Korban Kekerasan Perempuan Terbanyak Berijazah SMA
Para korban kekerasan perempuan dan anak di TTS mayoritas mengantongi ijazah SMA
Penulis: Dion Kota | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | SOE - Para korban kekerasan perempuan dan anak di TTS mayoritas mengantongi ijazah SMA.
Dari data lima tahun terakhir (2015-2019) yang di rillis Sanggar Suara Perempuan (SSP), dari 619 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, 162 korban kekerasan berpendidikan SMA, 153 korban berpendidikan SMP, 137 berpendidikan SD dan 35 korban tidak menempuh jalur pendidikan.
Sedangkan korban yang berpendidikan perguruan tinggi hanya 60 orang.
• VIDEO: Detik-Detik Gempa Guncang Oelamasi, Pasien di RSU Naibonat Berhamburan
Dari 619 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, 250 kasus diselesaikan di tingkat keluarga, 227 kasus diselesaikan di tingkat kepolisian, 84 kasus di pengadilan dan 48 kasus diselesaikan di tingkat desa.
Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kasus pidana murni dan bukan merupakan delik aduan.
• Bom Ikan di Pantai Ende Soleman Sene Sebut Itu Kisah Lama
Oleh sebab itu, SSP mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum agar kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa diselesaikan melalui jalur hukum sehingga ada efek jerah bagi para pelaku.
" Kita temui di lapangan paling banyak kasusu kekerasan terhadap perempuan dan anak ini selesai di tingkat keluarga. Baik dengan denda atau surat pernyataan. Selain itu, kasus yang sama juga sering kali hanya diselesaikan di tingkat desa. Padahal, kasus ini merupakan pidana murni. Makanya kita minta kedepan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan harus diselesaikan secara hukum," pinta wakil direktur Yayasan SSP, Ir. Filpin Taneo-Therik dalam kegiatan coffee morning dengan tema selamatkan anak perempuan dan perempuan dari kekerasan seksual yang digelar Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP), Rabu (15/1/2019) bertempat di beta pung kafe.
Dalam kegiatan tersebut dihadiri, Dandim TTS Letkol (Czi) Koerniawan Pramulyo, Kajari TTS Fachrizal, SH, Kepala Pengadilan Negeri Soe, I Wayan Yasa, Ketua DPRD TTS, Marcu Mbau dan beberapa mitra SSP lainnya.
Selama lima tahun memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak di TTS, SSP berhasil mendorong pemerintah kabupaten TTS untuk membuat regulasi yang menjadi acuan bagi pelaksanaan perlindungan anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan. Baik berupa perda maupun perbup. Namun harus diakui, dalam pelaksanaannya masih belum maksimal.
Selain itu, SSP juga menjalin kerjasama dengan Polres TTS terkait pendamping bagi korban kekerasan terhadap anak dan perempuan.
"Regulasi untuk melindungi korban kekerasan sudah ada, tapi belum maksimal dalam pelaksanaannya. Ini yang mau kita dorong kedepannya," sebut Filpin.
Kapolres TTS AKBP Ariasandy, SIK mengaku sangat prihatin dengan tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di kabupaten TTS.
Sepanjang tahun 2019, Polres TTS menangani sebanyak 140 kasus yang berkaitan dengan persetubuhan terhadap anak, pencabulan terhadap anak, penganiayaan anak, penelantaran anak, pencobaan pemerkosaan dan KDRT.
Dimana 42 kasus diantaranya merupakan kasus persetubuhan anak dibawah umur. Dari 42 kasus tersebut, jika dibagi 12 bulan, maka setiap bulannya ada dua kasus persetubuhan terhadap anak yang terjadi atau per dua minggu ada satu anak diTTS yang menjadi korban kasus persetubuhan. (Laporan Reporter POS- KUPANG.COM, Dion Kota)