Kebiasaan Bung Karno Bikin Pidato 17 Agustus, Pandang Bintang di Langit, Bermunajat dan Tulis Tangan
naskah pidato atau menyampaikan pidato secara spontan, konon ada perbedaan saat Soekarno mempersiapkan pidato untuk amanat Hari Kemerdekaan
Manakala kita melempem, manakala jiwa kita lembek, manakala kita menyerah sebagai obyek sejarah dan tidak berusaha menjadi subjek sejara, maka jangankan 20 tahun, 200 tahun sekalipun akan tertancap dalam debu sejarah sebagai bukan apa-apa. Ya, bukan apa-apa
Tapi manakala kita berlawan, berjuang, menjebol, dan membangun, mendestruksi dan mengkonstruksi, berfantasi dan berkreasi, manakala kita berjiwa elang rajawali dan bersemangat banteng, manakala kita pantas disebut pejuang sebagaimana 20 tahun ini kita membuktikannya.
Maka jangankan 20 tahun, 2 tahun saja pun, tapi 2 tahun yang dahsyat demikian itu akan tercatat abadi dalam sejarah dan akan abadi sebagai teladan.”
Menanggapi pidato yang disampaikan Bung Karno, 17 Agustus 1965, Menko saat itu, Roeslan Abdoelgani, menyebutnya sebagai konsep politik yang rasional dan ilmiah.
“Adapun konsep ‘Berdikari’ adalah suatu konsepsi politik yang rasionil serta ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, karena sikap berdikari itu adalah respons yang tepat terhadap challenge pihak Nekolim di segala bidang terhadap revolusi dan Republik Indonesia kita, terutama challenge mereka di bidang ekonomi,” kata Roeslan, dikutip dari artikel Kompas edisi 24 Agustus 1965.
Sementara, Pemuda Katolik ketika itu menganggap isi pidato Soekarno itu menjadi cambuk bagi semua pihak untuk mewujudkan Indonesia yang dapat berdiri di atas kaki sendiri, untuk berbagai bidang keperluan.
