Opini Pos Kupang
Opini Pos Kupang 10 April 2019:Pemilu dan Persoalan Kepercayaan
PEMILU yang sedang berproses hingga saat ini menampakkan suatu hal yang menguatirkan yaitu hilang atau memudarnya kepercayaan antar pihak
Idealnya, kondisi ini memicu dan menguatkan kecerdasan politik yang menjadi basis relasi politik antar berbagai pihak.
Namun bersamaan dengan itu, saling percaya di antara kita justru memudar yang ditandai oleh mudahnya berita bohong tersebar, dikonsumsi
dan bahkan menjadi pijakan bagi sebagian orang serta mudahnya orang marah atas nama kelompok politiknya, menjadi indikasi memudarnya kepercayaan tersebut.
Lalu darimana akar ketidakpercayaan tersebut dalam pemilu?
Mungkin ada banyak penjelasan terhadap pertanyaan ini, namun bagi saya, hal ini semua berakar pada sikap melihat kekuasaan (politik) sebagai milik yang daripadanya lahir keuntungan-keuntungan personal misalnya keuntungan ekonomi, penghormatan sosial dan sebagainya.
Sebagai milik, kekuasaan (menjadi kepala daerah, anggota legislatif) tercabut dari dimensi publik (urusan publik).
Dalam kerangka pikir milik publik, kekuasaan diperoleh karena relasional yang berbasis kepercayaan.
Sebaliknya, dalam kerangka pikir milik, kekuasaan adalah sesuatu yang dikapling dengan berbagai cara termasuk melalui transaksional--politik uang.
Sebagai kapling, boleh jadi jumlah kursi di legislatif (DPR/D) atau jabatan
di eksekutif adalah simbol besaran kapling kekuasaan yang didapat dari besaran
transaksional tersebut.
Itu yang menjelaskan bagaimana saat ini "kapling kursi" di legislatif/eksekutif dikapitalisasi semaksimal mungkin secara ekonomis yang bermuara pada pratek korupsi kebijakan di berbagai level dan tempat di Indonesia.
Hilangnya Isu Publik
Dalam proses pemilu yang saat ini sedang berjalan, implikasi dari praktek politik tanpa landasan kepercayaan yang kuat adalah terbentuknya pemilu yang minus diskusi isu dan agenda publik terutama di tingkat lokal.
Dalam relasi yang cenderung transaksional, pemilu justru kehilangan dimensi politiknya yaitu upaya artikulasi kebaikan bersama (publik).
Isu-isu khas NTT seperti perdagangan manusia, stunting, kemiskinan dan sebagainya tidak muncul secara kuat dalam arena pemilu.
Isu publik disingkirkan karena pertukaran ide politik dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna. Oleh caleg, mempersuasi pemilih dengan gagasan atau ide politik dianggap sebagai suatu strategi yang tidak efektif.