Renungan Harian Protestan Senin (11/3/2019) Tanggung Jawab Orang Kristen Melalui Partisipasi Politik
Renungan Harian Protestan Senin (11/3/2019) Tanggung Jawab Orang Kristen Melalui Partisipasi Politik
“TANGGUNG JAWAB ORANG KRISTEN MELALUI PARTISIPASI POLITIK”
Oleh : Pdt DR Mesakh A P Dethan MTh MA
__
Dalam 38 hari lagi bangsa Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum serentak untuk pertama kali dalam sejarah pada 2019 ini, yaitu pada tanggal 17 April 2019 untuk memilih anggota parlemen atau legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak 575 dan Dewan Perwakilan Daerah sebanyak 136) untuk masa bakti 2019-2024.
Pemilu 2019 ini juga akan menjadi pemilu bersejarah karena akan menjadi pemilu serentak dengan pemilihan Presiden dan wakil Presiden RI .
“Bahwa 17 April akan ada pemilu serentak. Sehingga masyarakat harus bersiap melakukan pemilu tersebut. Kita akan memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota hingga memilih Presiden dan Wakil Presiden,” kata Dedi Taryadi, Kasubdit Lembaga Pemerintah dan Lembaga Perwakilan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) (Lihat https://www.idntimes.com/news/indonesia/afrianisusanti/pemilu-serentak-2019-pertama-di-indonesia-sepanjang-sejarah/full).
Setiap Pemilu tentu saja sangat menentukan perjalanan hidup bangsa selanjutnya. Dalam Pemilu kali ini, terdapat 20 partai politik (parpol) yang berkompetisi untuk memperebutkan suara rakyat (Adapun parpol peserta Pemilu 2019 sesuai urutannya adalah sebagai berikut: 1. PKB, 2. Gerindra, 3. PDIP, 4. Golkar, 5. NasDem, 6. Partai Garuda, 7. Partai Berkarya, 8. PKS, 9. Perindo, 10. PPP, 11. PSI, 12. PAN, 13. Hanura, 14. Partai, Demokrat, 15. Partai Aceh, 16. Partai Sira (Aceh), 17. Partai Daerah Aceh, 18. Partai Nanggroe Aceh, 19. Partai Bulan Bintang (PBB), 20. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)).
Jumlah ini menurun drastis bila dibandingkan tahun 2009 berjumlah 44 partai politik. Dari 20 parpol tersebut terdapat 16 parpol nasional dan 4 parpol lokal di Aceh ( jumlahnya menurun bila dibandingkan dengan sepuluh tahun terakhir ada 6 parpol terdapat di Aceh).
Ada 8 parpol yang berbasiskan Islam (jumlah naik bila dibandingkan 2009 ada 7, sementara partai yang berbasiskan Kristen sama sekali tidak ada untuk tahun 2019, pada hal pada pemilu 2009 masih ada dua partai yang berbasiskan Kristen, yakni Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI).
Sementara pada Pemilu 2014, baik parta islam Aceh maupun yang kristen sama sekali tidak berpartisipasi. Pemilu 2014 diikuti hanya oleh 12 partai yakni PDI-P, Golkar, Demokrat, PKB, PPP, PAN, PKS, Gerindra, Hanura, Nasdem, PBB, dan PKPI.
Jumlah parpol peserta Pemilu tersebut tentu saja akibat dari pembatasan pemerintah dalam ambang batas keikutsertaan parpol dalam politik. Ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 sebesar 4 persen.
Salah satu konsekuensi dari jumlah yang luar biasa itu adalah dibutuhkannya sangat banyak orang untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif yang akan dipilih dalam Pemilu. Karena itulah hiruk-pikuk politik di Indonesia belakangan ini bagaikan panggung komedi yang jauh lebih lucu dari grup lawak Srimulat: semua orang seakan-akan berlomba menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Berbagai cara dilakukan, baik oleh parpol yang bersangkutan maupun oleh calon itu sendiri, untuk mempromosikan dirinya demi meraih simpati rakyat.
Dan, sialnya, yang muncul justru situasi yang memalukan sekaligus memilukan. Orang yang sama sekali tidak mengerti politik pun, asal ia populer dan banyak uang, dicalonkan menjadi caleg. Banyak pelawak, pengusaha, artis, preman, narapidana atau bekas narapidana, koruptor yang punya banyak duit, rohaniwan, dan pengangguran yang mendapat status baru sebagai caleg.
Tidak sedikit caleg yang melihat Pemilu ini sebagai kesempatan untuk memperbaiki nasibnya. Sebaliknya, caleg yang punya banyak duit berlomba-lomba mempromosikan dirinya baik secara mahal maupun secara murahan lewat papan-papan reklame dan iklan di televisi. Di pohon-pohon dan tembok-tembok etc.
Akan tetapi tentu rakyat juga masih dan tetap berharap kepada para caleg yang memiliki bukan saja memilii kompetensi dan kapabilitas, tetapi juga memiliki integritas moral yang bisa diandalkan bagi demokrasi di Indonesia.
Rakyat sebagai pemegang kedaulatannya harus bersikap
Tapi, dari semua usaha promosi tersebut, memang tidak semuanya demikian, namun sedikit yang benar-benar peduli terhadap nasib dan penderitaan rakyat yang sesungguhnya , sedikit yang berusaha untuk mencari tahu masalah apa sebenarnya yang dihadapi rakyat, dan bagaimana mengatasi masalah itu bersama mereka.
Mereka beranggapan bahwa sudah cukup kalau foto-foto mereka yang dibumbui dengan pesan-pesan omong kosong itu tertempel di berbagai tempat: di bus-bus umum, di pepohonan, di halte-halte bus, di gerobak sampah, di perempatan jalan bahkan sampai di dinding-dinding WC umum!
Produk-produk politik serta kualitas kehidupan politik seperti apakah yang dapat kita harapkan dari Pemilu seperti ini?
Pemilu adalah kesempatan bagi rakyat untuk menyatakan sikap dan pilihan politiknya, untuk menilai, mengevaluasi dan “mengadili” pemerintah yang sedang berkuasa, dan juga suatu kesempatan emas untuk memilih partai atau caleg mana yang dipercaya mampu dan mau memperjuangan aspirasi konstituen.
Pemilu adalah kesempatan bagi rakyat untuk memperlihatkan bahwa mereka (rakyat) adalah pemerintah yang sesungguhnya – demokrasi adalah die Regierung der Regierten (Bahasa Jerman artinya “pemerintah” dari yang berkuasa).
Artinya di atas pemerintah yang berkuasa ada tuannya yang memberi mandat itu sendiri yaitu rakyat. Karena itu, dalam Pemilu rakyat sebaiknya tidak terbuai dengan janji-janji palsu para politisi, atau dengan omongan-omongan kosong dan klise dari para caleg, atau program-program yang tidak masuk akal yang dilontarkan oleh para petinggi parpol.
Bagaimana mungkin orang bisa memberikan janji-janji muluk yang tidak masuk diakal dengan keadaan indonesia yang lagi terpuruk secara ekonomi, nilai tukar rupiah yang rendah, BUMN-BUMN yang merugi dimana, hutang negara yang lagi membengkak, ketidakberdayaan indonesia yang terus mengimpor bahan pangan dan bahan lainnya yang semestinya bisa dihasilkan sendiri oleh rakyat Indonesia.
Pemilu adalah saat dimana nilai kekritisan dan akal sehat rakyat diuji.
Sikap ini juga berlaku bagi pemilih yang beragama Kristen. Umat Kristen hendaknya menentukan pilihan bukan berdasarkan sentimen-sentimen primordial, fanatisme buta tanpa akal sehat, pengkultusan terhadap orang sampai-sampai bau kentutnya pun dianggap sebagai minyak wangi, melainkan berdasarkan pertimbangan politik yang rasional.
Artinya, memilih partai atau calon anggota legislatif yang telah terbukti atau yang dipercaya mampu memperjuangkan kepentingan dan aspirasi konstituennya.
Hindarilah caleg atau politisi yang hanya baru muncul saat mau pemilu, atau hanya pandai berjanji tetapi tidak pernah realisai janji-janjinya, tetapi pilih mereka yang telah bertolak lebih dalam memahami aspirasi dan kebutuhan rakyat tanpa memandang suku dan golongan.
Menentukan pilihan semata-mata berdasarkan sentimen-sentimen primordial, fanatisme buta tanpa akal sehat, pengkultusan pribadi atau kepentingan-kepentingan sesaat, itu berarti bahwa kita justru turut membuat bangsa kita semakin terperosok ke dalam jurang permasalahan yang tidak kunjung teratasi.
Untuk itulah, orang Kristen perlu belajar apa kata alkitab mengenai „politik“ dan sikap politik apakah yang dianjurkan alkitab tentang politik.
Tahun 2019 merupakan tahun yang penting bagi Bangsa Indonesia. Oleh karena pada tahun ini rakyat Indonesia akan menentukan nasib ke depan dengan memilih anggota parlemen/legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah) baik di tingkat nasional, provinsi, kota maupun kabupaten dan juga serentak dengan Presiden dan Wakil Presidennya.
Sejak dari awal terbentuknya Republik Indonesia orang Kristen telah menunjukkan tanggung jawab dan sikap politik yang menentukan bagi perjalanan Bangsa Indonesia.
Setiap Pemilu pada akhirnya bermuara pada terbentuknya kekuasaan entah baru sama sekali atau merupakan kelanjutan dari kekuasaaan yang lama.
Dan kekuasaan itu baik atau buruk hanya dapat dinilai sepanjang kekuasaan itu dipergunakan untuk membangun kesejahteraan rakyat, yakni kesejahteraan dari orang-orang yang telah memberikan suaranya demi terbentuknya pemerintah dan pengawas pemerintah yang menjalankan kekuasaan itu.
Sebab sebuah pemilu bukanlah sekedar bertujuan menggantikan kekuasaan yang ada, tetapi setiap pemilu adalah kesempatan untuk memilih orang-orang yang nantinya mampu menggunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya demi kemajuan dan kemakmuran rakyat yang dipimpinnya.
Artinya bahwa para calon pemegang kekuasaan itu sama sekali tidak boleh menggunakan kekuasaan yang dipegangnya demi kepentingannya sendiri, tetapi bagi kepentingan rakyat.
Sebab politik menurut saya pada hakekatnya adalah jalan menuju kekuasaan, dan cara bagaimana menggunakan kekuasaan itu kemudian, serta pada akhir kemampuan untuk menilai, mengontrol dan mengawasi kekuasaan yang dijalankan tersebut.
Machiaveli pada tahun 1515 berkata „Politik ist die Summe der Mittel, die nötig sind, um zur Macht zu kommen und sich an der Macht zu halten und um von der Macht den nützlichsten Gebrauch zu machen“ (Bahasa Jerman artinya "Politik adalah seperangkat alat yang diperlukan untuk berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaan itu agar kekuasaan itu digunakan untuk memberikan manfaat bagi banyak orang.").
Akan tetapi pertanyaan mendasar adalah tetap sama „siapa yang pada akhirnya menikmati kekuasaan itu: “Rakyat atau atau hanya elite politik“? Jawabannya adalah rakyat atau warga negara, sebab inti dari politik menurut Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama bagi rakyat banyak.
Oleh sebab itu suara orang Kristen, sebagai bagian dari warga negara RI, juga turut menentukan, apakah pemerintah dan wakil rakyatnya yang bertugas mengawasi pemerintah yang nanti dipilih dan terbentuk itu, kompenten dalam menjalankan tugasnya atau tidak.
Dalam hal ini sikap politik orang Kristen benar-benar diperlukan dan tidak sekedar menjalankan rutinitas lima tahunan atau sekedar ikut arus. Untuk itu orang Kristen Indonesia perlu dan harus mendasari sikap politiknya pada tradisi kekristen yang bersumber pada Alkitab itu sendiri.
Keterlibatan Orang Kristen dalam Politik
Keterlibatan orang Kristen dalam politik di Indonesia bukan hal baru. Sejak awal-awal berdirinya Republik Indonesia keterlibatan tokoh-tokoh Kristen sebagai pilar-pilar bangsa sudah tidak diragukan lagi bahkan peranan mereka sangat menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Tidak sedikit tokoh-tokoh Kristen yang telah memberi warna dan karakter dari bangsa Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
OLEH KARENA ITU DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN JABATAN POLITIK ADALAH SEBAGAI PANGGILAN IMAN DAN SEBAGAI SUATU KESEMPATAN UNTUK MENGEMBANGKAN TALENTA YANG DIKARUNIAKAN TUHAN.
Pembaca yang budiman jika kita memperhatikan definisi dari politik, maka secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan
Menurut para pakar Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon.
Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik.
Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.
Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara.
Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Menurut Aristoteles Tujuan mulia daripada praksis politik adalah untuk mengupayakan kebaikan dan kesejahteraan bagi semua anggota polis (warga kota), dan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dalam relasi mereka satu dengan yang lain.
Menurut Aristoteles “manusia adalah makluk politis.” Hal ini kadang disalahartikan bahwa manusia suka merebut kuasa dan mencari kepentingan pribadi melalui intrik-intrik.
Padahal, maksud Aristoteles justru kebalikan dari tafsiran ini: menurut dia, manusia disebut makluk politis karena kemanusiaan kita hanya dapat diasuh dan terwujud sepenuhnya dalam kehidupan bersama, dalam sebuah koinonia yang lebih luas dari keluarga dan suku.
Justru karena kaitannya dengan hakekat kemanusiaan, maka politik dipandang oleh Aristoteles sebagai salah satu cabang dari etika.
Sikap Politik Orang Kristen dari perspektif teologis
Orang Kristen dipanggil oleh Tuhannya untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia, dan untuk memelihara alam ciptaan Tuhan. Tugas panggilan ini menjadi dasar utama bagi keterlibatan orang Kristen dalam politik.
Alkitab menunjukan sikap yang beragam terhadap pemerintah atau para pemegang kekuasaan politik. Secara garis besar atau secara ringkas, pada satu sisi Alkitab memandang buruk terhadap pemerintah dan para pemegang kekuasaan politik, tetapi pada sisi yang lain, pemerintah dan pemegang kekuasaan politik dianggap baik.
Sikap buruk Alkitab terhadap pemerintah digambarkan dengan jelas dalam kitab Wahyu.
Kitab Wahyu memandang perintah sebagai alat Iblis dan dan sumber kejahatan, karena itu tidak perlu dihormati dan harus dilawan, karena tidak mendatangkan kebaikan pada rakyatnya tetapi justru malapetaka dan penderitaan ekonomi dan sosial bagi rakyatnya.
Sikap kitab Wahyu yang radikal ini dapat kita baca dalam Wahyu 13. Dalam Wahyu 13 :1-18 pemerintah disimbolkan sebagai binatang, baik bintang yang keluar dari dalam laut (Binatang yang dimaksudkan disini adalah Naga atau Monster Laut biasa dikenal sebagai Leviathan, bandingkan misalnya Mz. 74:13-14. maupun bintang yang satu lagi yang keluar dari dalam bumi (Binatan yang dimaksudkan disini adalah Naga atau Monster darat biasa dikenal atau disebut sebagai Behemoth.
Dalam Kitab Ayub (40-41) disebut bersama dengan Leviathan, bandingkan juga 1 Henokh 60:7-9. Lihat juga Jehezkiel 39:17-20, Wahyu 19:17-18.).
Keduanya memiliki karakter yang sama yakni memiliki kekuasaan yang luar biasa tak terbatas (13:2, 12,13), semua orang tunduk dan menyembah dia oleh karena „sepakterjangnya“ (13:3,4, 13,14).
Sementara pada sisi yang lain Alkitab memandang positif terhadap pemerintah. Artinya bahwa pemerintah itu baik dan harus didukung, sebab pemerintah dipandang sebagai wakil Allah di dunia ini.
Hal ini tergambar dari sikap Rasul Paulus dalam Roma 13. Pemerintah tidak dipandang sebagai alat Iblis dalam simbol binatang seperti dalam kitab Wahyu, tetapi dipandang sebagai „wakil Allah“ dan „ditetapkan oleh Allah“ sendiri.
Sebab menurut Paulus tidak ada kekuasaan yang tidak berasal dari Allah dan pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah dan karena itu rakyat dituntut untuk patuh dan taat kepadanya. Sebab menurut Paulus melawan pemerintah berarti „melawan Allah“ itu sendiri dan pada akhirnya dapat mendatangkan hukuman.
Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.
Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya“. (Roma 13:1,2).
Jika demikian perspektif teologis Alkitabiah yang bertentangan itu, sikap manakah yang harus diikuti orang Kristen Indonesia dalam situasinya.
Apakah bersikap sebagaimana ditunjukkan oleh Kitab Wahyu atau sebaliknya bersikap sebagaimana yang diminta oleh Rasul Paulus dalam Roma 13. Tentu hal ini tidak mudah dan gampang. Oleh karena itu orang Kristen Indonesia membutuhkan Kriteria tertentu di dalam menunjukkan sikap politiknya secara nyata.
Kriteria sikap politik Orang Kristen
Kriteria sikap politik Kristen Indonesia dapat dibangun dari beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan mendasar pertama yang patut diajukan adalah mengapa Kitab Wahyu bersikap negatif dan buruk terhadap pemerintah?
Pertanyaan mendasar yang tak kalah pentingnya, mengapa Rasul bersikap positif terhadap pemerintah dan meminta rakyat untuk taat dan patuh padanya.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertnyaan mendasar ini terkait dengan konteks dan latar belakang kedua kitab-kitab itu ditulis.
Belajar dari Kitab Wahyu
Dari penyelidikan konteks dan latar belakang kitab Wahyu, kita tahu bahwa kitab Wahyu yang ditulis dengan memakai bahasa simbol dan lambang (atau yang dikenal dengan sastra apokalyptik) oleh Johannes itu dimaksudkan untuk menghibur 7 Jemaat di Asia Kecil yang mengalami penderitaan oleh karena penindasan pemerintah kekaiseran Romawi pada waktu itu.
(Kitab Wahyu ditulis sekitar tahun 90-95 sesudah Kristus, terkait dengan makin hebatnya upaya-upaya pengkultusan kaiser Domitianus. Lihat Udo Schnelle, Einleitung in das NeueTestament, Göttingen 2005, 563.)
Jemaat atau rakyat yang berada di bawah pemerintahan kekaiseran Romawi itu diminta tunduk dan taat terhadap segala peraturan yang berlaku, yang menindas rakyat termasuk di dalamnya penyembahan kaiser sebagai Tuhan.
Tentu hal ini menimbulkan perlawanan dikalangan rakyat terutama yang beragama Kristen, walaupun banyak yang menjadi korban pembantaian tentara romawi berupa penyembelihan, mata cungkil, atau dibakar hidup-hidup (Lihat Udo Schnelle, Einleitung in das NeueTestament, Göttingen 2005, 564.).
Itulah sebabnya atas kekejaman itu Yohannes menyimbolkan pemerintahan kekaiseran Romawi (baik kaiser maupun para senatornya bagaikan binatang atau monster.
Mereka bukan hanya telah menyesatkan masyarakat, tetapi juga menghujat nama Allah: Penghujatan akan Allah telah dimulai oleh kekaiseran Romawi dengan menghancurkan bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 sesudah Masehi (Lihat Frederick J. Murphy, Fallen is Babylon: The Revelation to John, The New Testament in Context, Harrisbur-Pennsylvnia 1998, 300.).
Dengan kekuatan militer dan kekuasaan yang brutal yang dilegitimasi oleh senat kaiser tak segan-segan membuat rakyat tak berdaya dan tunduk dibawah kekuasaannya bahkan menyamakan dirinya dengan Allah itu sendiri (Lihat. Jürgen Roloff, Die Offenbarung des Johannes, Zürcher Bibilkommentare, TVZ, Zürich 1984, 136 f.).
Tentu hal ini sesuatu yang bertentangan dengan kesaksian Alkitab bahwa hanya Allah saja yang patut disembah (band. Kel. 15:11, Mz. 35:10; 89:6; 113:5 dan sebagainya).
Status Allah tidak dapat disamakan dengan kaiser. Seberapa pun hebatnya dan besarnya kekuasaan seorang kaiser, ia tetap manusia dan tak patut dikultuskan dan disembah. Karakter lain yang menjadi alasan kenapa pemerintah, yang disimbolkan sebagai binatang ini harus dilawan, oleh karena ia menyesatkan rakyat (13:15) dan menghujat Allah (13:6). Demikian pesan Yohannes dari pulau Patmos.
Belajar Dari Kitab Roma
Tetapi sikap Paulus dalam Kitab Roma 13 terhadap pemerintah bertolak belakang 180 % bila dibandingkan dengan kitab Wahyu. Era dimana Paulus hidup tidak sama dengan era kitab Wahyu.
Sikap pemerintah Romawi pada jaman Paulus cenderung melindungi umat Kristen.( Kitab Roma ditulis oleh Paulus di Korintus pada awal tahun 56 sesudah Kristus. Lihat Udo Schnelle, Einleitung in das NeueTestament, Göttingen 2005, 130.)
Bahkan karena statusnya sebagai warga negara Romawi pada waktu itu, Paulus mendapat perlindungan hukum dan lolos dari kematian yang sia-sia (lihat Kisah Rasul 22: 25 f). (Paulus memanfaatkan status kewarganegarannya romawi (römische Bürgerschaft) bahkan untuk menyebarkan Injil hampir ke seluruh dunia pada waktu itu.)
Suasana demokrasi dan tata hukum romawi pada waktu nampaknya mampu melindungi warganya dan dianggap cukup adil bagi orang Kristen juga. Itulah sebabnya Paulus meminta setiap orang, tanpa kecuali siapapun dia agar tunduk kepada pemerintah.
Memang dikalangan para ahli tafsir timbul banyak perdebatan mengenai perkataan tunduk dan taat ini. Apa sebenarnya yang dimaksukan Paulus disini, sebab biasanya Paulus bersikap sangat kritis.
Kata kerja menundukan diri dan menaatkan diri atau mematuhkan diri diterjemahkan dari kerja Yunani hupotassesto Sedangkan kata bendanya hupotassestai artinya artinya tunduk, patuh atau taat, misalnya dalam berbagai hal seperti: 1. orang tunduk pada pemimpin jemaat (1 Kor 16:16; 1 Petrus 5:5; 2. atau sikap tunduk istri pada suaminya (Epesus 5:21; Kol 3:18; 3. atau anak-anak kepada orang tuanya (Lk. 2:51); 4. atau hamba kepada tuannya (Titus 2:9; 1 Petrus 2:18; 1 Clem 61:1; 5. juga terutama dalam hubungan dengan kepatuhan pada Allah (1 Kor 15:28; Ibrani 12:9; Jak 4:7) atau kepada Kristus (Efesus 5:24); 6. atau juga kepada hukum atau kehendak Allah (Röm 8:7; 10:3).
Jadi Perkataan tunduk, taat atau patuh kepada pemerintah (Lihat Heinrich Schlier, Der Römerbrief, Dritte Auflage, Freiburg, Basel, Wien 1987, 387.) disini mesti dilihat dalam konteksnya.
Misalnya ketika Paulus meminta sang istri tunduk pada suaminya, dengan Kriteria perbandingan sebagaimana jemaat tunduk pada Kristus. Jemaat tunduk pada Kristus sebab Kristus telah menunjukkan kasih agung Agape, dimana ia telah menebus jemaat jemaat dari kematian dan dosa dengan sebuah pengorbanan diri di kayu salib.
Sikap tunduk dan taat didasarkan pada sikap kasih dan pengorbanan yang ditunjukkan Kristus. Jadi dari konteks teks Ef 5: 22-24 kita melihat bahwa Paulus sebetulnya sedang membuat perbandingan antara pola hidup Kristus, yang kepadanya jemaat tunduk dan pola hidup para suami, yang kepadanya istri harus tunduk.
Mengapa Jemaat tunduk kepada Kristus, karena Kristus mengasihi Jemaatnya, ia menyelamatkan mereka dengan darahnya. Ia telah membuat karya keselamatan bagi Jemaatnya atau umatnya.
Mengapa Istri tunduk kepada suami, Suami mengasihi istrinya (Ef 5:25). Suami berbuat kebaikan bagi istrinya.
Itulah sebabnya dalam maknanya yang sama, tetapi dalam formulasi kata yang berbeda Paulus meminta masyarakat tunduk pada pemerintah oleh karena sikap dan perbuatan baik yang ditujukkan pemerintah dan aparatusnya.
Penghormatan dan ketaatan itu ditunjukan oleh karena “gute Werke” atau hasil kerja yang baik yang dihasilkan oleh Pemerintah (lihat ayat 3). Penghormatan dan dukungan akan berkurang jika pemerintah tidak menunjukan hasil kerja yang baik. Itulah kriterianya.
Jadi dari hal-hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut pertama, bahwa Paulus mengajak rakyat/jemaat untuk tunduk dan patuh kepada pemerintah karena dengan asumsi dasar bahwa pemerintah adalah hamba Allah, yang melakukan kehendak Allah dan yang berbuat kebaikan bagi rakyatnya; kedua Paulus disini menuntut sikap hormat pada pemerintah karena dia memandang mereka secara positif.
Dalam menjalankan misi Pekabaran Injilnya Paulus banyak kali diuntungkan oleh aturan-aturan pemerintah Romawi pada waktu yang cukup melindungi rakyatnya; ketiga, Sebagai warga negara Roma, Paulus dengan mudah menjalankan misinya, bila dibandingkan dengan rasul yang lain di Yerusalem seperti Petrus dan kawan-kawan.
Akan tetapi walaupun demikian, Paulus meletakan hubungan rakyat dan pemerintah dalam kerangka berpikir theologis dan bukan pada pengalaman subyektifitas dari dirinya.
Baginya pemerintah adalah hamba Allah, melakukan kehendak Allah dan menegakkan keadilan Allah ditengah masyarakat. Tugas dari pemerintah mensejaterahkan rakyatnya.
Dalam dasar berpikir yang demikian, maka sikap tunduk dan patuh dari rakyat mutlak perlu. Sebaliknya jika pemerintah gagal menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah, dan tidak lagi melakukan kehendakNya dan menegakkan keadilan Allah di tengah-tengah masyarakat, maka rasa tunduk dan patuh tidak berlaku lagi.
Dan bahkan rakyat dapat menarik kembali mandat yang diberikan kepada pemerintah karena dia dinilai telah gagal.
Tetapi haruslah dicatat juga bahwa Paulus menyakini, bahwa Allah adalah penguasa dunia satu-satunya, maka itu berarti bahwa tidak boleh ada posisi kekuasaan manapun yang dapat melawan kehendaknya. (band. Sir. 10:4; 17:17).
Itu berarti bahwa sepanjang sikap dan tindakan perintah dan aparatnya tidak bertentangan dengan Allah maka sikap tunduk dan taat masyarakat bagi mereka adalah wajib dan perlu.
Hal ini misalnya nampak dalam PL dan tradisi Yudaisme, yang juga telah diwarisi oleh Paulus dimana rakyat memberi respek kepada para raja atau pemimpin rakyat. (Lihat Dieter Zeller, Der Brief an die Römer, Regensburg 1985, 215.)
Sikap tunduk dan taat dimaksudkan Paulus termasuk juga adalah rakyat membayar pajak untuk membiayai pemerintahan (lihat ayat 6 dari Roma 13) dan hal ini cocok dengan apa yang Jesus katakan dalam Mk 12:13-17.
Itulah sebabnya jika orang Kristen dapat benar-benar tunduk kepada pemerintah dan segala aparatnya dan didalamnya termasuk membayar pajak secara teratur, maka ketika orang Kristen memilih para pemimpinnya dalam pemelihan umum tidak boleh keluar dari kriteria-kriteria yang disebutkan diatas.
Agar supaya tidak menimbulkan salah tafsir beberapa kriteria yang dapat membangun sikap politik orang Kristen yang benar saya sebutkan ulang dibawah ini berdasarkan dari hasil penggalian teks-teks alkitab itu:
1. Para pemimpin (entah Presiden atau wakil rakyat, dan para wakil rakyat di semua tingkatan) yang hendak dipilih itu tidak boleh menyesatkan masyarakat atau menipu masyarakat atau juga memberi janji-janji dan harapan palsu. Baik berupa kampanye dengan menggunakan uang (moneypolitic) atau janji-janji palsu yang sebenarnya tidak bisa wujudkan.
2. Para calon pemimpin negara tidak boleh dikultuskan dalam berbagai bentuk apapun. Orang dipilih bukan karena bapaknya mantan ini atau itu, tetapi karena prestasi dan hasil kerja yang baik yang ditunjukan. Jangan karena dia artis dan tenar atau karena dia punya banyak uang, maka ia dipilih, atau meskipun ia mantan narapida atau koruptor dan pernah melakukan tindak-tindakan keji terhadap masyarakat.
3. Para calon hendaknya memiliki integritas moral dan perilaku yang sesuai dengan kehendak Allah. Mereka harus menyadari diri sebagai manusia biasa dan bukan Tuhan Allah, dan tugas mereka adalah bagaimana bersama-sama rakyat yang telah memilih mereka itu mewujudkan kehendak Allah di dunia.
Salah satu hal yang patut dicatat dalam hubungan dengan kehendak Allah disini adalah rakyat memilih para calon pemimpin yang tidak bisa disuap dalam bentuk apapun.
Hal ini cocok dengan apa yang Tuhan minta pada Musa ketika hendak memilih para calon pemimpin israel: “Di samping itu kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang.” (Keluaran 18:21).
Pemimpin yang mampu menjaga nama baiknya dengan tidak menerima suap, atau mencari keuntungan dari jabatannya, berlaku curang, yang berani membela rakyat kecil dan mampu menegakan keadilan dan kebenaran.
Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar. (Keluaran 23:8).
Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar.(Ulangan 16:19; 1 samuel 8:3, 2 Taw. 19:7; Yesaya 1:23; Amos 5:12).
4. Rakyat hendaknya memilih para calon pemimpin yang jujur, rendah hati, yang tidak sekedar pandai mengobral janji, tidak mencari keuntungan dari pemerasan dalam bentuk apapun, dan tidak bersedia bekerja sama dengan semua pihak yang bertindak menindas masyarakat, yang mata dan telinganya hanya diarahkan kepada kehendak Allah. (band. Yeheskiel 22: 12; Mikha 3:11; Yesaya 33:15“ Orang yang hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya, supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya, supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya, supaya jangan melihat kejahatan“.
(*)