Opini Pos Kupang
NTT dan Stigma Kemiskinan yang Melekat
Bandingkan dengan penduduk miskin yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur yang masing-masing daerah
Oleh Andrew Donda Munthe
ASN pada BPS Kota Kupang/Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor
POS-KUPANG.COM - Hingga saat ini, Provinsi Nusa Tenggara Timur atau NTT masih sangat lekat dengan stigma daerah miskin. Secara jumlah absolut, penduduk miskin NTT pada Maret 2018 sebanyak 1.142.170 orang.
Bandingkan dengan penduduk miskin yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur yang masing-masing daerah tersebut dapat mencapai lebih dari 3,5 juta penduduk miskin.
Akan tetapi, NTT merupakan salah satu provinsi dengan persentase penduduk miskin yang sangat tinggi di negeri ini. Persentase penduduk miskinnya mencapai 21,35 persen dari jumlah total penduduk.
Hal ini berarti sekitar seperlima penduduk yang ada di NTT termasuk dalam kategori penduduk miskin. Dengan demikian bukankah hal yang wajar apabila stigma daerah miskin masih disematkan pada provinsi ini?
• Selain Jujur dan Sederhana, Agum Gumelar Sebut Ada Magnet di Badan Jokowi
• Ramalan Zodiak Karir Selasa 5 Februari 2019, Aries Penuh Semangat, Zodiak Lain?
• Drakor Terbaru Lee Jong Suk Romance Is A Bonus Book Mulai Tayang, Anda Wajib Nonton
Masalah kemiskinan sangat terkait dengan banyak aspek dan juga begitu kompleks (multidimensi). Menyangkut masalah sosial di masyarakat, sarana dan prasarana publik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, bahkan juga aspek adat budaya.
Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah kehilangan kesejahteraan ("poverty is pronounced deprivation in well-being").
Sedangkan, kemiskinan menurut Bappenas adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar tersebut adalah terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, termasuk juga hak untuk berpartisipasi bebas dalam kegiatan sosial-politik dan bermasyarakat.
Perhitungan penduduk miskin di Indonesia dilakukan oleh Badan Pusat Statistik melalui pendataan yang disebut dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Konsep kemiskinan yang digunakan BPS dalam pengumpulan datanya adalah dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar (makanan dan bukan makanan) yang diukur dari sisi pengeluaran.
Perhitungan batasan dari sisi pengeluaran tersebut disebut dengan Garis Kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan yang nilainya berada di bawah Garis Kemiskinan.
Penelitian Kemiskinan di NTT
Banyak penelitian yang dilakukan oleh para akademisi untuk "memotret" fenomena kemiskinan yang terjadi di NTT. Beberapa penelitian tersebut di antaranya dilakukan oleh Widianis (2014), Anggara (2015), dan juga Munthe (2019).
Penelitian Widianis (2014) berjudul, "Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur". Salah satu kesimpulan yang menarik dari penelitian tersebut adalah pangan pokok utama yang dikomsumsi rumah tangga miskin di NTT adalah beras dan jagung.