Renungan Harian Protestan Senin (11/3/2019) Tanggung Jawab Orang Kristen Melalui Partisipasi Politik
Renungan Harian Protestan Senin (11/3/2019) Tanggung Jawab Orang Kristen Melalui Partisipasi Politik
Pembaca yang budiman jika kita memperhatikan definisi dari politik, maka secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan
Menurut para pakar Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon.
Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik.
Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.
Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara.
Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Menurut Aristoteles Tujuan mulia daripada praksis politik adalah untuk mengupayakan kebaikan dan kesejahteraan bagi semua anggota polis (warga kota), dan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dalam relasi mereka satu dengan yang lain.
Menurut Aristoteles “manusia adalah makluk politis.” Hal ini kadang disalahartikan bahwa manusia suka merebut kuasa dan mencari kepentingan pribadi melalui intrik-intrik.
Padahal, maksud Aristoteles justru kebalikan dari tafsiran ini: menurut dia, manusia disebut makluk politis karena kemanusiaan kita hanya dapat diasuh dan terwujud sepenuhnya dalam kehidupan bersama, dalam sebuah koinonia yang lebih luas dari keluarga dan suku.
Justru karena kaitannya dengan hakekat kemanusiaan, maka politik dipandang oleh Aristoteles sebagai salah satu cabang dari etika.
Sikap Politik Orang Kristen dari perspektif teologis
Orang Kristen dipanggil oleh Tuhannya untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia, dan untuk memelihara alam ciptaan Tuhan. Tugas panggilan ini menjadi dasar utama bagi keterlibatan orang Kristen dalam politik.
Alkitab menunjukan sikap yang beragam terhadap pemerintah atau para pemegang kekuasaan politik. Secara garis besar atau secara ringkas, pada satu sisi Alkitab memandang buruk terhadap pemerintah dan para pemegang kekuasaan politik, tetapi pada sisi yang lain, pemerintah dan pemegang kekuasaan politik dianggap baik.
Sikap buruk Alkitab terhadap pemerintah digambarkan dengan jelas dalam kitab Wahyu.
Kitab Wahyu memandang perintah sebagai alat Iblis dan dan sumber kejahatan, karena itu tidak perlu dihormati dan harus dilawan, karena tidak mendatangkan kebaikan pada rakyatnya tetapi justru malapetaka dan penderitaan ekonomi dan sosial bagi rakyatnya.
Sikap kitab Wahyu yang radikal ini dapat kita baca dalam Wahyu 13. Dalam Wahyu 13 :1-18 pemerintah disimbolkan sebagai binatang, baik bintang yang keluar dari dalam laut (Binatang yang dimaksudkan disini adalah Naga atau Monster Laut biasa dikenal sebagai Leviathan, bandingkan misalnya Mz. 74:13-14. maupun bintang yang satu lagi yang keluar dari dalam bumi (Binatan yang dimaksudkan disini adalah Naga atau Monster darat biasa dikenal atau disebut sebagai Behemoth.
Dalam Kitab Ayub (40-41) disebut bersama dengan Leviathan, bandingkan juga 1 Henokh 60:7-9. Lihat juga Jehezkiel 39:17-20, Wahyu 19:17-18.).
Keduanya memiliki karakter yang sama yakni memiliki kekuasaan yang luar biasa tak terbatas (13:2, 12,13), semua orang tunduk dan menyembah dia oleh karena „sepakterjangnya“ (13:3,4, 13,14).
Sementara pada sisi yang lain Alkitab memandang positif terhadap pemerintah. Artinya bahwa pemerintah itu baik dan harus didukung, sebab pemerintah dipandang sebagai wakil Allah di dunia ini.
Hal ini tergambar dari sikap Rasul Paulus dalam Roma 13. Pemerintah tidak dipandang sebagai alat Iblis dalam simbol binatang seperti dalam kitab Wahyu, tetapi dipandang sebagai „wakil Allah“ dan „ditetapkan oleh Allah“ sendiri.
Sebab menurut Paulus tidak ada kekuasaan yang tidak berasal dari Allah dan pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah dan karena itu rakyat dituntut untuk patuh dan taat kepadanya. Sebab menurut Paulus melawan pemerintah berarti „melawan Allah“ itu sendiri dan pada akhirnya dapat mendatangkan hukuman.
Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.
Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya“. (Roma 13:1,2).
Jika demikian perspektif teologis Alkitabiah yang bertentangan itu, sikap manakah yang harus diikuti orang Kristen Indonesia dalam situasinya.
Apakah bersikap sebagaimana ditunjukkan oleh Kitab Wahyu atau sebaliknya bersikap sebagaimana yang diminta oleh Rasul Paulus dalam Roma 13. Tentu hal ini tidak mudah dan gampang. Oleh karena itu orang Kristen Indonesia membutuhkan Kriteria tertentu di dalam menunjukkan sikap politiknya secara nyata.
Kriteria sikap politik Orang Kristen
Kriteria sikap politik Kristen Indonesia dapat dibangun dari beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan mendasar pertama yang patut diajukan adalah mengapa Kitab Wahyu bersikap negatif dan buruk terhadap pemerintah?
Pertanyaan mendasar yang tak kalah pentingnya, mengapa Rasul bersikap positif terhadap pemerintah dan meminta rakyat untuk taat dan patuh padanya.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertnyaan mendasar ini terkait dengan konteks dan latar belakang kedua kitab-kitab itu ditulis.
Belajar dari Kitab Wahyu
Dari penyelidikan konteks dan latar belakang kitab Wahyu, kita tahu bahwa kitab Wahyu yang ditulis dengan memakai bahasa simbol dan lambang (atau yang dikenal dengan sastra apokalyptik) oleh Johannes itu dimaksudkan untuk menghibur 7 Jemaat di Asia Kecil yang mengalami penderitaan oleh karena penindasan pemerintah kekaiseran Romawi pada waktu itu.
(Kitab Wahyu ditulis sekitar tahun 90-95 sesudah Kristus, terkait dengan makin hebatnya upaya-upaya pengkultusan kaiser Domitianus. Lihat Udo Schnelle, Einleitung in das NeueTestament, Göttingen 2005, 563.)
Jemaat atau rakyat yang berada di bawah pemerintahan kekaiseran Romawi itu diminta tunduk dan taat terhadap segala peraturan yang berlaku, yang menindas rakyat termasuk di dalamnya penyembahan kaiser sebagai Tuhan.
Tentu hal ini menimbulkan perlawanan dikalangan rakyat terutama yang beragama Kristen, walaupun banyak yang menjadi korban pembantaian tentara romawi berupa penyembelihan, mata cungkil, atau dibakar hidup-hidup (Lihat Udo Schnelle, Einleitung in das NeueTestament, Göttingen 2005, 564.).
Itulah sebabnya atas kekejaman itu Yohannes menyimbolkan pemerintahan kekaiseran Romawi (baik kaiser maupun para senatornya bagaikan binatang atau monster.
Mereka bukan hanya telah menyesatkan masyarakat, tetapi juga menghujat nama Allah: Penghujatan akan Allah telah dimulai oleh kekaiseran Romawi dengan menghancurkan bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 sesudah Masehi (Lihat Frederick J. Murphy, Fallen is Babylon: The Revelation to John, The New Testament in Context, Harrisbur-Pennsylvnia 1998, 300.).
Dengan kekuatan militer dan kekuasaan yang brutal yang dilegitimasi oleh senat kaiser tak segan-segan membuat rakyat tak berdaya dan tunduk dibawah kekuasaannya bahkan menyamakan dirinya dengan Allah itu sendiri (Lihat. Jürgen Roloff, Die Offenbarung des Johannes, Zürcher Bibilkommentare, TVZ, Zürich 1984, 136 f.).
Tentu hal ini sesuatu yang bertentangan dengan kesaksian Alkitab bahwa hanya Allah saja yang patut disembah (band. Kel. 15:11, Mz. 35:10; 89:6; 113:5 dan sebagainya).
Status Allah tidak dapat disamakan dengan kaiser. Seberapa pun hebatnya dan besarnya kekuasaan seorang kaiser, ia tetap manusia dan tak patut dikultuskan dan disembah. Karakter lain yang menjadi alasan kenapa pemerintah, yang disimbolkan sebagai binatang ini harus dilawan, oleh karena ia menyesatkan rakyat (13:15) dan menghujat Allah (13:6). Demikian pesan Yohannes dari pulau Patmos.
Belajar Dari Kitab Roma
Tetapi sikap Paulus dalam Kitab Roma 13 terhadap pemerintah bertolak belakang 180 % bila dibandingkan dengan kitab Wahyu. Era dimana Paulus hidup tidak sama dengan era kitab Wahyu.
Sikap pemerintah Romawi pada jaman Paulus cenderung melindungi umat Kristen.( Kitab Roma ditulis oleh Paulus di Korintus pada awal tahun 56 sesudah Kristus. Lihat Udo Schnelle, Einleitung in das NeueTestament, Göttingen 2005, 130.)
Bahkan karena statusnya sebagai warga negara Romawi pada waktu itu, Paulus mendapat perlindungan hukum dan lolos dari kematian yang sia-sia (lihat Kisah Rasul 22: 25 f). (Paulus memanfaatkan status kewarganegarannya romawi (römische Bürgerschaft) bahkan untuk menyebarkan Injil hampir ke seluruh dunia pada waktu itu.)
Suasana demokrasi dan tata hukum romawi pada waktu nampaknya mampu melindungi warganya dan dianggap cukup adil bagi orang Kristen juga. Itulah sebabnya Paulus meminta setiap orang, tanpa kecuali siapapun dia agar tunduk kepada pemerintah.
Memang dikalangan para ahli tafsir timbul banyak perdebatan mengenai perkataan tunduk dan taat ini. Apa sebenarnya yang dimaksukan Paulus disini, sebab biasanya Paulus bersikap sangat kritis.
Kata kerja menundukan diri dan menaatkan diri atau mematuhkan diri diterjemahkan dari kerja Yunani hupotassesto Sedangkan kata bendanya hupotassestai artinya artinya tunduk, patuh atau taat, misalnya dalam berbagai hal seperti: 1. orang tunduk pada pemimpin jemaat (1 Kor 16:16; 1 Petrus 5:5; 2. atau sikap tunduk istri pada suaminya (Epesus 5:21; Kol 3:18; 3. atau anak-anak kepada orang tuanya (Lk. 2:51); 4. atau hamba kepada tuannya (Titus 2:9; 1 Petrus 2:18; 1 Clem 61:1; 5. juga terutama dalam hubungan dengan kepatuhan pada Allah (1 Kor 15:28; Ibrani 12:9; Jak 4:7) atau kepada Kristus (Efesus 5:24); 6. atau juga kepada hukum atau kehendak Allah (Röm 8:7; 10:3).
Jadi Perkataan tunduk, taat atau patuh kepada pemerintah (Lihat Heinrich Schlier, Der Römerbrief, Dritte Auflage, Freiburg, Basel, Wien 1987, 387.) disini mesti dilihat dalam konteksnya.
Misalnya ketika Paulus meminta sang istri tunduk pada suaminya, dengan Kriteria perbandingan sebagaimana jemaat tunduk pada Kristus. Jemaat tunduk pada Kristus sebab Kristus telah menunjukkan kasih agung Agape, dimana ia telah menebus jemaat jemaat dari kematian dan dosa dengan sebuah pengorbanan diri di kayu salib.
Sikap tunduk dan taat didasarkan pada sikap kasih dan pengorbanan yang ditunjukkan Kristus. Jadi dari konteks teks Ef 5: 22-24 kita melihat bahwa Paulus sebetulnya sedang membuat perbandingan antara pola hidup Kristus, yang kepadanya jemaat tunduk dan pola hidup para suami, yang kepadanya istri harus tunduk.
Mengapa Jemaat tunduk kepada Kristus, karena Kristus mengasihi Jemaatnya, ia menyelamatkan mereka dengan darahnya. Ia telah membuat karya keselamatan bagi Jemaatnya atau umatnya.
Mengapa Istri tunduk kepada suami, Suami mengasihi istrinya (Ef 5:25). Suami berbuat kebaikan bagi istrinya.
Itulah sebabnya dalam maknanya yang sama, tetapi dalam formulasi kata yang berbeda Paulus meminta masyarakat tunduk pada pemerintah oleh karena sikap dan perbuatan baik yang ditujukkan pemerintah dan aparatusnya.
Penghormatan dan ketaatan itu ditunjukan oleh karena “gute Werke” atau hasil kerja yang baik yang dihasilkan oleh Pemerintah (lihat ayat 3). Penghormatan dan dukungan akan berkurang jika pemerintah tidak menunjukan hasil kerja yang baik. Itulah kriterianya.
Jadi dari hal-hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut pertama, bahwa Paulus mengajak rakyat/jemaat untuk tunduk dan patuh kepada pemerintah karena dengan asumsi dasar bahwa pemerintah adalah hamba Allah, yang melakukan kehendak Allah dan yang berbuat kebaikan bagi rakyatnya; kedua Paulus disini menuntut sikap hormat pada pemerintah karena dia memandang mereka secara positif.
Dalam menjalankan misi Pekabaran Injilnya Paulus banyak kali diuntungkan oleh aturan-aturan pemerintah Romawi pada waktu yang cukup melindungi rakyatnya; ketiga, Sebagai warga negara Roma, Paulus dengan mudah menjalankan misinya, bila dibandingkan dengan rasul yang lain di Yerusalem seperti Petrus dan kawan-kawan.
Akan tetapi walaupun demikian, Paulus meletakan hubungan rakyat dan pemerintah dalam kerangka berpikir theologis dan bukan pada pengalaman subyektifitas dari dirinya.
Baginya pemerintah adalah hamba Allah, melakukan kehendak Allah dan menegakkan keadilan Allah ditengah masyarakat. Tugas dari pemerintah mensejaterahkan rakyatnya.
Dalam dasar berpikir yang demikian, maka sikap tunduk dan patuh dari rakyat mutlak perlu. Sebaliknya jika pemerintah gagal menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah, dan tidak lagi melakukan kehendakNya dan menegakkan keadilan Allah di tengah-tengah masyarakat, maka rasa tunduk dan patuh tidak berlaku lagi.
Dan bahkan rakyat dapat menarik kembali mandat yang diberikan kepada pemerintah karena dia dinilai telah gagal.
Tetapi haruslah dicatat juga bahwa Paulus menyakini, bahwa Allah adalah penguasa dunia satu-satunya, maka itu berarti bahwa tidak boleh ada posisi kekuasaan manapun yang dapat melawan kehendaknya. (band. Sir. 10:4; 17:17).
Itu berarti bahwa sepanjang sikap dan tindakan perintah dan aparatnya tidak bertentangan dengan Allah maka sikap tunduk dan taat masyarakat bagi mereka adalah wajib dan perlu.
Hal ini misalnya nampak dalam PL dan tradisi Yudaisme, yang juga telah diwarisi oleh Paulus dimana rakyat memberi respek kepada para raja atau pemimpin rakyat. (Lihat Dieter Zeller, Der Brief an die Römer, Regensburg 1985, 215.)
Sikap tunduk dan taat dimaksudkan Paulus termasuk juga adalah rakyat membayar pajak untuk membiayai pemerintahan (lihat ayat 6 dari Roma 13) dan hal ini cocok dengan apa yang Jesus katakan dalam Mk 12:13-17.
Itulah sebabnya jika orang Kristen dapat benar-benar tunduk kepada pemerintah dan segala aparatnya dan didalamnya termasuk membayar pajak secara teratur, maka ketika orang Kristen memilih para pemimpinnya dalam pemelihan umum tidak boleh keluar dari kriteria-kriteria yang disebutkan diatas.
Agar supaya tidak menimbulkan salah tafsir beberapa kriteria yang dapat membangun sikap politik orang Kristen yang benar saya sebutkan ulang dibawah ini berdasarkan dari hasil penggalian teks-teks alkitab itu:
1. Para pemimpin (entah Presiden atau wakil rakyat, dan para wakil rakyat di semua tingkatan) yang hendak dipilih itu tidak boleh menyesatkan masyarakat atau menipu masyarakat atau juga memberi janji-janji dan harapan palsu. Baik berupa kampanye dengan menggunakan uang (moneypolitic) atau janji-janji palsu yang sebenarnya tidak bisa wujudkan.
2. Para calon pemimpin negara tidak boleh dikultuskan dalam berbagai bentuk apapun. Orang dipilih bukan karena bapaknya mantan ini atau itu, tetapi karena prestasi dan hasil kerja yang baik yang ditunjukan. Jangan karena dia artis dan tenar atau karena dia punya banyak uang, maka ia dipilih, atau meskipun ia mantan narapida atau koruptor dan pernah melakukan tindak-tindakan keji terhadap masyarakat.
3. Para calon hendaknya memiliki integritas moral dan perilaku yang sesuai dengan kehendak Allah. Mereka harus menyadari diri sebagai manusia biasa dan bukan Tuhan Allah, dan tugas mereka adalah bagaimana bersama-sama rakyat yang telah memilih mereka itu mewujudkan kehendak Allah di dunia.
Salah satu hal yang patut dicatat dalam hubungan dengan kehendak Allah disini adalah rakyat memilih para calon pemimpin yang tidak bisa disuap dalam bentuk apapun.
Hal ini cocok dengan apa yang Tuhan minta pada Musa ketika hendak memilih para calon pemimpin israel: “Di samping itu kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang.” (Keluaran 18:21).
Pemimpin yang mampu menjaga nama baiknya dengan tidak menerima suap, atau mencari keuntungan dari jabatannya, berlaku curang, yang berani membela rakyat kecil dan mampu menegakan keadilan dan kebenaran.
Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar. (Keluaran 23:8).
Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar.(Ulangan 16:19; 1 samuel 8:3, 2 Taw. 19:7; Yesaya 1:23; Amos 5:12).
4. Rakyat hendaknya memilih para calon pemimpin yang jujur, rendah hati, yang tidak sekedar pandai mengobral janji, tidak mencari keuntungan dari pemerasan dalam bentuk apapun, dan tidak bersedia bekerja sama dengan semua pihak yang bertindak menindas masyarakat, yang mata dan telinganya hanya diarahkan kepada kehendak Allah. (band. Yeheskiel 22: 12; Mikha 3:11; Yesaya 33:15“ Orang yang hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya, supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya, supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya, supaya jangan melihat kejahatan“.
(*)