23 Tahun Kudatuli Berlalu, Megawati Masih Memilih Diam, Tak Bersuara, Mengapa? Simak Beritanya

Sudah 23 Tahun Kudatuli Berlalu, Megawati Masih Memilih Diam, Tak Bersuara, Mengapa? Simak Beritanya

Editor: Kanis Jehola
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Megawati Soekarnoputri tahun 1998. 

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil kongres Medan, Soerjadi, beserta pengurus lainnya diterima Panglima ABRI Feisal Tanjung yang disertai para Kepala Staf Angkatan dan Polri serta Kepala BIA, di Mabes ABRI, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu pagi, 3 Juli 1996.

Mereka yang datang antara lain Ismunandar, Butu R Hutapea dan Fatimah Ahmad. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil kongres Medan, Soerjadi, beserta pengurus lainnya diterima Panglima ABRI Feisal Tanjung yang disertai para Kepala Staf Angkatan dan Polri serta Kepala BIA, di Mabes ABRI, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu pagi, 3 Juli 1996.
Mereka yang datang antara lain Ismunandar, Butu R Hutapea dan Fatimah Ahmad.

Megawati sendiri dan pendukungnya tak hadir dalam kongres. Di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, unjuk rasa digelar memprotes PDI versi Soerjadi yang dibekingi pemerintah.

Dukungan untuk Mega mengalir deras. Mega dituduh makar. Selain aksi unjuk rasa, PDI kubu Megawati juga melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bambang Widjojanto yang kini jadi pembela Prabowo dulu membela Megawati di pengadilan. Mega juga menggerakkan mimbar bebas bak dukungan bagi Corazon Aquino ketika rezim Ferdinand Marcos berkuasa di Filipina.

Di DPP PDI di Jalan Diponegoro, mimbar bebas digelar setiap hari. Sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) mencatat mimbar tersebut tak disukai ABRI dan polisi.

Pangab Jenderal Feisal Tanjung bahkan menuduh mimbar tersebut sebagai makar. "Itu bukan bangsa Indonesia lagi. Saya kira itu PKI," kata Feisal.

Tuduhan itu segera dibalas Megawati. Ia mengatakan, mimbar digelar untuk menyalurkan suara rakyat yang terinjak-injak. Ia mengaku kegiatannya tak ditutup-tutupi dan tak ada agenda makar.

"Kalau saya mau membuat makar tentu sudah saya lakukan. Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak-poranda dengan adanya Kongres Medan," kata Megawati di depan puluhan wartawan asing dan nasional di akhir Juli 1996.

Tak mengakui Kongres Medan yang memenangkan Soerjadi, PDI kubu Megawati pun menjaga DPP siang malam. Pasalnya, isu perebutan DPP sudah merebak. Yang mereka lakukan hanya menjaga dan mencoba mempertahankan.

Para simpatisan bahkan sudah menandatangani surat tidak akan menuntut Megawati jika nanti mereka harus kehilangan nyawa. Kerusuhan Yang ditakutkan tapi dinanti tiba juga.

Mirip operasi intelijen, kantor DPP PDI yang dijaga pendukung Megawati itu akhirnya digeruduk pendukung PDI kubu Soerjadi di saat fajar 27 Juli 1996.

Harian Kompas lewat tulisannya Kronologi Kerusuhan 27 Juli mencatat, massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning.

Terjadi dialog antara delegasi massa PDI pendukung Soerjadi dan massa PDI pendukung Megawati sekitar 15 menit. Massa kubu Megawati meminta agar kantor dinyatakan sebagai status quo.

Kesepakatan tidak tercapai. Pukul 06.35 terjadi bentrokan di antara kedua kubu. Massa PDI pendukung Soerjadi yang mengenakan kaus warna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres Medan" serta mengenakan ikat kepala melempari kantor DPP PDI dengan batu dan paving-block.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved