Renungan Harian Kristen Protestan 6 Maret Dominus Dedit Dominus Abstulit Sit Nomen Domini Benedictum
Renungan Harian Kristen Protestan 6 Maret Dominus Dedit Dominus Abstulit Sit Nomen Domini Benedictum.
Sesampai i rumahnya, dia memanggil-manggil nama anaknya, tetapi tidak ada sahutan.
Pintu rumah depan terbuka tanda bahwa anaknya ada di rumah, tetapi ia mengapa ia tidak menjawab pikir si laki-laki bijak itu.
Betapa kagetnya dia, ketika masuk di dalam rumah dan terus mencari anak-anak dan menemukannya di kamar anaknya itu anaknya sudah tidak bernyawa lagi.
Ia berteriak-teriak berusaha membangunkan anaknya, tetapi anaknya tidak bangun lagi karena sudah meninggal.
Para tetangga yang mendengar teriakan dan tangisan semuanya datang dan menghiburnya.
Tetapi ia tidak mau dihibur dan ia terus menangis sambil memeluk satu-satunya anak laki-laki dan memanggil nama anaknya seolah-olah membangunkannya dari tidur.
Para tetangga memastikan bahwa anaknya itu benar-benar telah meninggal karena serangan jantung sesaat setelah dia mandi pada pagi hari itu setelah ayahnya ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka.
Berhari-hari si laki-laki bijak ini terus berduka dan tidak mau menguburkan anaknya dan berharap anaknya hidup kembali.
Namun sampai pada hari ke empat bau busuk mulai tercium dari jenazah anaknya, sehingga orang-orang di kampung itu berusaha mencari cara agar supaya anaknya bisa dikuburkan, tetapi mereka tidak bisa karena si lelaki bijak yang lagi stress itu tidak pernah melepaskan pelukannya sesaat pun.
Akhirnya tua-tua kampung berunding dan mengutus seorang tua yang paling bijak di antara mereka dan berbicara kepadanya.
“Sobat kami tahu bahwa kamu sangat berduka karena kematian anak-anakmu secara beruntun dan terakhir anakmu yang sisa satu ini, tetapi juga meninggal karena serangan jantung. Kamu tentu berharap dia hidup kembali. Tetapi kami tidak sanggup menolongnya. Namun kami mendengar bahwa ada seorang “bijaksana nan pintar, di kampung sebelah gunung yang konon bisa menghidupkan orang yang sudah mati dengan memberi minum air daun rebusan yang dia berikan. Kami sudah berusaha menemuinya dan meminta obat dari air rebusan yang dimaksudkan, tetapi dia tidak mau memberikan kecuali orang terdekat dari si mati yang mengambilnya sendiri. Jadi kalau kamu mau supaya anakmu hidup kembali coba pergi temui si “orang bijak nan pintar” itu”, kata tua-tua kampung yang paling bijak itu.
Mendengar hal ini si laki-laki bijak yang lagi berduka itu dengan tidak menunggu lama lagi langsung melepaskan pelukan anaknya dan pergi ke kampung sebelah untuk mendapatkan obat air rebusan daun yang dimaksud.
Berhari-hari ia jalan menyusuri jalan di hutan dan naik turun gunung, melewati lembah dan sungai dan akhirnya seminggu kemudian dia sampai ke rumah si “orang bijak nan pintar” itu.
“Apakah yang bisa saya bantu hai kawan”, orang bijak nan pintar itu bertanya kepada si laki-laki bijak itu.
Maka laki-laki bijak itu menceritakan peristiwa-peristiwa duka yang dia alami yang terjadi secara beruntun dan terakhir anaknya tinggal satu-satunya juga meninggal karena serangan jantung.
“Saya mendengar dari para tetua kampung bahwa engkau bisa menghidupkan orang yang sudah mati dengan meminum air rebusan dari daun tertentu, kalau benar tolonglah saya. Saya ingin anak saya yang tinggal satu-satunya itu hidup kembali”, kata si laki-laki bijak itu memohon.
“Aku bisa menolongmu hanya dengan satu syarat”, jawab orang bijak nan pintar itu. Petiklah tiga lembar daun muda dari pohon buah-buahan yang bisa dimakan dan rebuslah dan berilah minum pada anakmu yang meninggal, syaratnya dari halaman rumah....”. Belum selesai orang bijak nan pintar itu bicara si laki-laki bijak itu memotong.
“Terima-terima kasih aku akan segera memetik daun pohon Jambu di depan rumahmu”, kata si lelaki bijak hendak bangun dari tempat duduknya.
“Tahan, tunggu dulu, saya belum selesai bicara, sambung orang bijak nan pintar. Dengar baik-baik kata-kata saya. Saya ulangi: “Petiklah tiga lembar daun muda dari pohon buah-buahan yang bisa dimakan dan rebuslah dan berilah minum pada anakmu yang meninggal, syaratnya harus dari halaman rumah yang belum pernah mengalami kedukaan atau kematian dalam keluarganya”. Kata orang bijak nan pintar itu. Halaman rumah ku tidak memenuhi syarat lagi. Perlu engkau tahu, saya dulu juga mengalami kedukaan yang mirip denganmu dimana istri saya yang sangat saya cintai meninggal dunia, karena meninggal secara tiba-tiba tanpa sebab musabab. Saya sangat terpukul, dan bersedih berhari-hari dan tidak ingin menguburkannya. Maka saya berjalan dari kampung ke kampung, tetapi sukar untuk menemukan halaman rumah yang ada pohon buah-buahan yang keluarganya belum pernah mengalami kedukaan. Jadi carilah di tempat lain saja. Semoga kamu lebih beruntung dari saya”, kata orang bijak nan pintar itu.
Maka keluarlah si lelaki bijak itu pergi mencari daun pohon buah-buahan dari halaman rumah orang yang belum pernah mengalami kedukaan.
Ketika dia sampai pada satu keluarga yang ada pohon apel dia mengetuk pintu dan memohon ijin untuk memetik tiga lembar daun muda pohon apel itu, tetapi ketika dia bertanya apakah mereka tidak pernah mengalami kedukaan.
Jawaban mereka mengecewakannya, karena ayah mereka baru meninggal tiga minggu yang lalu.
Dia pindah lagi ke rumah yang sebelahnya.
Jawabannya hampir sama, bahwa mereka juga pernah mengalami kedukaan, anak mereka baru meninggal 10 bulan lalu.
Begitulah seterusnya ratusan, ribuan rumah ia sudah tanyakan dan semuanya pernah mengalami kedukaan, ada yang suaminya, cucunya, ponaannya, menantunya, besannya dan lain sebagainya.
Tak terasa berjalan sekian lama akhirnya ia tanpa dia sadari ia kembali ke kampungnya. Di gerbang kampung para tua-tua sudah menunggunya. Mereka menyongsong dan menyambutnya dan berkata:
“Sobat, anakmu sudah kami kuburkan karena kami sudah terlalu lama menunggumu, lagi pula jenazah anakmu telah membusuk. Apakah kamu berhasil menemui orang bijak nan pintar itu”, tanya seorang dari tua-tua kampung itu.
“Ia saya berhasil menemuinya. Akan tetapi untuk menemukan tiga lembar daun dari pohon buah-buahan dari halaman rumah keluarga yang belum pernah mengalami kedukaan, tidak ada seorang pun yang memenuhi syarat. Semua orang pernah mengalami kedukaan”.
Pembaca yang budiman, kematian, dukacita, kepahitan, penderitaan adalah bukan hanya takdir manusia, tetapi juga sudah menjadi bagian utama manusia.
Penderitaan sesungguhnya menjadi musuh utama manusia.
Sebaliknya kebahagiaan menjadi dambaan atau harapan setiap manusia.
Tetapi kita semua sadar bahwa kita selalu mengalami dua sisi dalam hidup ini, yaitu kebahagiaan, tetapi juga penderitaan.
Entah penderitaan karena sakit, ataupun kematian.
Kadang kita ada dalam dukacita yang mendalam, oleh karena orang-orang dekat kita meninggal karena sakit, kecelakaan, atau sebab lainnya.
Tentu ini sebuah penderitaan yang tidak ringan.
Dalam hati keluarga yang mengalami dukacita, apalagi para orang tua yang menyaksikan anak semata wayang yang masih muda, energik sudah pergi selamanya, pada hal tentu ada banyak harapan bagi masa depan anak itu.
Begitu pula dengan banyak cerita duka lainnya.
Orangtua, keluarga, para sahabat dan semua orang yang berduka, kita diingatkan oleh Firman Tuhan dalam Ayub 1: 13-22.
Dalam teks alkitab ini diceritakan tentang Ayub yang sedang mengalami penderitaan yang sangat berat.
Namun dalam penderitaannya itu Ayub berkata dalam ayat 21: Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang aku akan kembali ke dalamnya: Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, Terpujilah nama Tuhan.
Ini sebuah ungkapan pengakuan iman yang sangat dalam kepada Tuhan yang ia percayai.
Ia sungguh sadar bahwa semua yang ia miliki hanyalah titipan Tuhan, dan kalaupun harus diambil daripadanya, ia bersukur karena semua ada dalam rancangan Tuhan.
Kalau kita hanya membaca ungkapan pengakuan iman itu saja tanpa memahami dengan baik penderitaan Ayub, maka kita akan berpikir itu sebuah penderitaan yang ringan.
Sesungguhnya Ayub sedang mengalami penderitaan yang luar biasa.
Mari kita lihat satu persatu, penderitaan apa yan dialami dan seberat apa penderitaan itu.
Ayat 14-15: Ayub kehilangan lembu sapi dan keledai betina ketika sedang makan rumput, datang orang syeba memukul semua penjaga sampai mati dan merampok lembu sapi dan keledai betinanya.
Ayat 16: Belum kasih kesempatan ayub bernapas, seorang penjaga datang lapor: api menyambar dan dan menghanguskan kambing domba dan penjaga-penjaga.
Ayat 17: orang kasdim membentuk 3 pasukan dan menyerbu unta dan menyerang penjaga-penjaga.
Ayat 18: angin ribut merubuhkan rumah dan anak-anaknya meninggal
Mari kita lihat, berapa banyak hewan dan anak-anak yang dimiliki ayub sehingga kita bisa mengukur betapa berat kehilangannya?
Lihat pasal 1:2 dan seterusnya bahwa Ayub memiliki 7 anak laki-laki dan 3 anak pr. 7 rb kambing domba, 3000 unta, 500 lembu, 500, keledai betina.
Budak dalam jumlah yang sangat banyak.
Sehingga ia adalah orang terkaya.
Dari gambaran ini kita bisa membayangkan bagaimana kesedihan Ayub.
Bahkan ketika dirinya mengalami sakit yang luar biasa, alkitab tetap memberi kesaksian bahwa ia tidak pernah mengutuki Allah karena penderitaan itu.
Mengapa Ayub memiliki iman yang kokoh? Karena Ayub adalah seorang ayah yang dekat dengan Tuhan.
Ayat 1 bacaan kita memberi kesaksian bahwa Ayub adalah seorang saleh, jujur dan takut akan Tuhan.
Karena hubunganya yang begitu dekat dengan Tuhan, membuat Ayub dapat menghadapi semua penderitaan itu, termasuk kematian anak-anaknya dengan iman.
Ia mampu melihat kematian dan penderitaan hidupnya sebagai bagian dari pembentukan iman bersama Tuhan.
Ia yakin bahwa tubuh memang penting, harta memang penting, tetapi ada yang jauh lebih penting, yaitu: iman kepada Tuhannya.
Oleh karena tubuh dan harta hanya sementara, sementara tubuh rohani kita akan tetap hidup, bahkan akan dibaharui dalam Kristus.
Ayub kuat karena ia yakin akan ada kehidupan baru bersama dengan TuhanNya.
Namun itu bukan berarti Ayub tidak menghargai hidup yang sekarang ia jalani?
Ayub sangat menghargai hidupnya: buktinya, ia bekerja keras dan menjadi orang terkaya pada waktu itu.
Ia juga menjadi bapak yang produktif dengan menghasilkan 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan.
Namun perhatikan bahwa Ayub tidak hanya memperhatikan hidup jasmaninya, tapi juga hidup rohaninya.
Ia saleh, menjauhi kejahatan dan takut akan Tuhan.
Coba lihat Pasal 1 ayat 4 dan 5: Kalau anak-anaknya selesai buat pesta, ia memanggil mereka dan menguduskan mereka.
Keesokan harinya ia mempersembahkan korban menurut nama mereka masing-masing.
Ayub memahami bahwa tubuh dan jiwa sama-sama penting karena itu dua-dua diperhatikan.
Tetapi semua yang ia miliki, ia tempatkan dalam kekuasaan Tuhan.
Di titik inilah kita bisa memahami mengapa Ayub begitu kuat menghadapi semua penderitaan, termasuk kematian 10 orang anaknya dalam satu hari.
Melalui Firman Tuhan ini, secara khusus melalui pengalaman iman ayub kita dapat belajar beberapa hal:
Pertama, penderitaan, termasuk kematian akan terus menjadi bagian dalam hidup manusia.
Mau atau tidak mau pasti akan kita alami.
Namun yang akan membuat kita mampu melihat penderitaan, termasuk kematian kalau kita hidup dalam hubungan yang sungguh-sungguh dekat dengan Tuhan.
Kedua, kita semua sebagai orangtua belajar dari iman Ayub sebagai seorang bapa yang saleh, jujur dan takut Tuhan untuk memahami bahwa anak-anak kita bukan milik kita.
Mereka adalah titipan Tuhan. Kita hanyalah alat yang dititipi untuk melengkapi kebahagiaan kita.
Kalau kita memahami seperti itu, maka semua orang terkasih disekitar kita hanyalah titipan Tuhan.
Dan karena itu ketika pemiliknya hendak mengambilnya kembali, maka sebagai orang beriman kita mesti rela melepaskannya dengan uangkapan yang sama seperti Ayub:” Dominus dedit Dominus abstulit sit nomen Domini benedictum” ( TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!")
Ketiga, kiita semua akan sanggup mengatakan seperti ungkapan Ayub, jika kita selalu membangun hubungan yang kuat dengan Tuhan.
Melaui hubungan yang kuat dengan Tuhan, melalui doa, membaca Firman, dan perbutan baik lainnya, maka kita akan sanggup memiliki iman yang kuat untuk mampu melihat semua penderitaan, termasuk kematian sebagai bagian dari rencana Tuhan.
Tanpa hubungan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan, maka kita akan memandang penderitaan, terutama kematian sebagai malapetaka dalam hidup kita. (*)