Produk Sophia Pemprov NTT Dikhawatirkan Hadirkan Efek Rente yang Merugikan Masyarakat
Sophia sebagai satu rencana kebijakan maka akan ada banyak identitas yang melekat seperti ekonomi,politik sosial, budaya, dan politik.
Penulis: Gecio Viana | Editor: Rosalina Woso
Produk Sophia Pemprov NTT Dikhawatirkan Hadirkan Efek Rente yang Merugikan Masyarakat
POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Pemprov NTT akan meluncurkan produk miras yang diberi nama Sophia pada Juni 2019 ini, beragam tanggapan pun muncul atas kebijakan dibawah kepemimpinan Gubernur NTT, Viktor B Laiskodat.
Salah satu pengamat politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. (cand) Rudi Rohi, SH., M.Si mengkhawatirkan produk ini menghadirkan efek rente yang marugikan masyarakat.
Hal itu disampaikannya saat memberikan pendapat dalam diskusi FISIP Corner yang bertemakan 'Layak kah Produk Sopia NTT' di lobby FISIP Undana Penfui Kota Kupang, Selasa (30/4/2019).
"Kalau sebagai komoditi ekonomi maka akan ada banyak rantai ekonomi baik dari hulu sampai hilir akan ada banyak rantai ekonomi. Kalau saya lihat sebagai efek politik, sebuah komoditi yang nantinya akan diekspor misalnya, akan mengakibatkan efek rente yang akan merugikan masyarakat dari tataran teoritik," katanya
"Apalagi Sophia ini akan menjadi komoditi ekonomi yang nantinya akan menjadi milik pemerintah. Efek rente akan muncul, misalkan, pilkada lima tahun sekali salah satu basis ekonomi politik akan bersandar ke situ," jelasnya.
Diakuinya, jika berbicara terkait Sophia sebagai satu rencana kebijakan maka akan ada banyak identitas yang melekat seperti ekonomi,politik sosial, budaya, dan politik.
Namun, berdasarkan kajian teoritiknya, Rudi menganalisis produk Sophia tidak berdiri sendiri sebagai komoditi primer rencana Gubernur NTT, akan tetapi menjadi pendukung kapitalisme pariwisata.
"Jangan-jangan dia ini untuk suporting komoditi atau akumulasi kapital yang lain. Seperti, kita butuh jalan kita juga butuh trotoar. Nah, Jangan-jangan Sophia ini ibaratnya trotoar tadi untuk memuluskan kendaraan di jalan raya. Ini juga perlu kita analisa secara baik," jelasnya.
• Anak Artis Pedangdut Ini Diberi Uang Jajan Rp 10 Juta Per Bulan, Begini Kisahnya!
• Bawaslu Imbau Caleg Segera Serahkan LPPDK ke KPU Sumba Barat
• UPG 45 NTT Jamin Lulusannya Mampu Bersaing di Dunia Kerja dan Berintegritas
Rudi menilai, perkembangan kapitalisme pariwisata saat ini kembali ke masa lalu yang menghidupkan gaya-gaya rezim kebahagiaan pada masa lalu atau perang pada masa lalu.
Di kota-kota yang militernya kuat dan tengah berperang, lanjut Rudi, di kotanya justru rezim kebahagiaannya dibangun dimana kafe dan diskotik di mana-mana
"Kebangkitan watak kapitalisme pariwisata atau erotic capitalism merupakan bagian dari mengakumulasi kapital pada satu sisi tapi pada saat yang sama di satu sisi menenangkan daya kritis masyarakat di sisi lain. Cara menenangkan dengan membangun aspek-aspek kebahagiaan kemudian orang tidak akan berpikir kritis. Yang dikhawatirkan adalah Sophia ada di titik ini," jelasnya.
Kemudian NTT yang katanya miskin akan muncul satu kemiskinan baru yang menjadi kamuflase luar biasa.
Kehadiran produk Sophia, ujar Rudi dapat dikaitkan dengan penutupan lokalisasi KD di Kota Kupang.
Menurutnya, lokalisasi yang dianggap sebagai satu tempat yang menyebabkan penyakit masyarakat ditutup, maka produksi miras pun harus dihentikan karena berdasarkan banyak pandangan memunculkan kriminalitas, tingginya angka lakalantas dan lainnya.
"Penutupan lokalisasi KD dan kemunculan Sophia sangat bertolak belakang atau paradoksal. Mestinya, saat KD ditutup, produksi miras pun dilarang. Rini kan logika sederhana. Tapi logika sederhana ini bisa ditabrak karena ada pendekatan kapitalisme pariwisata," tegasnya.
Dicontohkan, di Provinsi Bali yang terkenal dengan sektor pariwisata, terjadi penutupan pariwisata 'ecek-ecek' karena kapitalisme pariwisata yang dijalankan pemodal besar tidak mampu secara maksimal mengakumulasi modal atau kapitalnya.
"Itu semacam kita lihat ada Mall besar tapi ada toko kecil. Nah. Toko kecil ini harus digusur karena dimiliki oleh rakyat dan tidak ada keuntungan bagi kapitalisme pariwisata," contohnya.
Jika dilihat dari segi harga Sophia sebesar Rp 1 juta yang telah diumumkan oleh pemerintah, maka jelas bahwa Sophia akan dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas.
Terlebih, jika Sophia dikelola oleh pihak swasta, maka pihaknya merugikan jika masyarakat diuntungkan dari produk ini.
"Kalau memang harus home industri kenapa harus dikelola oleh distributor tertentu. Ini kan namanya sentralisasi kapital. Maka dari itu, dari kondisi ini saya membayangkan home industri maupun rantai penyuplai bahan baku serta produk (sopi) hanya awal saja," ujarnya
"Dan suatu saat akan menjadi industri besar serta ketika Sopia menjadi industri besar, apakah warga kita yang diuntungkan? Sekali lagi saya meragukan itu. Jadi saya mengajukan pesimisme tapi dengan analisis dan pendekatan-pendekatan," tambah Rudi.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)