Berita Nasional
Ini Sanksi Bagi yang Menunggak Iuran BPJS Kesehatan! Kamu Bakal Tak Bisa Urus SIM dan STNK
Ini Sanksi Bagi yang Menunggak Iuran BPJS Kesehatan! Kamu Bakal Tak Bisa Urus SIM dan STNK
Ini Sanksi Bagi yang Menunggak Iuran BPJS Kesehatan! Kamu Bakal Tak Bisa Urus SIM dan STNK
POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai gencar dalam melakukan upaya minimalisir defisit yang terjadi di perusahaan. Salah satunya dengan mengetatkan sanksi terhadap peserta yang masih menunggak iuran.
Kepala Humas BPJS kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, setidaknya perusahaan akan mengetatkan sanksi tersebut terhadap peserta yang termasuk dalam pekerja bukan penerima upah (PBPU/informal).
Sebab segmen tersebut merupakan salah satu penyumbang defisit yang dialami BPJS Kesehatan saat ini.
Adapun berdasarkan data dari Kementerian Keuangan per akhir Oktober 2018 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 7,95 triliun.
Baca: Intip Ramalan Zodiak Minggu ini, 12-18 November 2018: Gemini Harus Sabar, Aquarius Perlu Menabung
Baca: Intip Ramalan Cinta Zodiak Senin 12 November 2018: Virgo Jangan Tergoda!
Baca: Kencani Istri Pengusaha, Pemain Bola Gagah Ini Tewas, Alat Kelaminnya Dipotong

Jumlah itu merupakan selisih dari iuran yang terkumpul yakni Rp 60,57 triliun dengan beban Rp 68,52 triliun.
Adapun sumber defisit itu paling besar dari peserta pekerja bukan penerima upah.
Segmen peserta itu hanya bisa mengumpulkan iuran sebesar Rp 6,51 triliun. Sementara beban yang ditimbulkan senilai Rp 20,34 triliun, sehingga memiliki selisih Rp 13,83 triliun.
Kemudian segmen peserta bukan pekerja juga memiliki selisih Rp 4,39 triliun. Sebab, iuran yang terkumpul Rp 1,25 triliun sementara bebannya Rp 5,65 triliun.
Begitu juga dengan pekerja penerima upah (PPU) yang didaftarkan pemerintah daerah juga menyumbang defisit Rp 1,44 triliun karena iuran Rp 4,96 triliun dan bebannya Rp 6,43 triliun.
Justru untuk segmen penerima bantuan iuran (PBI) keuangannya tidak negatif. Tercatat, iuran PBI jumlahnya mencapai Rp 19,1 triliun. Sementara, bebannya cenderung lebih rendah Rp 15,89 triliun. Sehingga menurut Kemenkeu dari PBI justru surplus Rp 3,21 triliun.
Melihat hal tersebut, salah satu yang bisa dilakukan untuk membuat peserta informal patuh adalah adanya penguatan regulasi soal sanksi.
Regulasi itu perlu dukungan Kementerian/kembangan (K/L) lain untuk pengenaan sanksi bagi yang menunggak.
Salah satunya yakni tidak bisa memproses izin-izin jika belum melunasi tunggakan BPJS Kesehatan.
"Soal keterkaitan izin ini sebetulnya sudah tercantum di PP 86 Tahun 2013, memang ini sudah dipersiapkan bahkan sebelum JKN ada," jelas Iqbal saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (12/9/2018).
Disebutkan, dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 sanksi itu meliputi tidak mendapat pelayanan publik tertentu kepada yang dikenai pemneri seperti perizinam terkait usaha, izin yg diperlukan dalam mengikuti tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing dan izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan izin memdirikan bangunan (IMB).

Sementara sanksi yang dikenakan kepada setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan PBI juga akan terganjal perizinan seperti mengurus IMB, SIM, sertifikat tanah, paspor bahkan STNK.
Iqbal pun mengatakan, jika sesuai peraturan maka hal itu seharusnya sudah siap diefektifkan per 1 Januari 2019, amanat Perpres 82/2018.
Apalagi, saat ini sudah ada online single submission (OSS) yang membuat semua perizinan terintegrasi. "Sudah dibicarakan supaya 2019 tidak kelewat lagi kalau orang daftar harus punya kartu (BPJS Kesehatan), tambah dia.
Bahkan saat ini juga sudah ada beberapa pemerintah daerah yang menyiapkan regulasi untuk memberlakukan ketentuan tersebut. Tapi, lanjut Iqbal, pemerintah tidak langsung mengaktifkan seluruhnya tapi akan ada sosialisasi dahulu ke masyarakat.
Baca: DPT Legislatif dan Pilpres Sumba Barat Naik Menjadi 79.398 Pemilih
Baca: Dana Desa Tahap III Tahun 2018 Senilai Rp 55 M Terancam Hangus, Ini Penyebabnya
Baca: Ujian Hari Kedelapan SKD di Nagekeo, 3 Orang Peserta Capai Passing Grade
Rujukan Online
Sementara itu, BPJS Kesehatan Cabang Kupang mengadakan Pertemuan Kemitraan dan Rujukan Online berbasis Kompetensi.
Kegiatan yang dilaksanakan di Aula Kantor BPJS Kesehatan Cabang Kupang pada Selasa (30/10) ini dihadiri oleh perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Dinas Kesehatan Kota Kupang serta Rumah Sakit se-Kota Kupang.
Dalam sambutannya, Fauzi Lukman Nurdiansyah selaku Kepala BPJS Kesehatan Cabang Kupang menyampaikan bahwa pertemuan ini dimaksudkan untuk mencapai pemahaman bersama terkait sistem rujukan online.
Adapun hal-hal yang dibahas dalam acara ini diantaranya terkait perkembangan dan evaluasi Program Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) selama periode Tahun 2014 sampai dengan Tahun 2018,sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, serta uji coba sistem rujukan online berbasis kompetensi.
Mengenai sistem rujukan online berbasis kompetensi ini, Slamet Rahardja selaku Kepala Rumah SakitAngkatan Laut Samuel J. Moeda Kupangmenyatakan bahwa pihaknya akan selalu mengikuti perintah dari atas termasuk mengenai pelayanan rujukan onlineberbasis kompetensi kepada peserta Program JKN-KIS.
“Kami juga menitip pesan agar dapat menjadi perhatian, utamanya bagi peserta dari anggota TNI dan purnawirawan, agar dapat langsung mengakses faskes milik TNI,” tambahnya.
Menurutnya, untuk di wilayah Kupang sendiri tidak ada kendala, namun di daerah luar masih banyak peserta dari TNI dan purnawirawan yang tidak dapat mengakses faskes TNI sendiri.
Dalam kesempatan yang sama, Yudith M. Kota selaku Direktur Rumah Sakit Kartini Kupang juga menyampaikan bahwa terkait peraturan-peraturan baru yang akan diterbitkan, pihaknyabermaksud untuk membahasketentuan mengenai penetapan kelas rumah sakit.
Aturan ini diantaranyamembahas tentang dokter sub spesialis yang hanya bisa berpraktek di rumah sakit tipe B keatas dan tidak bisa di rumah sakit tipe C dan D.
“Ini dipandang menyulitkan dan merugikan peserta, khususnya di daerah seperti di wilayah Kupang yang hanya memiliki duarumah sakit tipe B dan 9 sisanya adalah rumah sakit tipe C dan D. Akibatnya, peserta di Kupang tidak bisa mendapatkan pelayanan yang sama dengan peserta yang ada di kota-kota besar,” tutur Yudith.
Ia berharap agar pemerintah dapat membedakan daerah yang masih memiliki keterbatasan tenaga dokter spesialis, agar dapat diberikan aturan khusus dan tidak disamakan dengan kota besar.
Diakhir pemaparannya, Fauzi juga mengenalkan sistem Supply Chain Financing (SCF) sebagai stabilitas cash flow rumah sakit.
“SCF ini merupakan program pembiayaan oleh bank atau lembaga keuangan yang menjadi mitra BPJS Kesehatan, yang khusus diberikan kepada fasilitas kesehatan (faskes) provider BPJS Kesehatan,” terang Fauzi.
Selanjutnya ia menambahkan bahwa program ini dimaksudkan untuk membantu percepatan penerimaan piutang atau tagihan klaim pelayanan kesehatan. (kompas.com/pos-kupang.com)