Kaum Perempuan Tolak Rancangan Qanun Poligami di Aceh, Laki-laki Akan Makin Leluasa Menikah Lagi
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedang menggodok Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga, antara lain mengatur poligami atau istri lebih dari satu
Penulis: Agustinus Sape | Editor: Agustinus Sape
Namun alasan ini dinilai tidak relevan oleh aktivis perempuan Aceh yang juga mantan anggota komisioner Komnas Perempuan, Samsidar.
"Kalau disebut untuk antisipasi nikah siri, penyelesaiannya bukan poligami. Isu nikah siri di Aceh itu kompleks. Itu dulu banyak terjadi karena pada masa konflik institusi pemerintahan termasuk KUA tidak berfungsi, sehingga banyak orang menikah siri, dan bahkan program isbat nikah untuk mengatasi masalah itu saja sampai sekarang belum terselesaikan oleh pemerintah Aceh," Kata Samsidar.
Aktivis perempuan Aceh yang juga salah seorang penyusun naskah akademik dan draf rancangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini menambahkan rancangan Qanun ini berisiko semakin merugikan pihak perempuan lantaran memuat sejumlah pasal karet yang multitafsir dan mengabaikan hak perempuan untuk menolak dipoligami.
"Pada salah satu pasalnya diatur syarat poligami adalah mampu bersikap adil. Pertanyaannya siapa yang nanti akan memberikan penilaian dia mampu berlaku adil? Kan adil itu sesuatu yang akan terjadi kemudian, bukan sebelum poligami? Gimana caranya mengukur mampu adil kalau belum terjadi. Kalau udah terjadi udah dipoligami namanya," tambahnya.

Ia juga menyoroti ketentuan dalam salah satu pasal di Bab Poligami yang membolehkan pria menikah lagi meski tanpa izin atau persetujuan istri atau istri-istri lainnya jika salah satu saja dari sejumlah syarat yang membolehkan Mahkamah Syari'ah untuk menerbitkan izin bagi seorang pria untuk berpoligami sudah terpenuhi.
"Selama ini kalau mau jujur poligami banyak terjadi di luar persetujuan istri. Jadi ada pemalsuan izin dll, kalau pada UU Perkawinan yang jelas mengatur ketentuan harus ada izin istri sah saja diabaikan ketentuan itu, apalagi dengan Qanun ini yang memberikan peluang boleh tanpa izin istri untuk menikah lagi. Jadi terus terang bagi saya ini hanya bentuk promosi poligami dan mengabaikan hak-hak perempuan," tegasnya.
Samsidar mengingatkan Komisi VII DPRA kalau masih banyak isu kesejahteraan sosial lainnya yang lebih krusial untuk diprioritaskan ketimbang urusan poligami.
Ia merujuk pada masih tingginya angka kasus KDRT terhadap perempuan di Aceh serta kasus kesehatan dan kemiskinan perempuan.
Pegiat anti kekerasan terhadap perempuan ini menuding raqan itu hanya akan menguntungkan pria yang memiliki kecenderungan untuk berpoligami, termasuk sejumlah elite di NAD yang diketahui berpoligami.
Karenanya dia mengingatkan konsekuensi lanjutan dari aturan ini terhadap anggaran pemerintah.
"Kalau itu sudah ada dalam qanun, maka pejabat yang beristri lebih satu, berarti harus dibiayai oleh negara juga dong. Konsekuensinya begitu karena kan ada tunjangan istri kalau di Aparat Sipil Negara (ASN), bisa jadi nanti advokasinya akan seperti itu. Nanti ini bisa merembet ke provinsi lain."
Atas sederet pertimbangan ini Samsidar mengatakan Rancangan Qanun ini harus ditolak. Dia juga mempertanyakan tidak adanya naskah akademik yang menjadi salah satu syarat penyusunan aturan hukum di tanah air.
DPRA: Kami justru hendak mempersulit poligami
Menanggapi kritik dan kekhawatiran dari kalangan perempuan ini, Wakil Ketua Komisi VII DPRA Musannif mengatakan aturan ini justru hendak melindungi perempuan dari praktik poligami yang dilakukan seenaknya oleh laki-laki.
Ia pun menampik keras tudingan raqan ini justru akan semakin mempromosikan poligami.
"Syariat Islam memang mengatur pria boleh beristri dua tiga atau empat, tapi sampai di situ dikunci, gak diteruskan. Padahal ayat selanjutnya di QS. An Nisa berbicara tentang keadilan. Jadi kita mau bicara soal keadilan, jangan cuma mau beristrinya aja 2,3,4, tapi keadilannya gak mau tahu. Akhirnya lelaki hidung belang seenaknya aja kawin siri, siapa yang jadi korban? Lagi-lagi perempuan dan anak," kata politisi dari Partai Persatuan Pembangunan ini.