Berita Cerpen
Gadisku di Sudut Nisan :Cerpen Arnold Aliando Bewat
Gadisku di Sudut Nisan :Cerpen Arnold Aliando Bewat. Ibu tak sanggup menutupi dirimu begitu cepat dengan debu yang membentuk badanmu.
POS-KUPANG.COM|KUPANG - "Adik, sembilan bulan aku bersusah payah menghangatkan arimu, siang dan malam dalam bisu aku lelah membilas kasih, tapi mengapa engkau pergi begitu lekas membiarkan aku sendirian pada malam yang letih ini, adik mengapa wajahmu lekas buram dari semesta ini, mengapa bukan ibu yang harus menggantikan napasmu tetapi engkau sendiri menerimanya sebagai kado ulang tahun ibumu, adik...
Ibu tak sanggup menutupi dirimu begitu cepat dengan debu yang membentuk badanmu, ibu tak sanggup merelakannya begitu saja, ibu tak rela membiarkan engkau melangkah jauh abadi dari ibu.
Mengapa Tuhan, harus anakku yang menanggung derita-Mu? Mengapa bukan aku yang memikul salibnya.
• Lampu Mati, Begini Cara Mudah Hemat Baterai Smartphone, Yuk Kepoin
Engkau begitu tegah merampas kebahagiaannya dariku? Mengapa Engkau begitu subuh menarik dia untuk kembali pada-Mu?
Tuhan walaupun sesungguhnya napasku pun dariMu tetapi setidaknya Engkau membiarkan matanya memanjakan diri dengan melihat semesta rakitan tangan-Mu, dari situ ia akan mengerti betapa Engkau mempunyai kuasa segalanya bahkan maut pun berada dalam suara-Mu."
***
Hidup kadang memang begitu getir dan rumit, membiarkan manusia sendiri menapaki jalan yang tak berujung, kadang aku ingin pulang pada persimpangan bahagia yang pernah kulangkahi.
Tapi itu tidak mungkin, kakiku tak mampu membawaku pulang, jejakku telah dihapus rintihan hujan pada musim yang lalu.
Sekarang di hadapanku tinggal terhampar sepi pada semesta yang dangkal, aku lelah menyibak rindu menanak kenangan, toh pada akhirnya ia akan lenyap, saat ini aku hanya bermimpi seorang diri, membiarkan tubuh rapuku berbaring bersama dukaku, aku tak sanggup membiarkan napasku bersiul sendirian dalam bayang tanpa ditemani senyuman dari anakku.
• Jimin BTS Jadi Artis Korea Pertama yang Pecahkan 50 Juta Stream di Spotify dengan 3 Lagu Solo
Sesungguhnya aku tak bisa lepas dari sesuatu, apalagi sesuatu itu membuatku berarti menjadi seorang ibu tapi pada saat ini rupanya aku tak berarti apa-apa.
Memori 15 tahun silam mengepul kembali memaksa diri ini untuk menghangatkan kenangan itu. Kenangan kala gunung Egon mengamuk ganas, meluapkan larvanya pada lereng Mapitara dan Waigete, aku hanya menangis gaduh memohon pada "Nian Tana", agar tangan-Nya kembali meremasi napasku biar hidup sekali lagi ditemani jemari hangat dalam rahimku.
Derapan ricuh air mata tetanggaku menghantui aku tentang kematian yang segera menjemput ajal seandainya Egon ngotot merampas napas kami.
Tapi nasibku berada pada tangan yang lain, tangan keberuntungan, tangan cinta dari sang Rahim kehidupan.
• Linus Lusi, S.Pd, M.Pd: Kelola Perbatasan Dengan Hati
Rupanya Ia belum tegah membiarkan Egon mengakhiri hidupku dengan kepulan abunya.
Gerak massa pengungsian di arahkan menuju kota Maumere melintasi pantai Selatan melalui jalur
Mapitara-Bola-Kewapante-Maumere. Di Maumere keluargaku mendapat ruang untuk berhuni di Aula Susteran SsPS, kompleks Bhaktyarsa.
Pada cinta sang ayah, aku dituntun oleh suara hati untuk tetap setia kepadanya. Suami yang selalu berjaga di sampingku entah tempo susah maupun senyum apalagi saat-saat seperti ini.
Kami menikah dua tahun silam dan pada kesempatan ini aku sedang mengandung buah hati sulungnya.
Walaupun kadang sulit kulukiskan dengan kata tentang kasih kami berdua. Ibarat setetes embun yang jatuh di hamparan gurun pasir sekejap ia hilang tak berjejak dan sulit meninggalkan basah, tetapi kasih suamiku terus bertunas dalam hamparan hidup kami berdua hingga detik ini.
Aku sulit mengisahkan kasihku kepadanya, kusadar sering aku membuat retak hubungan kami dengan melukai hatinya. Lalu kini giliiran Egon merampas kebahagiaan kami.
• MAG Politani Dukung Poktan Imanuel Oetune, Produk Orientasi Pasar Dengan Miliki P-IRT
Ia menghancurkan segalanya bahkan rumah tempat tinggal satu-satunya pun ia renggut.
Pada wajah sesamaku aku melihat guratan kecemasan beraduk dengan rasa syukur tak terhingga, cemas tentang kehilangan dan syukur atas napas yang masih tersenggal.
Mentari terus beranjak pulang dan hari semakin larut aku berlarut dalam kesakitan dan rasa getir pada perutku mulai memuncak, seketika aku dilarikan ke rumah sakit, lalu pada saat itu aku melihat suamiku menyimpulkan senyum bahagia tak terhingga menyambut kedatangan putri sulungnya, Maria Yusfanti Egonia.
Ia yang kini telah hilang ditelan badai penyakit ganas, ia yang selalu setia menyimpulkan senyum dan selalu berujar "mama" dalam situasi apapun bahkan saat ia dipukuli ayahnya.
Putri yang selalu membuat aku tak sanggup dan tak ingin melepaskan rindu untuk bersamanya. Mungkin ibu yang lain bisa melepaskan jemari pada wajah rahimnya tetapi bagiku dan pada saat ini aku tak bisa menguburkannya selama tanah makamnya masih belum kering.
Embun pada mata ini sulit untuk berhenti menetes seiring kisah kasih anakku mesih menguap, dan kesedihan tak mungkin bisa kubendung dengan jiwaku yang rapuh ini.
Tuhan seandainya Engkau bermurah hati, aku mohon hadirkan kembali putriku Egonia dalam peluk kemurahanku ini, walaupun cukup malam ini dan esok ketika mentari terbit, silakan Engkau merampasnya lagi dari pertiwi wajah ini.
• AYO TONTON, 5 Film Luar Negeri yang Akan Tayang di Bioskop Indonesia Bulan Agustus 2019, Ini Daftar
Tapi itu pun tak mungkin Tuhan, aku yakin Engkau tak sanggup melakukannya dan walaupun Engkau sanggup aku tak yakin Engkau bermurah hati padaku.
Semuanya akan menjadi sudah cukup jika Engkau memberikan kebahagiaan yang Engkau sendiri janjikan kepadanya, Engkau tahu aku tak pernah berhenti untuk bernas doa selama rasa kasih ini masih merambat, aku tidak pernah berpaling dan pergi meski ia pergi meninggalkan aku, Tuhan.
***
Rasanya aku ingin memuntahkan semua pengorbanan bersama suamiku selama tiga bulan ketika merawat Egonia, namun kepada siapa aku membiarkan kisah ini bersarang.
Sulit untuk kualirkan air pengalaman ini kepada orang yang salah, pada orang yang tidak pernah merasakan kehadiran sesamanya.
Sudah beberapa kali aku harus belajar keras untuk memahami orang-orang seperti ini dan pada saat ini aku sudah jenuh belajar memahami, aku sudah kapok.
Menemukan pemahamanan dalam diri mereka pun membuat aku sudah menjadi cukup namun tidak sempat kujumpa. Aku lebih memilih simpan dalam lubukku mesti sakit, biar rindu bisa diobati walaupun kelak ia akan kambuh kembali.
• Ketua DPRD NTT, Anwar Pua Geno Minta Pemprov Perhatikan Penyerapan APBD
Saatnya harus bisu menjalari diriku. Rupanya semilir cukup jeli mendengar rintihan diri ini, jika ia sanggup biarlah ia sendiri menepikan rindu ini pada makam anakku.
Oh, angin malam dengarlah suara tangisku dan bawalah serta uraian senduku, jangan kau langkahi wajahku dengan potret Egonia.
Jangan pula engkau membilas senyumnya dari semesta ini. Seandainya engkau sanggup, tolong tepikan rupanya pada malam ini biar tidurku terbuai mimpi parasnya. Dan esok aku bisa bangkit dengan menyunggingkan senyum pada makamnya.
Oh, angin malam dengarkanlah jerit hatiku, terbangkan kemari aroma jiwa anakku, biar aku bisa menghirup kenangan bersama dia, waktu-waktu lalu.
Juga janganlah engkau mengusik rindu ini, biar ia sendiri hilang bersama raut wajah anakku dari paras ini.
Seandainya aku sanggup menghilangkan rindu ini dan menjadi diri utuh sebelumnya, aku pasti sudah pulang pada kehidupan lama. Kehidupan sebelum aku mengandung dia.
• Syahrini Banjir Pujian, Ini yang Dilakukan Inces Pada Reino Barack, Mama Wati dan Mama Mertua
Mengenal dan membesarkan dia rupanya mengantar aku pada luka, luka yang tak akan pernah berakhir dan disembuhkan.
Egonia telah menusuk hati dan rahimku menjadi serpihan diri yang sakit. Oh kekasihku, maafkan ibumu ini yang tidak bisa berbuat banyak untuk membangkitkan ragamu.
Ibu hanya bisa menyembunyikan rasa getir ini ketika engkau bertanya, "Mama kapan kita kembali ke rumah?"
"Ibu tidak bisa melakukan lebih bahkan membuka matamu untuk melihat pun ibu tak sanggup. Maafkan ibumu, nak. Ibu tak bedanya dengan orang yang tidak engkau kenal. Ibu hanya sebatas perempuan yang bersikap dingin di hadapanmu dan tidak merelakan pundak untuk menjunjung semua sakitmu, ibu hanya memikul jerihmu kala mengandung dan membiarkan engkau berpamitan dengan rahim ini, nak."
"Seandainya ibu mampu, ibu sudah melenyapkan raut mukamu dari semesta ini, nak. Walau hanya melalui aroma kamboja, ibu sanggup melakukannya. Janganlah engkau marah padaku nak, tetapi jika engkau mau marah silakan, ibu siap menerimanya sebagaimana ibu siap memelihara benih cintamu di rahim ibu."
"Percayalah ibu tak akan pernah menghilangkan kasihmu dari pertiwi ini, cerita hidupmu sudah mengalir dalam darah ini nak. Ibu yakin suatu saat nanti engkau dan ibu akan berjumpa dan kita akan melepas rindu dalam pelukan abadi, pelukan cinta yang mampu membunuh segalanya bahkan maut sekalipun."
"Ibu hanya pasrahkan semuanya kepada Ia yang menapasi hidup kita. Percayalah nak, ibu pasti akan menemukan dirimu nanti dalam hidup abadi, di sana kita akan berbagi kisah mendulang kasih dalam rindu abadi.
• Gara-Gara Mati Lampu Pengantin Wanita Lewati Malam Pertama Dengan Pria yang Bukan Suaminya
Jika nanti kita berpapasan janganlah engkau mengairi pipimu dengan embun matamu tetapi cukup mengurati wajahmu dengan senyummu, karena ibu sangat merindukan senyum manismu nak. Ibu juga akan melakukan hal yang sama jika Tuhan membiarkan kita berjumpa, ibu yakin semua impian ini akan terjawab jika kelak kemah ibu sudah terbongkar."
"Sekarang ibu tidak berbuat banyak hal yang lebih, ibu hanya memanjatkan nas agar Tuhan sanggup mengobati luka ini, nak.
Luka yang membawa dendam tanpa ampun, luka yang tidak berakhir pada kesembuhan tapi malah membias diri menjadi air mata nak.
Jika ibu didekam kisah berlalu, hati ini seolah ditaburi jarum, perih menjerit melihat gambaran kisahmu yang buram dan kini harus terlelap kaku dalam kubur yang jurang, mungkin saja jika Ia bersedia Ia akan mendekap engkau dalam pelukNya.
Itu saja nak rintihan hati ibumu yang selalu mencari lelap agar bisa mendapatkan parasmu walaupun sekedar mimpi dalam tangisan yang bisu.
Jangan engkau berpikir ibu meniadakan adamu, melainkan karena kehadiran dirimu ibu masih sanggup untuk membentangkan cerita tentangmu. Kisah tentang gadis di padang bulan mencari angin untuk membiaskan senyum purnama kepada dunia." (*)
(Penulis ialah Mahasiswa STFK Ledalero).