Ini Identitas dan Daerah Asal Penusuk Menko Polhukam Wiranto dan Kapolsek Menes di Pandeglang
Ini Identitas dan daerah asal penusuk Menko Polhukam Wiranto dan Kapolsek Menes di Pandeglang
Doa di Masa Kecil
Wiranto dilahirkan di Kota Yogyakarta, DIY pada 4 April 1947.
Dia anak keenam dari sembilan bersaudara.
Ayahnya bernama RS Wirowijoto adalah seorang guru sekolah dasar dan ibunya bernama Suwarsijah sebagai ibu rumah tangga.
Saat usianya sebulan, Wiranto dibawa pindah oleh orangtuanya ke Surakarta akibat agresi Belanda yang menyerang kota Yogyakarta.
Di Surakarta inilah ia kemudian bersekolah hingga menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA Negeri 4 Surakarta).

Wiranto pernah bercerita tentang masa kecilnya saat mendengar pidato Presiden pertama Indonesia Soekarno, di Balai Kota Solo, Jawa Tengah.
Saat itu, dirinya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan mau melihat sosok Soekarno.
Tapi, anak kecil tidak diperbolehkan masuk ke dalam halaman Balai Kota.
Tak kehabisan akal, Wiranto kemudian memanjat pohon cemara yang menjulang tinggi di dekat gedung.
Sambil melihat Soekarno berpidato, dia seraya berdoa minta didekatkan dengan Presiden.
"Ya Allah, izinkan saya suatu saat dekat dengan Presiden. Itu doa saya. Ternyata memang doa kalau sungguh-sungguh itu dikabulkan," ungkap Wiranto dalam acara seminar nasional Forum Mahasiswa Anti Penyalahgunaan Narkoba 2019 di UIN Jakarta, Tangerang Selatan, Kamis (28/3/2019), dilansir Warta Kota.
Karir Militer
Selepas lulus SMA, Wiranto melanjutkan pendidikannya di Akademi Militer Nasional (1968).
Kemudian dia lanjut ke Sekolah Staf dan Komando TNI AD (1984).
Doanya sewaktu kecil ingin dekat dekat Presiden menjadi kenyataan.
Wiranto diangkat menjadi ajudan Presiden Soeharto pada kurun 1987-1991.

Setelah sebagai ajudan presiden, karier militer Wiranto semakin menanjak ketika ditunjuk sebagai Kepala Staf Kodam Jaya, Pangdam Jaya, Pangkostrad, dan KASAD.
Selepas KASAD, ia ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Panglima ABRI (sekarang Panglima TNI) pada Maret 1998.

Berikut adalah jabatan militer yang pernah dipegang Wiranto:
- Danton Yonif 712/Wiratama
- Danton Yonif 713/Satyatama
- Danki Yonif 712/Wiratama
- Danki Yonif 713/Satyatama
- Wadan Yonif 712/Wiratama
- Wadan Yonif 713/Satyatama
- Karoteknik Ditbang Pussenif (1983)
- Kadep Milnik Pussenif (1984)
- Kasbrigif-9 Kostrad (1985)
- Waasops Kaskostrad (1987)
- Asops Kasdivif-2 Kostrad (1988)
- Ajudan Presiden Republik Indonesia (1989-1993)
- Kasdam Jaya (1993)
- Pangdam Jaya (1994)
- Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) (1996)
- Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) (1997)
- Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) RI (1998)

Kontroversi di Balik Tragedi Berdarah
Sewaktu menjabat sebagai Panglima ABRI, Wiranto menuai sejumlah kontroversi.
Dia dituding sebagai dalang di balik tragedi berdarah 1998 yang menimbulkan korban jiwa.
Sejumlah aktivis hilang, penjarahan di mana-mana, kerusuhan rasial, buntut pergolakan mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.
Sebagian pihak berspekulasi bahwa Wiranto yang saat itu menjabat Menhankam/Panglima ABRI melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini.

Wiranto sudah berkali-kali membantahnya.
Yang terbaru, Wiranto menantang sumpah pocong pihak-pihak yang menuduhnya sebagai dalang di balik tragedi 1998.
Menurut Wiranto, sudah ada dokumen hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) soal kerusuhan 1998.
Menurut dia, dalam dokumen TGPF yang diketuai oleh Marzuki Darusman dan sekretaris Rusita Nur itu bisa dilihat dengan jelas institusi atau tokoh yang diduga menjadi dalang kerusuhan.
"Itu produknya ada. Dari sana sudah jelas 1998 sumber kerusuhan mengarah ke institusi mana, figur mana, ada disana," kata Wiranto, dilansir Tribunnews.com.
Wiranto menyebut, justru ia sebagai Menhankam/Panglima ABRI saat itu melakukan berbagai upaya untuk mencegah kerusuhan.
Ia mengaku melakukan berbagai langkah persuasif, edukatif kompromis, dan dialogis dengan para aktivis reformasi agar jangan sampai muncul kekacauan.
Selain tragedi 1998, Wiranto juga diduga terlibat dalam kejahatan perang di Timor Timur (saat ini bernama Republik Demokratik Timor Leste) tahun 1999.
Wiranto didakwa oleh pengadilan (PBB) ikut terlibat dalam tindak kekerasan pada tahun 1999 yang terjadi selama dan setelah berlangsungnya referendum kemerdekaan Timor Leste.
Nicholas Koumjian, seorang jaksa PBB dari Pengadilan Khusus Kriminal Serius di Dili mengatakan, Wiranto semestinya bertanggung jawab atas insiden berdarah tahun 1999 itu.
Dia juga mengatakan bahwa Wiranto telah gagal melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pemimpin kekuatan militer dan polisi di Timor Timur untuk mencegah terjadinya kejahatan melawan kemanusiaan dan gagal menghukum pelaku kejahatan itu.

Terkait tuduhan itu, Wiranto juga membantahnya.
"Saya protes keras itu. Saya itu mengamankan jajak pendapat," ujar Wiranto di gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (11/8/2017), dilansir Kompas.com.
"Sebanyak 700 TPS aman dengan kondisi selama 23 tahun berkelahi. Kemudian diperintahkan jajak pendapat, diamankan, berhasil aman tidak ada gejolak setelah itu," kata dia.
Wiranto mengaku heran dengan tuduhan sejumlah pihak yang menyebut dirinya bertanggung jawab atas kerusuhan dan kekerasan yang terjadi di Timor Timur.

Menurut dia, kekerasan muncul karena adanya kelompok masyarakat yang tidak menerima hasil jajak pendapat.
Saat itu masyarakat terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok pro integrasi dan kelompok yang ingin menyepakati hasil jajak pendapat atau pro kemerdekaan.
"Setelah yang satu kalah, satunya protes, ngamuk sendiri, kok dituduhkan ke kami. Katanya pembiaran. Tapi enggak apa-apa, namanya juga nasib sial, ndak apa-apa," kata Wiranto.
Langganan Menteri
Wiranto bisa dibilang termasuk orang yang paling diperhitungkan oleh beberapa Presiden RI.
Terbukti ia sampai beberapa kali menjabat menteri dengan presiden yang berbeda.
Wiranto pertama kali menjadi Menhankam merangkap sebagai Panglima ABRI di era Presiden Soeharto, lalu berlanjut di era pemerintahan Presiden BJ Habibie (14 Maret 1998 – 20 Oktober 1999).

Ketika pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto sempat dipercaya menduduki posisi Menkopolhukam (26 Oktober 1999 – 15 Februari 2000).
Lalu, ia kembali dilantik menjadi Menkopolhukam di era Presiden Joko Widodo, terhitung mulai 27 Juli 2016 sampai sekarang.
Dari Golkar ke Hanura, 2 Kali Kalah dari SBY
Setelah pensiun dari dunia militer, Wiranto makin aktif di kegiatan politik.
Ia merupakan kader Partai Golkar.
Pada 2004, Wiranto memenangi konvensi Partai Golkar mengalahkan Ketua Umum Partai Golkar saat itu Akbar Tandjung.
Kemenangannya di konvensi Partai Golkar, membuatnya melaju sebagai calon presiden pada Pilpres 2004.

Wiranto berpasangan dengan tokoh NU, Salahuddin Wahid.
Sayangnya dia gagal. Langkahnya terganjal di putaran pertama karena menempati urutan ketiga dalam Pilpres 2004.

Pilpres 2004 dilakukan dua putaran.
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi bertarung di putaran kedua.
Hasilnya dimenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Gagal di Pilpres 2004, Wiranto akhirnya keluar dari Partai Golkar.
Dia kemudian mendirikan Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang dideklarasikan pada 21 Desember 2006, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Selanjutnya Pilpres 2009, Wiranto kembali masuk sebagai peserta.
Kali ini bukan sebagai capres, melainkan calon wakil presiden, mendampingi Jusuf Kalla yang diusung Partai Golkar.

Tapi lagi-lagi Wiranto merasakan kekalahan.
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Meski dua kali gagal, tak menyurutkan hasrat Wiranto untuk maju sebagai capres di Pilpres 2014.
Wiranto sempat mencalonkan diri sebagai capres berpasangan dengan konglomerat Hary Tanoesoedibjo.
Namun rencana tersebut akhirnya urung dilakukan mengingat minimnya perolehan suara Partai Hanura dalam Pemilihan Legislatif 2014.

Terkait daftar kegagalannya itu, Wiranto berseloroh mungkin karena salah berdoa waktu kecil.
Doa Wiranto dulu hanya sebatas dekat dengan Presiden, bukan menjabatnya.
"Makanya pas saya nyalon jadi presiden tahun 2004, enggak dikabulkan, karena doa saya bukan itu. Kalah saya. Nyoba dengan Pak Jusuf Kalla (JK) jadi wakil presiden gagal lagi," katanya, dikutip dari Warta Kota.
Kemudian ia sadar, bahwa doa masa kecilnya adalah sebuah kekeliruan.
Karena mungkin saja jika ia dulu berdoa jadi presiden, kenyataan di masa depan bisa jadi kenyataan.
Meski sadar dengan doa yang keliru, dia tetap bersyukur bisa dekat dengan para Presiden RI.
"Itu saya merenung, bener, doa saya dulu keliru. Kalau doanya jadi presiden mungkin jadi presiden, jadi doanya hanya dekat dengan presiden. Tapi itu pun saya bersyukur," tutur Wiranto. (Kompas.com/TribunKaltim)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kapolsek Menes Juga Ditusuk saat Berupaya Mengamankan Penusuk Wiranto",