Berita NTT Terkini
WALHI NTT Terbitkan TUAK Lontar 2018
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT menerbitkan Tinjauan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Orang NTT dan Resolusinya (TUAK LONTAR) 2018.
Penulis: Gecio Viana | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | KUPANG - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT menerbitkan Tinjauan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Orang NTT dan Resolusinya (TUAK LONTAR) 2018. Hal baru ini diharapkan akan menjadi tradisi tahunan bagi upaya penguatan dan pelestarian lingkungan di NTT.
Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi dalam siaran pers yang diterima POS-KUPANG.COM, Senin (31/12/2018) mengatakan, pihaknya merasa penting untuk menyampaikan kepada publik mengenai segala dinamika pengelolaan lingkungan hidup dan Wilayah Kelola Rakyat (WKR) yang terjadi. Mulai dari kebijakan pemerintah, kondisi lapangan hingga kasus kasus yang dilaporkan ke WALHI NTT selama tahun 2018.
"Pada TUAK LONTAR kali ini, WALHI NTT akan mengetengahkan berbagai persoalan yang terjadi selama setahun ini. Mulai dari kebijakan yang tidak pro lingkungan dan WKR, Kerusakan Lingkungan hingga bencana ekologi. Harapannya, publik bisa tahu dan ikut serta berkontribusi lebih kuat dalam upaya perlindungan lingkungan hidup dan kemanusiaan di NTT," ungkapnya.
• Dituduh Lakukan Pelecehan, Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Mundur dari Jabatan
Catatan pertama WALHI yakni terkait catatan hitam pariwisata di NTT, dari pembunuhan hingga keindahan palsu. Publik NTT bahkan Nasional tahun ini tentu tidak mungkin lupa peristiwa penembakan oleh oknum polisi terhadap Poro Duka (Seorang Petani asal Desa Patiala Bawa, Sumba Barat) pada 25 April 2018 silam.
Poro Duka, lanjut Umbu, bersama para petani lainnya tengah berusaha mempertahankan lahannya dari upaya klaim yang dilakukan oleh PT. Sutera Marosi Kharisma. Poro Duka dan kawan kawan menolak perusahan yang akan membangun hotel di tempat tersebut di atas lahan seluas 50 hektar.
• Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan akan Laporkan RA ke Polisi
Peristiwa tersebut hanyalah satu dari rentetan kekerasan terhadap rakyat di NTT demi untuk melanggengkan investasi.
"Investasi yang sebenarnya tidak pernah dimusyawarahkan dengan warga sedari awal. Warga seperti dicabut haknya untuk mengatakan “tidak”. Warga diarahkan sebagai obyek yang harus menerima saja apa yang diinginkan oleh pemerintah atau pengusaha. Bila melawan maka akan menghadapi kekerasan dari aparatur negara atau dibenturkan dengan preman bayaran yang juga dinamai "warga'," jelas Umbu.
Selain itu, WALHI NTT juga menyoroti industri pariwisata di wilayah pesisir Sumba yang telah berjalan lebih dari seperempat abad.
Yang memulainya adalah Claude Garves asal Jerman. Dia memulainya pada tahun 1988 dan pada tahun 1995 hadirlah Hotel Nihiwatu di Pesisir Lamboya-Wanokaka, Sumba Barat.
21 tahun kemudian, hotel ini dinobatkan sebagai Hotel Terbaik Dunia dua tahun berturut turut (2016-2017) oleh Majalah Internasional Travel+Leisure.
"Berdasarkan tarif umum yang dikeluarkan oleh Manajemen Nihiwatu lewat website nihi.com per 1 April 2018 hingga 31 Maret 2019 maka biaya menginap di hotel ini, menempatkannya sebagai salahsatu hotel termahal di Indonesia. Bila mengikuti kurs dollar saat ini yang mencapai 14 ribu rupiah perdollar maka menginap di Nihiwatu paling murah (saat waktu normal) 11 juta rupiah dan paling mahal 173.250 juta rupiah," jelas Umbu.
"Harganya lebih tinggi bisa mencapai dua kali lipat saat masa liburan. Dengan 33 unit villa yang saat ini ada, penghasilan Nihiwatu perbulan bisa mencapai belasan milyar hingga puluhan milyar per bulan," tambah Umbu.
Umbu menambahkan, dalam salah satu situs agen perjalanan terkemuka di Indonesia, penginapan di Nihiwatu telah penuh hingga Februari 2019. Tentu itu belum dihitung dengan penyewaan kuda, alat surfing maupun perjalanan lainnya.
Kalau dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan target PAD Sumba Barat yang berkisar di angka 40-60 Milyar dalam periode 2015 hingga 2018, kata Umbu, maka bisa dipastikan penghasilan Nihiwatu (kalau rata rata 15 milyar perbulan) 3 kali lipat diatas PAD Sumba Barat.
Saat ini Nihiwatu tidak sendirian di Pesisir Selatan Sumba Barat. Mulai dari bentang pesisir Gaura, Lamboya hingga Wanukaka. Ada beberapa resort yang dimiliki oleh investor luar negeri yakni Lelewatu Resort di Lele Watu, Nautly Resort di Patiala Bawa, Watu Kaka Resort di Gaura.
"Ini belum termasuk berbagai home stay yang sedang beroperasi saat ini. Saat ini, Pemda Sumba Barat bahkan menjelaskankan akan ada pembangunan 30 hotel baru di Sumba Barat," imbuhnya.
Menurut Umbu, bisnis tanah untuk kepentingan pariwisata di Sumba Barat yang cuma seluas 70.900 ha ini juga terbilang makin marak. Sangat mudah didapatkan di internet terkait jual beli lahan di pesisir Sumba Barat.
Kedepan, hilangnya ruang produksi rakyat makin meluas. Kemelaratan rakyat kampung di tengah gemerlap bisnis keindahan sebagai kabupaten dimana bisnis pariwisata merajalela, tentu publik awam akan menilai bahwa begitu beruntungnya Sumba Barat.
Keindahan alam hingga rakyat yang sejahtera tentu ada dalam benak publik. Namun temuan WALHI NTT sungguh bertolakbelakang, pemerintah daerah Sumba Barat justru sedang menampilkan ketimpangan secara ekonomi di daerah tersebut. Per 2016 jumlah penduduk miskin di Sumba Barat adalah 29.34 persen dari jumlah penduduk 123.913 ribu jiwa.
Temuan WALHI NTT, jelas Umbu, kantong kantong kemiskinan justru banyak berada di kampung kampung yang mentereng dari segi kepariwasataan.
Salah satu contohnya di Desa Watu Karere, tempat dimana hotel terbaik dunia berada. Angka kemiskinan di desa tersebut mencapat 56 persen atau sebanyak 263 KK tergolong masyarakat miskin dari total 467 KK. Di desa tersebut sebanyak 263 KK tercatat sebagai penerima raskin dan terdapat 90 rumah tidak layak huni.
Umbu melanjutkan, Hal tidak jauh berbeda terjadi di Desa Patiala Bawa. 237 KK dari 364 KK masuk kategori miskin atau lebih dari 65 masyarakat tergolong dalam masyarakat miskin.
Fakta-fakta tersebut, kata Umbu, menunjukkan di NTT justru kantung kemiskinan banyak berada di kawasan yang katanya alamnya keren.
"Provinsi NTT terjebak pada keindahan palsu, yakni sebuah keindahan yang dampak ekonominya dinikmati secara besar-besaran oleh para investor atau pemilik modal. Istilah lainnya, alamnya keren, rakyatnya kere," bebernya.
Umbu juga menegaskan, WALHI NTT secara konsisten mendorong pemerintah NTT untuk lebih mengutamakan pariwisata berbasis kerakyatan daripada berbasis investor.
Menurutnya, rakyat NTT sebagai pemilik dan perawat kampung harus mendapat benefit ekonomi yang memadai dari keindahan yang dimiliki. Pemerintah harus mampu memperkuat kemampuan rakyat untuk mengelola pariwisata berbasis komunitas.
WALHI NTT juga meminta gubernur NTT untuk meninjau ulang semua model pengelolaan dan tata kuasa lahan di pesisir.
"Dalam temuan WALHI, banyak sekali kepemilikan lahan berbasis investor dan perseorangan yang melanggar UU. Misalnya UU No. 27 Tahun 2007 junto UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau Pulau Kecil. Misalnya 100 meter dari air pasang tertinggi adalah milik negara yang hanya diperuntukkan bagi dua hal yakni rekreasi publikk dan konservasi," jelasnya.
Gubernur NTT pada 2019 ini, lanjut Umbu, harus menyelesaikan dulu semua konflik agraria akibat pariwisata dan berkomitmen untuk melakukan audit agraria di NTT. Gubernur dan jajarannya juga harus memberantas para mafia tanah di dalam dan luar birokrasi.
"Akhirnya, publik akan menanti komitmen gubernur untuk menyelesaikan kasus penembakan Poro Duka hingga tuntas. Mulai dari pelaku penembakan hingga mengembalikan tanah untuk rakyat. STOP Agresi atas nama investasi," kata Umbu. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)