Breaking News

Opini Pos Kupang

Infrastruktur dan Otonomi Fiskal

Mari membaca dan simak isi Opini Pos Kupang berjudul infrastruktur dan otonomi fiskal

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Infrastruktur dan Otonomi Fiskal
Dok
Logo Pos Kupang

Mari membaca dan simak isi Opini Pos Kupang berjudul infrastruktur dan otonomi fiskal

Oleh Habde Adrianus Dami, Sekda Kota Kupang 2010-2012, Belajar Perencanaan Pembangunan Ekonomi, FEUI-LPEM dan OTO BAPPENAS

POS-KUPANG.COM - Otonomi fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain pendapatan yang sah. Namun demikian, harus diakui bahwa derajat otonomi fiskal kabupaten/kota maupun provinsi NTT masih rendah. Hal ini tercermin dari indeks kemampuan rutin dari masing-masing kabupaten/kota dan provinsi NTT. Karena, PAD yang tersedia belum mampu membiayai belanja rutin maupun belanja modal
.
APBD Povinsi NTT 2019 sebesar Rp. 5,4 triliun lebih (Pos-kupang.com, 27/07/2019). Menurut, Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Dr. Zeth Sonny Libing, M.Si, (Pos kupang 06/01/2020), PAD NTT tahun 2019 melampaui target yang ditetapkan dalam RPJM sebesar Rp. 1.2 triliun, dimana realisasinya mencapai Rp. 1.3 triliun lebih, dengan proporsi sektor penyumbang terbesar adalah pajak kendaraan bermotor dan pajak rokok.

Ini Penjelasan Jaksa soal Pelajar Bunuh Begal Terancam Penjara Seumur Hidup

Tentu, peningkatan pendapatan ini merupakan prestasi yang layak diapresiasi. Meskipun begitu, perlu diberi catatan bahwa pertumbuhan pendapatan ini tidak sebatas dilihat dari sisi kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Karena, untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan pendapatan tersebut bukan saja ditopang sektor jasa (nontradeble), melainkan harus disokong sektor penghasil barang (tradable), terutama sektor pertanian (sektor basis), agar dapat memperbaiki struktur perekonomian, menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Oleh karena itu, persoalan kualitas pertumbuhan pendapatan ini tentu tidak bisa kita simplifikasi sebatas sebuah angka karena masalah keuangan daerah terkoneksi dengan berbagai urusan lainnya. Mengingat keuangan daerah, sebagai alat fiskal pemerintah daerah, berfungsi untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, memeratakan hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi-politik.

Meminimalisir Kegagalan Proyek Konstruksi

Sehingga, pemerintah daerah harus terus konsisten meneruskan kebijakan ekspansi fiskalnya untuk belanja infrastruktur dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia (meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan).

Dualitas Realitas

Sejatinya, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi positif. Keberadaan infrastruktur yang memadai dan berdaya saing memberikan kontribusi terhadap penurunan biaya operasional kegiatan ekonomi, meningkatnya volume kegiatan ekonomi, dan meningkatnya modal manusia, terbukanya peluang kegiatan ekonomi baru, serta kesempatan berusaha dan bekerja.

Disamping itu, alokasi infrastruktur juga harus memberikan efek positif terhadap konektivitas pembangunan antar wilayah sehingga menghasilkan pertumbuhan yang inklusif. Untuk itu, pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan karakteristik dan karakter daerah, agar akselerasi pembangunan infrastruktur lebih terasa manfaatnya.

Sementara itu, ketertinggalan NTT dalam pencapaian kemajuan infrastruktur jalan tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan anggaran. Sebagai ilustrasi, menurut Andre Koreh, Kadis PUPR NTT (Suara.Com 08/08/2016), menyebutkan, kondisi infrastruktur khususnya jalan di NTT, adalah total panjang jalan 17.195 km. Panjang jalan strategis nasional 1.800 km, jalan provinsi 2.471 km, dan jalan kabupaten/kota 12.866 km yang memerlukan intervensi dana dari pusat. Dikatakan juga, jika kemampuan anggaran dikaitkan dengan kebutuhan anggaran untuk membangun jalan, maka dibutuhkan waktu sekitar 50 tahun untuk menangani ruas jalan provinsi yang tersebar di 23 kabupaten/kota.

Selanjutnya dikemukakan, pada setiap tahun anggaran seperti tahun anggaran 2015, pada APBD NTT mengalokasikan dana sebesar Rp351,8 miliar lebih dari total Rp 4 triliun yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur.

Melihat fakta ini, secara relatif terdapat dualitas realitas (kebutuhan infrastruktur versus kemampuan pembiayaan). Untuk keluar dari kemelut dualitas realitas paradoksal ini, ilmu ekonomi bisa membantu menunjukkan bahwa setiap kebijakan mengandung efek negatif serta kesempatan yang hilang. Keduanya harus dikalkulasikan guna mendapat manfaat optimum.

Asumsi Konvergen

Dalam sistem ekonomi yang kompleks, sektor riil dan sektor keuangan saling bersitegang di tengah dinamika perekonomian daerah. Keduanya tidak saja berbicara soal penerimaan daerah, tetapi juga bagaimana memompa kegiatan ekonomi sesuai arah kebijakan fiskal. Karena itu, kebijakan fiskal (APBD) bisa menjadi indikator kesehatan perekonomian dan keuangan daerah.

Pada gradasi tertentu, ada dua cara mengatasi defisit keseimbangan primer : menambah pendapatan atau efisiensi belanja. Untuk mengatasi kendala anggaran infrastruktur, maka pemerintah provinsi NTT dan DPRD NTT, telah sepakat menambah pendapatan melalui pinjaman daerah yang direncanakan sebesar Rp 900 miliar, pada Bank NTT. Menurut Drs. Zakarias Moruk, Kepala Badan Keuangan Daerah NTT, Pemerintah Pusat telah menyetujui rencana pinjaman daerah tersebut oleh Pemprov NTT, (Pos-kupang.com 26/12/2019). Namun, menurut Josef Nae Soi, Wagub NTT, (Pos kupang 10/01/2020), pinjaman dimaksud belum final.

Tidak ada hal yang instan dalam membangun infrastruktur. Gagasan pinjaman daerah, menunjukkan komitmen dan konsistensi pemerintah dalam penyediaan infrastruktur. Meskipun begitu, apabila dicermati upaya yang telah dilakukan pemerintah lebih menekankan pada perhitungan kebutuhan dana yang diperkirakan dapat dimobilisasi untuk pembangunan infrastruktur. Upaya ini, memang diperlukan, tetapi belum cukup kuat untuk merealisasikan agenda tersebut.

Mengingat, pinjamanan dana infrastruktur merupakan proyek jangka panjang, (Artinyanya kredit jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang) dan sangat terpengaruh oleh fluktuasi tingkat bunga, inflasi, risiko kredit, dan risiko pasar.

Selain itu, Bank NTT harus fokus pada kualitas kredit (menjaga NPL) dan kualitas kesehatan permodalan (menjaga CAR), agar terghindar dari risiko reputasi.
Pinjaman tersebut tentu telah melalui kajian yang mendalam termasuk asumsi-asumsinya. Meski begitu, menurut penulis secara prinsip bangunan asumsi dapat dilengkapi dengan : Pertama, "ekspektasi arus kas", meliputi pendapatan maupun belanja.

Ekspektasi arus kas mengandung pengertian arus kas yang sudah memperhitungkan skenario kondisi ekonomi, mulai dari yang terburuk, moderat, dan terbaik. Kedua, penerbitan obligasi daerah, merupakan surat utang yang diterbitkan pemerintah daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Tentu, pemerintah daerah harus memiliki kapasitas fiskal yang memadai dan berlanjut. Pada titik ini, dibutuhkan kemampuan proyeksi penerimaan daerah untuk beberapa tahun ke depan dan tata kelola keuangan yang baik.

Dalam konteks kebijakan publik, kita selalu dihadapkan pada pilihan sulit-antara kepentingan rakyat dan kepentingan pemerintah atau antara kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Disinilah, perlunya pemerintah memeriksa secara detail keseluruhan rantai kebijakan, karena dalam setiap keputusan selalu ada loser dan gainer.

Karena, jantung pengatur ekonomi terkait kebijakan fiskal seharusnya fokus pada dua hal. Pertama, meningkatkan belanja modal untuk memperbaiki sistem logistik dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi sektor ekonomi. Kedua, membangun sektor unggulan penghasil barang (tradable).

Menghadapi realitas ini, sudah saatnya pemerintah provinsi NTT, meningkatkan kuantitas dan kualitas pertumbuhan pendapatan dengan melakukan upaya mitigasi terutama, memperbaiki kualitas belanja, mengerem tren penurunan defisit fiskal, revaluasi aset dan mereformasi sumber-sumber penerimaan.

Terkait dengan itu, yang tak kalah penting penataan ulang format desentralisasi (kewenangan) dan fiskal (termasuk pengukuran outcome belanja APBD yang lebih solid), agar menghindari arsitektur fiskal yang tumpang tindih sehingga fiskal lebih kompatibel dengan kebutuhan corak struktur yang lebih ramping dan gesit. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved