Berita Cerpen
Cerpen Yosep L Lanang : Gerimis Tipis di Ujung Jembatan Kolna'i
Langit kembali jingga, aku masih setia duduk di ujung jembatan Kolna'i yang menghadap ke selatan.
Penulis: PosKupang | Editor: Apolonia Matilde
Cerita itu aku dengar lebih dari enam kali, tapi aku akan tetap menunjukkan raut muka yang super serius. Memaksa bibirku untuk tersenyum rapi dan mengangguk pelan seolah menaruh kagum seperti pertama kali aku mendengarnya.
• Anak Sulung Ahok, Nathania Purnama Bantah Veronica Tan Tak Bisa Masak, Ini yang Dilakukannya!
Sampai kurang dari seperempat lingkaran mentari mengintip di peraduannya. Aku akan segera kembali ke kamar, dan mengarang sedikit. Padahal aku sendiripun sudah cukup putus asa. Kadang aku juga merasa bersalah telah mendustai diriku sendiri. Sungguh jikalau begini, akulah orang pertama yang menahan langkahmu. Atau paling tidak aku ikut merantau bersamamu, tetapi tidak mungkin.
Aku memang miskin, kau bekerja dengan mengandalkan tenaga yang tidak pasti penghasilannya. Mendulang, ya mendulang itulah mayoritas pekerjaan di kota besar, dan di perkampungan yang berada di batas Negara Timor Leste, inilah aku banyak memulai cerita.
Berkisah tentang apa dan siapa sebenarnya diriku yang lusuh ini. Tentang kehidupan zaman sekarang yang makin keras dan butuh perjuangan serta tekad untuk bertahan. Bertahan dalam suasana yang membosankan.
Aku bekisah tetang cinta dan masa depan kita yang makin hari semakin tak bermakna kerena kepergian dirimu. Pekerjaan itu aku rasa hanya cukup untuk makan dan melunasi hutang-hutang.
Sampai suatu ketika orang-orang di kampung kita ramai membicarakan isu pertikaian antar sesama di batas negara ini saat kita memulai kisah kita tentang cinta yang tak kunjung berakhir.
Kini mereka sudah banyak yang pulang ke kampung halaman, tapi kau sendiri?
• Epy Tahun: Menjaga Ternak hingga Jadi Bupati TTS
Aku tidak tahu kau di mana, aku sering bertanya perihal kabarmu kepada teman, kerabat yang juga datang dari sana setelah kau tidak lagi mengirim pesan singkat atau telepon lagi.
Mereka mengatakan tidak pernah melihatmu lagi. Terakhir dua tahun yang lalu, pada bulan yang sama ketika SMS terakhirmu aku baca.
Di tahun pertama dari hilangnya jejakmu, aku sakit-sakitan sampai hampir terserang stroke. Dan aku hanya bisa tabah dengan tetes air mata di rumah, kau tahu aku sangat mencintaimu.
Aku ikut mengaut pasir ke dalam truk yang biasa lewat dengan menghambur debu di sepanjang jalan kampung kita. Hingga di suatu senja dengan gerimis tipis, aku masih tetap duduk menunggumu di ujung jembatan itu.
Aku kembali termangu, meresapi aroma gerimis dengan secangkir kopi pahit.
Jalan setapak dari belakang rumah membentang panjang nan kelabu, padang ilalang sedikit basah. Beberapa burung berlarian di udara dengan meninggalkan kicauan yang bergema, lalu lenyap.
Langit mulai meredup, sosok dirimu hilang di penghujung jalan. Aku mulai beranjak dari kursi, sambil memegang gelas kopi yang kosong. Aku menaruh kembali gelas di atas meja dan menyalakan sebatang rokok sambil menatap potret wajahmu yang masih menempel di dinding kamarku dengan tulisan tanganmu, "TaGores" yang merupakan singkatan namamu dan aku.
• Puput Nastiti Devi Korbankan Hal Ini Demi Menikah dengan BTP Ahok
Tak kusadari jemari tanganku menyentuh pipi potret itu, seakan dirimu yang kini tiada beritanya. Hembus asap tembakau dari mulutku berserakan, lamban seperti mengimbangi ayunan langkah kaki bayangan dirimu. Gerimis yang sempat terjeda, kembali memberi irama, tetes demi tetes butiran air mendarat di keningku.