Opini Pos Kupang
Adven dan Praksis Elektoral
Pewartaan itu hadir dalam konteks ketidakpedulian Yehuda, terutama pemimpinnya pada upaya perbaikan kehidupan
Oleh Inosentius Mansur
Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret-Maumere
POS-KUPANG.COM - Umat kristiani kini memasuki masa Adven. Kata Adven berasal dari kata bahasa Latin Adventus yang berarti kedatangan. Di sini, kedatangan Kristulah yang dinantikan. Adapun kedatangan Kristus itu sudah diramalkan semenjak Perjanjian Lama.
Salah satu nabi yang ditugaskan untuk meramalkan (memberitahukan) kedatagan-Nya (kelahiran-Nya) adalah Yeremia. Melalui Yeremia, Allah menyerukan bahwa Yehuda yang sedang terpuruk: baik dari segi ekonomi, hukum, sosial-budaya, fisik, psikis, mental dan spiritual, akan segera direvitalisasi.
Tandas Yeremia: "pada waktu itu dan pada masa itu, Aku akan menumbuhkan Tunas Keadilan bagi Daud. Ia akan melaksanakan keadilan dan kebenaran bagi seluruh negeri" (Yer.33:15). Yehuda segera direhabilitasi. Mereka tidak dibiarkan terkapar tanpa harapan. "Tunas keadilan" yang ditumbuhkan Allah itulah yang akan menyelamatkan dan membebaskan.
• Ramalan Zodiak Hari Ini, Sabtu 15 Desember 2018, Aquarius Batasi Pengeluaran, Aries Bersantai
• 5 Momen Mengharukan di Panggung Mnet Asian Music Awards 2018 Hongkong: Member BTS Menangis!
• Penggemar Drama Korea, Intip 10 Drakor Yang Bakal Tayang Bulan Oktober 2018
Pewartaan itu hadir dalam konteks ketidakpedulian Yehuda, terutama pemimpinnya pada upaya perbaikan kehidupan bangsa dalam berbagai aspek. Yang paling parahnya, mereka (terutama para elite) tidak peduli terhadap Allah.
Mereka tidak mengindahkan keadilan dan kebenaran. Teguran Allah melalui para nabi diabaikan. Hal itulah yang menyebabkan Yehuda terpuruk. Sementara di sisi lain, ancaman bangsa lain sedang datang menghantui mereka. Maka tidak mengherankan jika mereka putus asa, merasa tidak berdaya, kehilangan harapan.
Dalam keadaan seperti inilah, Allah, melalui Yeremia menjanjikan suatu harapan, yaitu kehidupan masa depan yang jauh lebih baik, dan itu terjadi ketika Allah sendiri datang memulihkan umat-Nya.
Dengan mengutus "Tunas keadilan" yang akan menegakan keadilan dan kebenaran, Allah membuktikan cinta-Nya terhadap umat pilihan-Nya itu. Ia tidak ingin mereka berada dalam ketidakpastian. Ia tidak tega jika mereka berada dalam kecemasan, tak berdaya dan kehilangan harapan. Allah sendirilah yang akan merestorasi Yehuda.
Praksis Elektoral: Realisasi Harapan
Selain menantikan kedatangan Mesias, sebentar lagi, kita juga akan melaksanakan praksis elektoral. Sebagai orang beriman, saya mengajak kita semua untuk merefleksikan dan melihat momentum ini dari kacamata iman.
Betapa tidak, kita tidak hanya menantikan kedatangan sang "Tunas keadilan" itu, tetapi juga sedang menantikan figur publik yang dalam aktualisasi publiknya nanti (diharapkan) dapat bertindak sebagai tunas keadilan dan menegakan kebenaran bagi seluruh rakyat.
Sebab seseorang yang dinantikan kedatanganya melalui praksis politik adalah dia yang membawa harapan baru bagi rakyat. Ketika rakyat sedang kehilangan harapan, merasa putus asa, hidup dalam kecemasan karena problematika sosial, terutama karena perlakuan para elite ruang publik yang seringkali destruktif, di saat seperti itulah tokoh politik mesti hadir memberi harapan baru.
Dia harus mengartikulasikan harapan seluruh rakyat. Dia harus memastikan bahwa kesejahteraan rakyat akan segera dipulihkan. Dia harus membuktikan bahwa dialah "penyelamat". Hal itu terwujud dalam terobosan-terobosan yang pada ghalibnya merupakan penerjemahan cita-cita seluruh rakyat dalam aspek politik serta diaktualisasikan dalam kebijakan politik publik.
Sebagaimana Allah memperhatikan nasib malang yang menimpa Yehuda, demikian jugalah tokoh politik itu. Dia mesti turun tangan, melakukan intervensi, merombak sistem destruktif-distortif yang menyebabkan rakyat selalu dilanda kemalangan.
Tokoh politik itu mesti mampu memetakan problem-problem yang seringkali mengepung dan membuat rakyat tidak berkutik.
Dengan demikian, dia tidak sekadar tampil sebagai produk dari sebuah kontestasi politik, tetapi juga lebih dari itu "datang" sebagai aktor yang memberi serentak merealisasikan harapan ditengah kegalauan sosial.
Harapan itu harus dimanifestasikan kedalam program-program liberatif, progresif dan emansipatif. Diatas semua itu, hati nuraninya mesti memiliki sensibilitas terhadap berbagai katerpurukan yang dialami rakyat. Sebab tanpa itu, dia akan memperalat rakyat demi kepentingannya.
Tokoh politik yang dihasilkan melalui pesta elektoral mesti melakukan tindakan politik altruik. Tindakan merupakan simbol utama karakter manusia (Arendt, 1958). Tindakan seperti ini selalu berkaitan dengan aspek publik, mengintegrasikan keutamaan-keutamaan publik. Tindakan itu juga memberi ruang pada terciptanya kebebasan, keadilan, perdamaian, kesejahteraan, penegakan nalar, primat diskursus sosial dan sederetan kebebasan demokratis lainnya.
Paradigma liberatif emansipatif mesti ditegakan dan terintegrasi menjadi komponen elementer yang terkover dalam setiap tindakan politik tersebut. Tindakan seperti ini memiliki karakter konsolidatif progresif. Harus ada hal baru yang memiliki efek "gregetan" bagi kehidupan bersama.
Hal ini juga memutlakan kesediaan untuk menyingkirkan kepentingan pribadi. Itu berarti berlandaskan kepentingan kolektif -publik. Semuanya mesti tunduk dibawah supremasi orientasi publik (rakyat). Hal seperti ini memestikan setiap tindakan politik berpijak pada cita-cita publik kebangsaan. Maka secara otomatis, tindakan tersebut harus sanggup memanifestasikan apa yang terdapat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti intervensi Allah melalui (pewartaan) nabi Yeremia, tindakan politik itu mesti melahirkan tunas keadilan dan menegakan kebenaran ditengah masyarakat. Tidak sekadar memberi harapan palsu, tetapi membuktikan bahwa harapan itu akan benar-benar direalisasikan.
Tidak hanya menampilkan kesanggupan verbalistik bombastik, tetapi memperlihatkan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Tidak sekadar berkomitmen, tetapi sanggup mengagregasi harapan rakyat untuk diartikulasikan dalam tindakan konkrit. Tokoh politik mesti meyakinkan rakyat bahwa penderitaan sosial yang selama ini seringkali dialami, akan segera diakhiri.
Tokoh politik harus bisa tampil sebagai tunas keadilan ditengah ketidakadilan yang semenjak dulu melanda publik. Tokoh politik mesti menampilkan aktus altruik dengan meninggalkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Jadi tidak sekadar menaikan rating pribadi lantas mencederai kepentingan bersama. Tentu saja di sini, membutuhkan kecerdasannya dalam menganalisis problem masyarakat lalu diartikulasikan lewat gagasan serta tindakan solutif.
Sebagaimana Natal adalah momentum sakral dimana umat kristiani menantikan kedatangan sang pembebas manusia dari dosa, demikian juga praksis elektoral mesti menjadi momentum suci dimana rakyat mendapatkan tokoh politik yang membebaskan mereka dari ketidakadilan sosial.
Sebagaimana Natal adalah peristiwa yang membuktikan keberpihakan Allah kepada manusia, demikian jugalah praksis elektoral mesti menjadi momentum kelahiran tokoh politik yang berpijak dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Praksis elektoral harus menjadi momentum memproduksi tokoh politik yang menjadikan kegelisahan, harapan, suka duka rakyat sebagai "detak nadi" kebijakan ataupun basis perjuangan politiknya.
Dengan demikian, Adven ataupun Natal tidak hanya berdimensi spiritual (kedatangan penebus yang menyelamatkan), tetapi berdimensi sosial politik dengan kelahiran tokoh yang menampilkan tindakan politik liberatif. Praksis elektoral mesti melahirkan tokoh yang merealisasikan harapan rakyat.*