News

Mengintip Kehidupan Warga Suku Boti di TTS, Menggenggam Erat Tradisi Lokal dari Sengatan Modernitas

Suku Boti hidup selaras alam, secara tradisional, berpegang teguh pada adat istiadat yang diwariskan leluhur.

Penulis: Dion Kota | Editor: Benny Dasman
POS-KUPANG/DION KOTA
Raja Boti, Namah Benu 

Laporan Wartawan Pos Kupang,Com, Dion Kota

POS KUPANG, COM, SOE - Suku Boti mendiami Desa Boti, Kecamatan Kie, sekitar 40 kilometer dari pusat Kota SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Tercatat sebagai salah satu suku tertua di Nusa Tenggara Timur. Keturunan dari suku asli Pulau Timor, Atoni Meto.

Masyarakat Suku Boti adalah penganut aliran kepercayaan yang biasa dikenal dengan sebutan Halaika. Mereka percaya kepada dua penguasa alam, yaitu Uis Pah (dewa bumi) dan Uis Neno (dewa langit).

Masyarakat suku boti juga terbagi menjadi dua kubu yaitu Suku Boti Dalam dan Suku Boti Luar.

Suku Boti hidup selaras alam, secara tradisional, berpegang teguh pada adat istiadat yang diwariskan leluhur. Bahkan, Suku Boti mengisolasikan dirinya dari moderenisasi pembangunan.

Menggenggam erat tradisi lokal dari sengatan hedonisme dan modernitas. Ada beberapa fakta menarik tentang kehidupan warga Suku Boti Dalam yanag perlu diketahui.

Pertama, tidak memeluk agama. Masyarakat Suku Boti Dalam tidak memeluk satupun dari enam agama yang ada di Indonesia. Masyarakat Suku Boti Dalam menganut aliran kepercayaan Halaika. Halaika merupakan kepercayaan asli yang ditemurunkan leluhur orang Boti.

"Leluhur kami sudah menganut Halaika dan kami terus melanjutkannya. Kami lahir, hidup dari kepercayaan Halaika dan mati dengan kepercayaan asli leluhur kami itu. Agama yang ada di Indonesia saat ini datang dari luar Indonesia bukan asli dari leluhur orang Indonesia. Kami memilih untuk menjaga kepercayaan asli leluhur kami," ujar Raja Boti, Namah Benu, dalam bahasa daerah yang diterjemahkan anggota DPRD TTS, Hendrikus Babys, di SoE, Jumat (30/8/2019) pagi.

Menganut aliran kepercayaan Halaika membuat orang Boti Dalam memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alam. Hal inilah yang membuat alam begitu murah hati dengan orang Boti Dalam.

Jika orang Boti Dalam meminta hujan atau meminta hewan agar keluar dari hutan, pasti akan diberikan alam. Orang Boti Dalam percaya jika manusia baik dengan alam, maka alam akan baik dengan manusia, begitupun sebaliknya.

Kedua, menolak beras sejahtera (Rastra). Walau tergolong masyarakat tidak mampu, masyarakat Suku Boti menolak menerima bantuan rastra dari pemerintah.

Menurut Raja Boti, Namah Benu, pemberian bantuan hanya membuat masyarakat menjadi malas bekerja dan membiasakan masyarakat untuk mengharapkan bantuan agar bisa bertahan hidup. Etos kerja keras yang diwariskan leluhur akan terkikis oleh pemberian tersebut.

Untuk itu, demi menjaga etos kerja keras, masyarakat Boti Dalam menolak bantuan rastra dan memilih memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani dan beternak.

Ketiga, terdapat 76 kepala keluarga (KK). Suku Boti Dalam hanya dihuni 76 KK, mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak. Suku Boti Dalam tidak memeluk agama, Suku Boti Luar sudah memeluk agama.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved