News

Miris, Dampak Konflik Dua Desa di Adonara, SMA Negeri 1 Adonara Timur tak Miliki Gedung Sekolah

Akibat pertikaian dua desa tujuh tahun silam itu, SMAN 1 Adonara Timur harus 'angkat kaki' dari gedung sekolah mereka

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Benny Dasman
ISTIMEWA
Tim gabungan Polres Flotim dan TNI Koramil 1614-02/Adonara dipimpin Kapolres Flotim, AKBP Denny Abrahams, SH, SIK, Rabu (21/11/2018). 

 Laporan Wartawan Pos Kupang, Com, Riko Wawo

POS KUPANG, COM, LARANTUKA - Konflik antara Desa Lewobunga dan Desa Lewonara, Kecamatan Adonara Timur, tahun 2012 silam ternyata masih berdampak buruk bagi dunia pendidikan di Kabupaten Flores Timur.

Akibat pertikaian dua desa tujuh tahun silam itu, SMAN 1 Adonara Timur harus 'angkat kaki' dari gedung sekolah mereka yang terletak di wilayah Desa Lewobunga, 15 Oktober 2012 dan sampai sekarang tak memiliki gedung sendiri untuk aktivitas belajar mengajar.

Sejak peristiwa itu, para guru dan siswa terpaksa harus menjalankan proses belajar mengajar di gedung sekolah lain.

Kepala SMAN 1 Adonara Timur, Kornelis Laot Boro, menjelaskan, saat terjadi konflik antar desa tersebut, pihak sekolah terpaksa meliburkan proses belajar mengajar selama dua minggu karena wilayah sekolah masuk daerah konflik.

"Alasan diliburkan itu demi keselamatan anak-anak dan suasana yang tidak kondusif pasti mengganggu proses belajar mengajar," kata Kornelis saat ditemui Pos Kupang di Waiwerang, Adonara, Senin (21/10/2019).

Pihak sekolah juga menerima Surat Keputusan dari Pemkab Flotim yang menyatakan kegiatan belajar mengajar SMAN 1 Adonara Timur untuk sementara pindah ke gedung SMA/SMK Surya Mandala Waiwerang dan SMPK Phaladiya Waiwerang.

Setelah tak mendapatkan kepastian dan kejelasan untuk kembali memanfaatkan fasilitas gedung sendiri, sekolah yang berdiri pada tahun 1997 itu akhirnya pindah tempat lagi.

Sejak 2013, mereka pindah ke SDN Waiwerang dan SDI Waiwerang. Sampai saat ini, SMAN 1 Adonara Timur harus berbagi waktu dan tempat kegiatan belajar mengajar dengan dua sekolah dasar tersebut.

Hingga sekarang, salah satu sekolah favorit di Adonara itu harus melaksanakan Ujian Nasional di lokasi pengungsian.

"Energi kami sudah tidak ada lagi untuk kembali ke gedung lama. Kami trauma dengan situasi seperti itu, untuk sekarang kami tidak mau menyisihkan energi untuk kembali," ujar Kornelis yang saat 'eksodus' menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.

Pihak sekolah sudah berjuang mendapatkan lahan baru seluas 2,5 hektare setelah mendapat hibah dari seorang tuan tanah di Kampung Baru, Waiwerang. Proses pengurusan pembangunan gedung sekolah ini pun tidak mudah.

Pihak sekolah terus melakukan koordinasi dengan Pemkab Flotim dan Pemprov NTT demi mendapat titik terang pembangunan sekolah di tempat baru.

Selaku Kepala Sekolah, Kor juga sudah berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemprov NTT yang punya wewenang mengurusi SMA/SMK serta Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) Pemprov NTT soal kepengurusan aset daerah.

Ia juga ingin sekali bertemu dengan Gubernur NTT dan membicarakan masalah ini supaya bisa dicarikan solusi terbaik.
Meski diakuinya, kondisi memprihatinkan ini tak menyurutkan semangat dan kinerja guru, pihak sekolah tetap mendapatkan banyak kendala di lapangan.

"Kendalanya itu kami punya kegiatan ekstra-kurikuler dan co-kurikuler (bimbingan belajar) terhambat, fasilitas ruangan laboratorium tidak ada. Alat-alat ada tapi karena ruangan khusus tidak ada jadi tidak bisa simpan alat-alat itu. Tapi itu semua tidak jadi halangan bekerja bagi para guru. Guru tetap semangat untuk mengajar demi masa depan anak-anak," ujarnya.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved