sama, rute yang sama, enggak boleh, jadi kami kerjakan yang lain," kata Saefullah.

3. Revitalisasi Monas

Yang tak kalah diperbincangkan beberapa waktu terakhir adalah revitalisasi Monas. Satu hal yang menjadi polemik adalah izin revitalisasi dari pemerintah pusat.

Revitalisasi tersebut dilakukan tanpa mengantongi izin dari Komisi Pengarah dan melewati tahapan-tahapan yang telah diatur.

Sekretaris Utama Kemensetneg Setya Utama menyebutkan, keberadaan Komisi Pengarah ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Setya menambahkan, sebelum revitalisasi dilakukan, seharusnya Pemprov DKI mengajukan izin terlebih dahulu kepada Komisi Pengarah untuk selanjutnya dilalukan pembahasan.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved