Putra NTT, Prof Cornelis Lay Dinobatkan Jadi Guru Besar UGM, Pidatonya Tuai Pujian
Professor Cornelis Lay berpidato pengukuhan menjadi guru besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM).
Putra NTT, Cornelis Lay Dinobatkan Jadi Guru Besar UGM, Pidatonya Panen Pujian
POS-KUPANG.COM | YOGYAKARTA - Intelektual dan kekuasaan takkan mungkin dipisahkan.
Untuk menjaga idealisme, maka keterlibatan intelektual dengan kekuasaan itu harus mengabdi kepada cita-cita pembebasan dan pemuliaan kemanusiaan.
Hal itu disampaikan oleh Professor Cornelis Lay dalam pidato pengukuhan menjadi guru besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (6/1/2019).
Pidatonya berjudul 'Jalan Ketiga Peran Intelektual, Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan', disampaikan di kampus UGM, Yogyakarta.
Isinya berangkat dari sebuah concern, apakah mungkin memisahkan dunia intelektual dari kekuasaan.
Pidato itu menjadi menarik karena disampaikan di hadapan peserta acara, yang kebanyakan adalah pejabat di era pemerintahan Jokowi saat ini.
• Valentine Day, Bikin Pacar Kamu Klepek-Klepek Dengan Kue Cokelat Stroberi Buatanmu
• Jadwal Saran Langsung Liga Inggris Malam Ini RCTI dan beIN Sports, Fulham vs MU dan City vs Chelsea
Kebanyakan dari mereka dikenal juga sebagai intelektual di kampus.
Di antaranya, Mensesneg Pratikno yang juga Ketua Majelis Wali Amanah UGM.
Mendagri Tjahjo Kumolo, Menakertrans Hanif Dhakiri, Menlu RI Retno Marsudi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar, dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Sementara dari kalangan tokoh politisi tampak hadir Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno dan Djarot Saiful Hidayat, dan puluhan politisi lainnya.
Cornelis menjelaskan, dahulu Proklamator RI Soekarno menyebut 'teori adalah tiada guna, tiada wujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup.
Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal'.
• Jadal Kapal Pelni - Anda Ingin ke Bau-Bau Sulawesi Tenggara Menggunakan Kapal Pelni? Ini Jadwalnya
• Keluarga Mahasiswa Katolik St.Thomas Aquinas FKM Undana Tanam Kelor di Maubesi TTU
Pengalaman romantik ilmu dan kekuasaan seperti era itu sayangnya sangat singkat.
Karena di 32 tahun era Orde Baru, ilmu direkayasa dan dikendalikan sebagai alat pembenaran alat kekuasaan negara.
Namun walau ada pengalaman traumatik itu, Cornelis menegaskan bahwa pemisahan mutlak intelektual dan kekuasaan sama sekali itu tidaklah mungkin.
"Intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian kualitas akademik, dan relasinya dengan negara," kata Mas Connie, sapaan akrabnya.
Baginya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya.
Tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual.
• Keluarga Abdul Kadir Lakukan Syukuran atas Pengukuhan Professor Cornelis Lay
• Kondisi Cornelis Lay semakin Membaik di Singapura
Yakni berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.
Cornelis menegaskan kembali, jalan ketiga yang ditawarkan adalah sebagai berikut.
"Masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokok. Ini memang menuntut kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan secara instan," ujar pria yang dikenal sebagai aktivis GMNI itu.
Dengan itu, maka tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat dalam filsafat kekuasaan, bertumpu pada kehendak yang sama.
Yakni cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.
"Kesamaan kehendak inilah yang menjadi titik konvergensi di antara keduanya. Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada dasarnya keduanya saling menghidupi: intelektual pasti hidup dalam kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan," kata dia.
Pidato Cornelis Lay pun mendapat sambutan luar biasa.
Cornelis Lay dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 6 September 1959.
• Siapa Cornelis Lay, Penulis Pidato Presiden Jokowi?
• Keluarga Mahasiswa Katolik St.Thomas Aquinas FKM Undana Tanam Kelor di Maubesi TTU
Ia Meraih gelar sarjana (1987) dari Jurusan Ilmu Pemerintahan (sekarang Jurusan Politik dan Pemerintahan/JPP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Yogyakarta.
Ia meraih gelar Master of Arts (1992) dari St. Mary's University, Halifax, Kanada.
Cornelis menjadi Staf pengajar di JPP (sejak 1987) dan peneliti pada Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial (1987- akhir tahun 1990-an).
Ia pernah menjabat Kepala Unit Penelitian Fisipol UGM dan Pembantu Dekan III Bidang Penelitian dan Kerja Sama (2008-2010). Dia juga pernah menjabat Kepala Biro Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri, Kantor Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri (2000-2004).
Mantan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang kemudian tercatat sebagai salah satu anggota tim ahli Persatuan Alumni (PA) GMNI ini memang pengagum berat Bung Karno.
Sebagai ilmuwan, dia banyak dikenal melalui sejumlah tulisan dan komentarnya di berbagai media massa.
• BMKG: Waspadai Gelombang Tinggi di Beberapa Perairan NTT Hari Ini, Sabtu 9 Februari 2019
• LIVE STREAMING Rising Star Indonesia RCTI 11 Januari, Ini 8 Kontestan Babak Wild Card
Menulis banyak makalah, artikel, dan buku.
Karya yang ditulis bersama Prof Dr Pratikno dengan judul "From Populism to Democratic Polity, Problems and Challenges in Solo, Indonesia" dimuat dalam buku berjudul Democratisation in the Global South: The Importance of Transformative Politics (2013).
Sejak 2009, tercatat sebagai salah seorang tenaga peneliti pada Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP), UGM.
Dia pernah menjadi peneliti tamu di sejumlah perguruan tinggi, seperti Flinders University, Australia (1995); Agder College University, Kristiansand, Norwegia, (2001 dan 2002); Massachussets University, AS (2008); dan KITLV, Negeri Belanda (2010). (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com