Berita NTT Terkini
WALHI NTT Terbitkan TUAK Lontar 2018
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT menerbitkan Tinjauan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Orang NTT dan Resolusinya (TUAK LONTAR) 2018.
Penulis: Gecio Viana | Editor: Kanis Jehola
"Ini belum termasuk berbagai home stay yang sedang beroperasi saat ini. Saat ini, Pemda Sumba Barat bahkan menjelaskankan akan ada pembangunan 30 hotel baru di Sumba Barat," imbuhnya.
Menurut Umbu, bisnis tanah untuk kepentingan pariwisata di Sumba Barat yang cuma seluas 70.900 ha ini juga terbilang makin marak. Sangat mudah didapatkan di internet terkait jual beli lahan di pesisir Sumba Barat.
Kedepan, hilangnya ruang produksi rakyat makin meluas. Kemelaratan rakyat kampung di tengah gemerlap bisnis keindahan sebagai kabupaten dimana bisnis pariwisata merajalela, tentu publik awam akan menilai bahwa begitu beruntungnya Sumba Barat.
Keindahan alam hingga rakyat yang sejahtera tentu ada dalam benak publik. Namun temuan WALHI NTT sungguh bertolakbelakang, pemerintah daerah Sumba Barat justru sedang menampilkan ketimpangan secara ekonomi di daerah tersebut. Per 2016 jumlah penduduk miskin di Sumba Barat adalah 29.34 persen dari jumlah penduduk 123.913 ribu jiwa.
Temuan WALHI NTT, jelas Umbu, kantong kantong kemiskinan justru banyak berada di kampung kampung yang mentereng dari segi kepariwasataan.
Salah satu contohnya di Desa Watu Karere, tempat dimana hotel terbaik dunia berada. Angka kemiskinan di desa tersebut mencapat 56 persen atau sebanyak 263 KK tergolong masyarakat miskin dari total 467 KK. Di desa tersebut sebanyak 263 KK tercatat sebagai penerima raskin dan terdapat 90 rumah tidak layak huni.
Umbu melanjutkan, Hal tidak jauh berbeda terjadi di Desa Patiala Bawa. 237 KK dari 364 KK masuk kategori miskin atau lebih dari 65 masyarakat tergolong dalam masyarakat miskin.
Fakta-fakta tersebut, kata Umbu, menunjukkan di NTT justru kantung kemiskinan banyak berada di kawasan yang katanya alamnya keren.
"Provinsi NTT terjebak pada keindahan palsu, yakni sebuah keindahan yang dampak ekonominya dinikmati secara besar-besaran oleh para investor atau pemilik modal. Istilah lainnya, alamnya keren, rakyatnya kere," bebernya.
Umbu juga menegaskan, WALHI NTT secara konsisten mendorong pemerintah NTT untuk lebih mengutamakan pariwisata berbasis kerakyatan daripada berbasis investor.
Menurutnya, rakyat NTT sebagai pemilik dan perawat kampung harus mendapat benefit ekonomi yang memadai dari keindahan yang dimiliki. Pemerintah harus mampu memperkuat kemampuan rakyat untuk mengelola pariwisata berbasis komunitas.
WALHI NTT juga meminta gubernur NTT untuk meninjau ulang semua model pengelolaan dan tata kuasa lahan di pesisir.
"Dalam temuan WALHI, banyak sekali kepemilikan lahan berbasis investor dan perseorangan yang melanggar UU. Misalnya UU No. 27 Tahun 2007 junto UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau Pulau Kecil. Misalnya 100 meter dari air pasang tertinggi adalah milik negara yang hanya diperuntukkan bagi dua hal yakni rekreasi publikk dan konservasi," jelasnya.
Gubernur NTT pada 2019 ini, lanjut Umbu, harus menyelesaikan dulu semua konflik agraria akibat pariwisata dan berkomitmen untuk melakukan audit agraria di NTT. Gubernur dan jajarannya juga harus memberantas para mafia tanah di dalam dan luar birokrasi.
"Akhirnya, publik akan menanti komitmen gubernur untuk menyelesaikan kasus penembakan Poro Duka hingga tuntas. Mulai dari pelaku penembakan hingga mengembalikan tanah untuk rakyat. STOP Agresi atas nama investasi," kata Umbu. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)