Kisah Heroik WNI Sembunyi di Roda Pesawat - Dari Penang Malaysia, Pekanbaru Hingga Kupang NTT

Kisah Heroik WNI Sembunyi di Roda Pesawat - Dari Penang Malaysia, Pekanbaru Hingga Kupang NTT

Editor: Agustinus Sape
Shutterstock
Roda pesawat terbang. 

Kasus TKI menerobos masuk roda pesawat di Penang Malaysia mengingatkan kita pada kasus serupa pada tahun 2015.

Pada tanggal 7 April 2015, seorang pria bernama Mario Steven Hambareta sukses masuk roda pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 177 jurusan Pekanbaru-Jakarta. 

Sampai-sampai Ketua Komisi V DPR Fary Djemy Francis meminta Kementerian Perhubungan menindak tegas manajemen Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru atas kelalaian prosedur standar operasional keselamatan dan keamanan penerbangan tersebut. 

"Kemenhub harus menindak tegas GM dan Kepala Otoritas Bandara Pekanbaru," kata Fary di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/4/2015).

Anggota Komisi V DPR Muhammad Nizar Zahro menuntut audit terhadap Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, atas lolosnya Mario ke dalam roda pesawat. Mario menyusup ke dalam roda Pesawat Garuda Indonesia dan menumpang hingga ke Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang.

“Tugas bandara adalah memberikan fasilitas keamanan. Ini jelas kelalaian dan keteledoran pihak bandara asal Mario berangkat,” kata Nizar, Rabu (8/4/2015).

 

Menurut Nizar, manajemen Bandara Sultan Syarif Kasim II harus bertanggung jawab mengawasi dan memeriksa semua penumpang. Bandara juga harus mencegah orang-orang yang tak berkepentingan masuk ke area steril.

“Saya sebagai anggota panja akan mengusulkan ke pimpinan agar segera menginvestigasi kasus Mario yang masuk ke roda pesawat dan mengevaluasi menyeluruh situasi internal Bandara Sultan Syarif Kasim II dan Soekarno-Hatta selaku bandara asal dan tujuan pesawat GA177 yang ditumpangi Mario,” kata Nizar.

Di Kupang, NTT

Jauh sebelumnya, kasus kasus warga menerobos ke roda pesawat justru terjadi di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Itu terjadi pada tahun 1946, pada saat Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.

Pesawat itu berangkat dari Kupang menuju Darwin, Australia. Pelakunya adalah seorang anak yatim asal Kupang berusia 12 tahun.

Anak itu ditemukan dalam keadaan pingsan dan tubuh penuh luka-luka di ruang roda pesawat yang mendarat di Bandara Darwin.

Anak yatim asal Kupang, Indonesia, ini bernama Bas Wie. Ia ditemukan meringkuk di roda pesawat Dutch DC-3 yang mendarat di landasan pacu Bandara Kupang. Ketika itu, ia bekerja di ruang dapur bandara tersebut.

Bas Wie ditemukan di ruang roda pesawat dalam keadaan tidak sadarkan diri dan menderita sejumlah luka di sekujur tubuhnya, ketika pesawat Dutch DC-3 mendarat di Bandara Darwin, tiga jam kemudian.

Arsip nasional Australia menyimpan ratusan dokumen terkait tindakan luar biasa nekat yang dilakukan anak yatim asal Kupang tersebut, dan kehidupan Bas Wie selanjutnya di Northern Territory.

Kurator Arsip Nasional Australia, Michelle Hughes, mengatakan, dokumentasi yang dimiliki lembaganya antara lain menceritakan tentang betapa mengerikannya perjalanan yang dilalui Bas Wie dari Indonesia ke Darwin dengan menyelundup ke ruang roda pesawat.

"Dia disebutkan sempat terbakar oleh knalpot pesawat, menyebabkan ia memiliki bekas luka gores di tulang bahunya. Dia juga menderita hipotermia akibat udara dingin yang bersumber dari baling-baling pesawat," kata Hughes.

"Jadi bisa dibilang, Bas Wie sangat beruntung bisa selamat dari perjalanan tersebut," katanya.

Dokumentasi Arsip Nasional Australia juga menunjukkan, Bas Wie memutuskan untuk menyelundup ke ruang roda pesawat tujuan Australia karena ia sempat mengalami pahitnya hidup pada masa pendudukan tentara Jepang di Timor selama Perang Dunia II.

Di samping itu, ia teringat dengan kebaikan seorang tentara Australia yang pernah menawarinya kornet sapi dan juga permen.

Namun, berdasarkan kebijakan "Australia Putih" yang berlaku ketika Bas Wie tiba di Darwin, anak yang belakangan mendapat julukan "The Kupang Kid" atau "Anak Kupang" itu dikategorikan sebagai pendatang yang tidak diinginkan, dan sesuai ketentuan harus dideportasi.

Namun, dokumen arsip menunjukkan ratusan kliping koran dan surat dari warga yang menawarkan diri untuk mengadopsi atau menampung Bas Wie, serta komunikasi resmi antara tokoh mantan administrator NT, Arthur (Mick) Driver, dengan Menteri Imigrasi Federal ketika itu, Arthur Calwell.

Driver kemudian mempekerjakan Wie sebagai staf pribadinya. Ia juga mengirim Wie ke sekolah, dan memberikan penetapan kalau Wie terbebas dari UU Pembatasan Imigrasi.

Menurut Michelle Hughes beberapa korespondensi menunjukkan desakan terhadap Pemerintah Federal untuk menegakkan kebijakan mengenai imigran Asia.

"Orang yang beranggapan bahwa membolehkan Bas Wie tinggal di Australia adalah hal yang membahayakan berpikir bahwa hal itu dapat menciptakan preseden buruk pada kebijakan Australia Putih, dan mereka khawatir Australia akan dibanjiri oleh orang-orang seperti Bas Wie yang hendak tinggal di Australia," katanya.

Meski demikian, yang membingungkan, ternyata mayoritas masyarakat Australia ketika itu mendukung hak Bas Wie untuk tetap tinggal di Australia, tidak hanya karena mengingat betapa mengerikannya cara Bas Wie menyelundup ke Australia dengan menjadi penumpang gelap di ruang roda pesawat, tetapi juga karena mempertimbangkan betapa baik dan mudahnya Bas Wie beradaptasi dengan masyarakat Darwin.

"Kami memiliki catatan dari guru Bas Wie yang menyebutkan kalau dia berhasil beradaptasi secara sosial dan juga memiliki prestasi akademik," kata Hughes.

"Gurunya, Calwell, juga memberikan masukan agar kasus Bas Wie diberikan pertimbangan khusus mengingat anak Kupang ini yatim dan masih anak-anak."

"Jadi, warga menilai, lebih baik Bas Wie dibiarkan menetap di Australia dan memperoleh pendidikan sehingga dia bisa memiliki kesempatan hidup yang lebih baik."

Sebelum Driver meninggalkan Northern Territory, dia berhasil mencarikan pekerjaan untuk Bas Wie di Izods Motors dan mengupayakan agar Wie diadopsi oleh sebuah keluarga di Darwin.

Pada tahun 1958, 12 tahun setelah Bas Wie berhasil mendarat dengan selamat di Darwin Australia, "Anak Kupang" ini berhasil mendapatkan kewarganegaraan Australia lewat proses naturalisasi dan pernikahan.

Hughes menceritakan, berkas Arsip Nasional mengenai Bas Wie ini menunjukkan "perilaku kontras" dari kebijakan resmi Pemerintah Australia pada masa lalu dengan pemerintah sekarang terhadap warga Asia, dan bagaimana publik Australia menyambut anak muda yatim asal Indonesia ini.

"Berkas ini menunjukkan dengan tegas sebuah fakta bahwa warga Australia menyambut dengan hangat kedatangan Bas Wie. Warga Australia juga otomatis bersimpati dan memberikan perhatian khusus kepada anak ini, yang telah melewati banyak tragedi dalam hidupnya," katanya.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved