Puisi
Ini Puisi-Puisi Pos Kupang Minggu Ini, Kepoin Yuk! Siapa Tahu Karya Kamu Ada di Sini
Puisi-Puisi Bruno Rey Pantola: Di Hadapan Sebuah Patung Batu,Puisi Yetva Softiming Letsoin: Ibu-Ku, Perempuan Indah Perkasa.
Puisi-Puisi Bruno Rey Pantola
Di Hadapan Sebuah Patung Batu
Aku berdiri di situ dengan sepasang tangan terkatup
Mendengar sabda-sabda menjerit menjadi malam
Tertidur di lubuk gelap hatiku
Sedangkan senandung Maria bertalu-talu
Membangunkan sukma yang hening
Kulihat diriku sendiri merangkak pada pematang merah kelopak mata
Lalu kudaraskan kata-kata kusam dari detak-detak dada
Yang menjadi seperti bunyi pukulan ombak pada pantai:
Dentuman kebahagiaan sebagai kepunyaanku
Merawat khusyuk kita di situ.
(Yogyakarta, 2020)
• Warga yang Bermukim di Sepanjang Pantai Warna Oesapa Kupang Ketakutan, Ini Harapan Mereka
Kepada Pendoa di Ujung Gereja
Kita melipatgandakan syair-syair
Sebagai bekal menuju kematian
Seperti jalan-jalan ke Golgota
Penuh jurang dan tanjakan rindu
Kita menangisi malam-malam
Yang sedang berpindah ke sudut ruangan
Dan sebagian orang bernaung di situ
Agar besok, mentari tak terlambat
Menyusuri lorong-lorong hitam
Menjadikannya siang
Sebagai Roh yang terberkati:
Ia kudus dan menerangi sebagai
Penjelmaan utamanya kepada kita
Kepada Pendoa di Ujung Gereja
Kita sudah menjadi domba untuk domba yang lain
Atau sekadar mencari mata air bagi air mata
Yang terus berurai dari atap gereja.
(Yogyakarta, 2020)
(Bruno Rey Pantola adalah alumni Seminari St. Rafael Oepoi Kupang. Kini tinggal di Yogyakarta).
• Inilah 5 Bahaya Jika Mengkonsumsi Gula Setiap Hari, Obesitas hingga Penyakit Mematikan
• Anting Tenun Karya Ensikei Semakin Diminati, Cocok Untuk Remaja Maupun Ibu Muda
• Tamu Kita: Drs. Tagela Ibisola Pengayom Masyarakat Sumba Tengah
Puisi Yetva Softiming Letsoin
Ibu-Ku, Perempuan Indah Perkasa
Gegap hidup amat tak sedap
Merana di jiwa, menyengat di raga,
Ke pucuk langit, kabut tak meredup
Membentang sungkawa, duka dan lara.
Entah apa, inikah takdir hidup,
berharap akhir bukanlah kelam, apalagi hampa.
Tentang itu, di warkat ini, kugoreskan lanskap
Kisah ibu-Ku menanti sentausa.
Ibu, ibu-Ku...
sebelum Aku lahir menerobos sekat,
engkau menerima berita kepala punggawa
tentang lara yang membentang itu.
Bak menghirup ranum tuba, sukma menggelegar sengat
Membayang kalut akan ditanggung sukma.
Tetapi ibu-Ku menghalau sayup, patuh tak ditolak.
Tertunduk kelu, tiada merintih, panut kepada Bapa,
Kala Aku lahir melawat dunia,
bersimpuh tak berdaya dipangku ibunda
Menyapa pekat alam yang sembab
Aku mendesah di antara desut domba,
Ini bukan di singgasana-Ku, bukan di gelora tahta-Ku
Ini Aku bersama domba di pelaminan hina
Tapi, Ibu... ibu-Ku tunduk pasrah, tiada menyerah,
tuk manusia tak ditelan laknat.
Ibu-Ku, inikah pedang menembus jiwamu,
Inikah palang yang kau bawa dalam sanubari,
tuk ditancap di puncak nurani?
Engkau terpaku di palang sukma
Terlentang di kening kalbu
Menatap kaku tak berdaya.
Tetapi, ibu-Ku tak dimakan sirna, apalagi menyerah.
Ibu...ibu-Ku, menatang derita ke ufuk cinta
Berlangkah dalam tabah, indah perkasa
Senyum merona bukan dipaksa
Tak layu di ribaan sendu, tetap pesona
Menjuntai lembaran kusam, menanti sentausa
berlaksa-laksa decak-Ku di dada, merangkai kata,
"Sungguh!! ibu-Ku perempuan indah perkasa".
(Seminari Tinggi SVD Surya Wacana Malang-Jatim).