Berita Cerpen
Cerpen Wildus Tuname: Di Cerita Fajar
Cerpen Wildus Tuname: Di Cerita Fajar. Perjumpaan kami sore itu adalah pelepasan rindu yang selalu menunggangi setiap langkah kami.
"Dulu saya juga turut serta kakek ke kebun. Setiap kali kembali ke rumah pasti tak berjalan kosong." Abe mulai memecah kesunyian kami.
"Saya ingat waktu musim jagung. Di bawah pondok kami berteduh dari hujan yang tak lekang menyudahi rindunya pada tumbuh-tumbuhan. Kami duduk mengelilingi tungku. Asap mengepul. Api terus memanggangi jagung muda pilihan kami masing-masing. Suasana lingkungan menjadi hangat, begitu pula suasana hati. Saya sungguh merasakan cinta yang mudah diungkap bibir namun sulit dinyatakan tindakan."
"Auoooooo..auoooooo," pekik seorang teman dari gubuk mereka di kebun yang tak jauh dari kebun kami. "Auoooooo...auooooooo, " saya menyahut.
"Malam ini kita tidur di sini, ko? Hujan tidak berhenti nih, " sambung saya.
Teman di sebelah tidak menyahut. Mungkin suara saya ditelan derasnya hujan sehingga ia tidak mendengarkannya. Kakek terus memperhatikan jagung-jagung itu. Beliau mengupaskan satu yang sudah matang untuk saya. Saya memperhatikan sungguh.
Air liur saya menetes. Beliau mengoles sedikit lu'at pada jagung itu. Saya merasa hidup itu seperti lombok. Ia menyembunyikan kenikmatan di balik pedasnya.
"Tuhan tidak berhenti menangis, " kata kakek kepada saya sedikit kesal pada hujan.
"Dulu saat kami kecil, nenek moyang kamu menceritakan bahwa setiap titik hujan yang jatuh adalah tangisan Tuhan atas kesedihan hati-Nya melihat manusia yang berperilaku buruk, " cerita kakek.
Saya mendengar sungguh.
"Hujan tidak berhenti, pasti tadi kamu tidak ikut misa, " kata kakek sedikit menuduh.
"Ai, tadi saya ikut misa kakek, " saya mengelak.
"Tetapi,... saya hanya bermain di depan gereja bersama teman-teman, " lanjut saya sedikit takut.
"Dasar anak-anak zaman sekarang pergi misa hanya untuk bermain, " amarah kakek mulai tersulut. Mereka pikir hidup ini hanya untuk bermain dan bermain. Suasana hening. Hujan semakin deras. Letupan kilat dan lengkingan suara kakek mencekam suasana.
• V BTS Lakukan Hal Mengejutkan Ini Pada Para Wartawan Saat Tiba di Bandara Usai Konser di Hongkong
Beberapa menit kemudian letupan kilat berhenti. Kini letupan jagung menjadi irama yang mengiringi kesunyian kami. Kakek terus membalikkan jagung-jagung itu. Ia memastikan agar semuanya matang. Yang matang ia angkat, satu demi satu. Sejenak menanti panasnya jagung-jagung itu berkurang ia pun bercerita.
"Sekolah kalian sangat jauh berbeda dengan masa kami dulu. Di kampung Banain, kampung kita ini tidak ada sekolah. Terpaksa kami putri-putra Banain harus bersekolah di Tes, desa tetangga. Sepuluh kilo meter adalah jarak yang harus kami tempuh. Kendaraan satu-satunya adalah kaki yang dianugerahkan Tuhan," kisahnya.
"Dulu semua serba lisan. Guru mengajar, kami mendengarkan dan menulis. Kami menulis di batu. Ketika tulisan penuh langsung dihapus. Tetapi setiap kali ujian nilai kami tetap baik. Daya ingat kami kuat. Itulah kami. Saya selalu juara satu dalam angkatan kami, " cerita kakek berapi-api.
"Masa kini, buku tulis dan buku pelajaran kehadirannya sangat menggembirakan. Laptop, komputer dan telepon seluler tercipta dengan kemasan yang menggemaskan serentak mencemaskan. Orang-orang masa kini menamakan diri generasi mileneal yang lahir di era digital. Sungguh suatu perubahan luar biasa yang menyenangkan serentak meninabobokan umat manusia.
• Nilai Mata Rupiah Melemah 62 Poin, Ini Pemicunya
Kemalasan berkecambah. Mental instan mengakar kuat. Orang bodoh bertumbuh subur. Pengganguran bercabang lebat. Pencurian dan perampokan bermekaran. Moral tergerus, persaudaraan terhapus. Yang beradab jadi biadab."
Saya memandang kakek penuh kecemasan. Beliau bercerita seperti sedang memerankan sebuah pentas monolog.
"Itulah kali terakhir saya bersama kakek. Hidup kakek itu seperti jagung. Tulang jagung diselimuti oleh biji-bijinya. Keramahan, kesederhanaan, kebijaksanaan dan kepandaiannya menyembunyikan setiap perjuangan kerasnya di waktu dulu, " cerita Abe.
"Membayangkan aku seperti kamu adalah santapan saya setiap hari. Ingin menjadi seperti kamu adalah detak yang berletup di jantung ini." Kata saya sekali lagi sembari memfokuskan pandangan pada pusara kakek Elias Fuka.
Terima kasih dulu ada kamu. Hari mulai malam dengan tekad yang semakin dalam. Gelap semakin pekat bersama usaha yang makin bulat. Ada harapan yang terburai dari hati agar di cerita fajar ada semoga yang diaminkan malam dan di cerita fajar ada semoga yang dinyatakan siang. (*)
• Muhammadiyah Tetapkan Awal Puasa 6 Mei, Begini Penjelasannya
Kata-kata yang bercetak miring dalam tulisan ini adalah kata-kata dalam bahasa Dawan. Kata-kata di atas memiliki arti sebagai berikut.
Meop on ate tah on usif (sebuah ungkapan bijak dalam masyarakat dawan yang memilki arti kerja seperti hamba makan seperti raja).
Takanab (tutur adat), aluk (tas sirih pinang bagi para lelaki), bo'o (bakul), kola (tas perempuan yang terbuat dari daun lontar), Lu'at (sambal).
(Penulis adalah anggota Komunitas Arung Sastra Ledalero)