Opini Pos Kupang
Mengubah Cara Berpikir yang Salah Mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan
Berbagai kegiatan dilakukan mulai dari pawai, aneka lomba hingga sarasehan dan seminar. Namun pertanyaannya
Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat, menunjukan kepada kita bahwa persoalan ini bukan semata-mata tentang kejahatan dari para pelakunya.
Namun lebih dari itu, hal ini menunjukkan ada yang salah dalam cara berpikir kita. Ada yang salah dalam paradigma masyarakat bahkan budaya dalam melihat posisi perempuan. Hal itu antara lain dapat kita simpulkan dari komentar-komentar sederhana yang sering kita dengar di tengah masyarakat.
Contohnya, ada yang mengatakan "bagaimana tidak terjadi perkosaan, kalau pakaiannya mini, dandanannya menor, duduknya tidak sopan". Atau seorang ayah yang mengatakan bahwa "anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh nanti jatuhnya ke dapur juga".
Lalu ada juga warga yang berkomentar bahwa "laki-laki adalah kepala keluarga dan karena itu dia yang menentukan segalanya di rumah". Atau yang mengatakan "laki-laki bertugas mencari nafkah sedangkan perempuan urusannya di dapur, mengurus suami dan anak-anak. Jadi tidak perlu bekerja".
Contoh lain yang lebih spesifik, di Manggarai misalnya umum beranggapan bahwa anak laki-laki adalah penerus keturunan sedangkan perempuan adalah ata peang (orang luar) sehingga tidak punya hak atas warisan.
Contoh-contoh ini walaupun mungkin disampaikan secara kelakar di warung kopi tapi sebetulnya merupakan cerminan dari cara pikir masyarakat kita yang menyepelekan perempuan, sekaligus menyalahkan perempuan bahkan saat perempuan itu menjadi korban. Selama ini perempuan diberikan beban untuk menjaga dirinya.
Cara berpakaian diatur, cara bersikap harus begini begitu, cara bicara juga tidak boleh ini tidak boleh itu, dan lain sebagainya. Padahal hampir 100% pelaku kekerasan seperti pemerkosaan misalnya adalah laki-laki.
Laki-lakilah yang seharusnya diajar untuk menghargai perempuan; diajarkan untuk tidak melakukan pelecehan dengan alasan apapun. Mengapa? Karena perempuan pun manusia seperti laki-laki yang juga berhak atas rasa aman, berhak untuk berekspresi, berhak dihargai, dan seterusnya.
Dampak dari cara berpikir yang salah
Dampak besar dari cara berpikir dan tindakan yang salah ini adalah ketakutan para perempuan kita untuk bereaksi ketika terjadi kekerasan baik yang menimpa dirinya maupun orang lain. Berapa banyak perempuan kita yang mengalami pelecehan seksual berani berteriak atau berani melapor ke kantor polisi.
Alih-alih melapor, perempuan-perempuan kita umumnya malah pulang ke rumah karena malu, membungkam diri, dan bahkan merasa dirinya hina.
Ketakutan dan keengganan untuk "bersuara" seperti ini terjadi akibat cara pandang kita yang tertanam pada para perempuan secara turun-temurun. Ketika perempuan diberikan beban untuk `menjaga dirinya', kita lupa mengajarkan kepada mereka bahwa ia punya hak atas tubuhnya, punya hak atas rasa aman, punya hak untuk bersuara. Bahwa yang seharusnya malu adalah pelaku kekerasan dan yang hina adalah para pemerkosa.
Dampak besar berikutnya adalah bahwa kekerasan akan membawa kekerasan berikutnya. Kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan (termasuk terhadap anak-anak) terutama yang terjadi di dalam keluarga akan mewariskan kekerasan berikutnya pada anak-anak mereka.
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan atau menyaksikan kekerasan yang dialami orang lain akan tumbuh menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Albert Bandura, seorang psikolog pendidikan, pernah mengatakan bahwa perilaku anak merupakan sebuah proses belajar dari apa yang dia lihat dilakukan oleh role modelnya, seperti orang tua.
Ini tentu sebuah tragedi besar bagi bangsa kita apabila hal itu terjadi tanpa ada usaha untuk menghentikannya. Kita akan menciptakan generasi yang gemar akan kekerasan dan kehilangan generasi yang bermartabat, generasi yang ceria, yang memfokuskan diri pada kreativitas bukannya ketakutan.