Bangun Budaya Ilmiah, Jikom Undana Gelar Fisip Corner, Yuk Simak!
Diskusi yang dimaksudkan untuk membangun budaya diskusi ilmiah dalam kampus tersebut dilaksanakan di lobby gedung FISIP Undana Penfui
Penulis: Gecio Viana | Editor: Rosalina Woso
Namun, dalam perspektif teori kritis ilmu komunikasi, diakuinya kontruksi realitas itu sarat dengan praktek wacana sehingga diperdebatkan dan temukan juga bahwa media pun memainkan isu-isu yang tidak dapat dihindari.
Menurutnya, media idealnya sebagai pilar demokrasi yang esensinya untuk memberikan pendidikan termasuk pendidikan politik kepada masyarakat, akan tetapi dalam kenyataannya mengalami pergeseran atau disfungsi media.
• Yuk Kepoin, Perkiraan Cuaca Aktual Penerbangan di Bandara El Tari Kupang Hari Ini
• BERITA POPULER: 6 Tersangka Korupsi NTT Fair, Orang yang Akan Bunuh Gories Mere & 4 Pemain Persib B
• Wagub NTT, Josef A. Nae Soi : UPTD Pendidikan Telah Ditetapkan dalam Pergub NTT
Selain itu, dalam perkembangan yang pesat saat ini, masyarakat diharapkan tidak hanya sebatas menerima begitu saja konten media yang ada.
Lebih lanjut, dengan kemampuan literasi media yang cukup, dapat membedakan mana berita yang benar dan berita palsu atau hoax maupun berita yang berisi propaganda, ujaran kebencian dan berbau SARA.
"Kita saat ini sangat bergantung pada teknologi tapi kita bukan masyarakat yang hanya diterpa begitu saja, akan tetapi kita bisa membedakan apa yang berita benar, betul dan mana hoax, sehingga memang kemampuan literasi memang menjadi penting untuk bisa memfilter," paparnya.
Menurutnya, ruang-ruang publik dan utamanya digital dirasa memberikan polarisasi terutama bagaimana pertarungan dalam pemilu tahun ini.
"Sehingga jika kita tidak memiliki literasi media yang cukup potensi disintegrasi bangsa begitu besar ke depannya," katanya.
Dikesempatan yang sama, Monika Wutun, S.Sos., M.I.Kom mengatakan, dalam momentum pemilu hingga pascapemilu saat ini, realitas yang nampak adalah adanya perang opini, perang sarkasme, perang ujaran kebencian dan perang SARA yang terjadi di media.
Menurutnya, salah satu penyebab hal itu adalah keberpihakan beberapa pemilik media yang secara langsung berafiliasi secara politik dengan salah satu pasangan calon presiden.
Sehingga, keberpihakan media pun hanya ada pada satu pihak tertentu dan mengesampingkan independensi media.
"Ini membuat kalau kita mengetahui independensi dam objektivitas dari mana. Kalau begitu bagaimana kita berharap konten yang benar-benar objektif," katanya.
Dalam pernyataan penutupnya, Monika menjelaskan, menjadi tanggung jawab kaum akademisi untuk meningkatkan budaya literasi media bagi masyarakat.
"Masyarakat yang lain yang mungkin belum memahami secara literal, barangkali kita harus memulai menggali tanggung jawab, bagian mana yang harus kita tempatkan sehingga kita tidak saja berkoar dalam moment sangat akrab ini. Tapi kita mungkin bisa cari tempat bahwa untuk literasi ini akan menyebar," tegasnya.
Menurutnya, ditengah perkembangan teknologi dan era big data, jika ingin mendapatkan realitas yang sebenarnya maka disarankan untuk mengakses informasi atau berita dari media mainstream.
Hal tersebut, lanjut Monika, karena dalam media mainstream terdapat proses redaksional yang pasti dan tepat yakni dari merencanakan sampai pada mempublikasikan konten media.