Opini Pos Kupang
Stunting di NTT Tidak Semata Terkait Bahan Pangan. Begini Kenyataannya
Bayi laki-laki baru lahir dengan panjang kurang dari 48 cm dan bayi perempuan kurang dari 45 cm dikategorikan stunting
Oleh: Tarsis Hurmali
Direktur Yayasan Ayo Indonesia di Ruteng, Manggarai
POS-KUPANG.COM - Stunting adalah situasi malnutrisi kronik yang terkait dengan rendahnya asupan gizi sejak dalam kandungan sampai seseorang berusia 2 tahun, terlihat dari ukuran panjang atau tinggi badan yang kurang seibanding usia.
Seorang bayi laki-laki baru lahir dengan panjang kurang dari 48 cm dan bayi perempuan kurang dari 45 cm dikategorikan stunting. Bila tidak ditangani dalam dua tahun pertama kehidupan, efek stunting tidak teratasi lagi. Stunting menurunkan mutu sumber daya manusia.
Bagi NTT, stunting adalah persoalan besar. Prevalensi stunting di NTT tertinggi di Indonesia, yakni sebesar 52% (Riskesdas, 2013). Turun ke tingkat Kabupaten, prevalensi stunting di beberapa daerah amat tinggi, di atas 40%.
Baca: Pemilik Zodiak Ini Butuh Relaksasi Diri, Anda Termasuk?
Baca: 7 Kali Lee Je Hoon Membuat Kita Terbenam dalam Episode 9-12 Drakor “Where Stars Land”
Baca: Tampil di Genie Music Awards, Intip Keseruan Charlie Puth dan Jungkook BTS di Atas Panggung
Menurut WHO, ini sudah sangat berat! Lihatlah di beberapa kabupaten yang mewakili pulau-pulau besar di NTT. Berturut-turut prevalensi stunting di TTS, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai Timur, Manggarai, Manggarai Barat adalah 70.4%, 63.6%, 62.4%, 58.9%, 58.7% dan 55.3% (DKP 2015).
Tingginya angka stunting di tiga kabupaten yang disebut pertama bisa dipahami karena konon sumber daya alam di sana memang kurang. Tetapi sulit dipahami mengapa hal itu juga ada di Kabupaten di Manggarai Raya yang dikenal sebagai sebagai lumbung pangan NTT, terutama di masa lalu.
Baik orang dari daerah lain di NTT, maupun orang Manggarai sendiri heran bahwa prevalensi stunting di tiga kabupaten di Flores Barat itu setinggi mendekati atau bahkan lebih dari 50%.
Bagaimana tidak, karena suburnya, konon di daerah itu `tongkat, kayu dan batu bisa jadi tanaman;ikan dan udang menghampiri' dari tiga sisi laut, barat, utara dan selatan. Nah, itu mengapa?
Stunting bukan persoalan yang semata-mata terkait dengan perkara bahan pangan dalam arti sempit seperti nasi, jagung, ubi, sayur, buah, ikan, daging, telur dan sebagainya.
Jenis pangan, cara olah, cara perolehan dan berbagai hal seputar pangan dipengaruhi oleh cara pandang, kepercayaan, keyakinan, mitos dan pengetahuan tertentu. Stunting itu terkait dengan budaya. Karena itu, perkara stunting itu pada dasarnya perkara budaya juga.
Cara pandang, kepercayaan dan keyakinan, mitos, pengetahuan tertentu baik secara individual maupun komunal akan mempengaruhi prioritas pengalokasian sumber daya yang ada.
Kalau orang percaya upacara kematian harus dibuat meriah agar jiwa orang yang meninggal bisa masuk surga maka bisa jadi, orang atau masyarakat di daerah itu akan mengeluarkan uang untuk pesta sekitar kematian jauh lebih banyak daripada pesta kelahiran.
Kalau di daerah tertentu orang percaya bahwa nenek moyang adalah sumber kesehatan maka mereka tidak terlalu menghiraukan kandungan gizi makanan.
Di Manggarai misalnya, secara tradisi, makanan itu tidak dilihat terutama sebagai asupan gizi bagi tubuh manusia -bahkan kata `gizi' tidak ada padanannya dalam bahasa di wilayah Flores bagian barat itu.
Sama juga halnya di Flores Timur, menjelaskan arti kata `gizi' dengan menggunakan kata spesifik dalam bahasa setempat sulit karena memang kata gizi tidak ada padanannya dalam bahasa setempat. Makanan diartikan sebagai penghilang rasa lapar saja.
Masih banyak orang di daerah kita berpandangan bahwa situasi sehat-sakit itu terkait ketidakberesan relasi dengan Tuhan, nenek moyang, roh-roh penunggu mata air, sesama yang punya kekuatan guna-guna, bukan dari pangan.
Di Manggarai malah ada kepercayaan bahwa jenis sakit tertentu itu disebabkan oleh relasi yang tidak dijaga antara pihak si sakit dan anak rona sa'I (keluarga dari mana nenek atau ibunya berasal).
Pandangan atau kebiasaan budaya seperti itulah yang bisa menjelaskan mengapa sumber daya lebih dipakai untuk hal-hal di luar gizi/kesehatan.
Di NTT orang menyelenggarakan pesta terkait kehidupan/atau kematian dengan biaya yang begitu mahal, sampai bisa berakibat pada pemanfaatan habis tabungan atau bahkan berutang.
Banyak contoh di mana orang bisa menyelenggarakan pesta yang cukup mahal tetapi belum punya fasilitas dasar seperti toilet yang memadai di rumahnya. Di mana ada, toiletnya sangat memprihatinkan, berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Toilet bersih dan aman bukan prioritas dalam budaya orang di daerah kita.
Biasa saja bagi banyak orang mengongkosi pesta nikah bernilai puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah. Untuk kebanyakan keluarga dengan pendapatan pas-pasan, kebiasaan itu bisa berujung pada tidak adanya lagi daya beli untuk pangan bergizi dan perawatan sakit. Termasuk untuk menjamin gizi bagi pengantin wanita/calon ibu yang mungkin sudah atau sebentar lagi hamil.
Di Manggarai ada kebiasaan yang disebut `kumpul kope', yang mirip seperti kegiatan `kumpo kao' Flores Timur, keduanya mengurusi hal lain di luar urusan kesehatan, seperti nikah dan sekolah. Di berbagai daerah di NTT, kasih sayang terhadap sesama baru terlihat jauh lebih besar ketika seseorang meninggal dunia.
Berpuluh tahun lalu, seorang Pastor Belanda, MAW Brouwer pernah menulis orang di Flores lebih mencintai mayat daripada orang hidup. Waktu itu banyak yang tidak senang dengan Brouwer tetapi tidak cukup ditunjukkan apakah beliau total salah.
Menjelaskan bahwa sakit tertentu itu diakibatkan atau diperburuk oleh kekurangan gizi tertentu dalam tubuh masih terasa baru. Masih luas dipraktikkan upaya penyembuhan yang bisa kita katakan bersifat `supranatural'.
Bahwa di NTT sudah meluas pelayanan kesehatan modern tentu saja iya, tetapi tetap saja ada banyak indikasi pasien dibawa ke rumah sakit baru setelah situasinya mulai agak serius."Tiga Terlambat" masih menjadi keluhan pelayan-pelayan kesehatan publik.
Apalagi kalau `tidak-sehat' itu hanya dipandang sesempit sebagai keadaan di mana seseorang harus berbaring-pasif di tempat tidur. Dalam `pandangan' seperti itu, gejala klinis kurang gizi diabaikan.
Saya sering menemukan anak yang warna rambutnya merah pucat tanda kurang gizi di kampung-kampung. Sedihnya, orangtua dan warga di sekitarnya malah mengagumi anak seperti itu karena konon mirip bule.
Sepanjang seorang anak tidak sakit, walaupun tinggi badannya tidak seimbang dengan usia (stunting) masyarakat dan orang tua umumnya menganggap itu biasa saja. Berbagai cara pandang dan praktik budaya di atas menjadi akar dari persoalan stunting kita.
Kalau itu akar soalnya, lalu kita bisa bertanya: apakah upaya menurunkan stunting akan cukup efektif hanya dengan menyediakan makan gizi bagi ibu hamil dan anak baduta?
Bisa saja jawabannya iya, tetapi dengan satu hal penting, yakni bahwa penyediaan makanan yang lebih bergizi itu harus berdasarkan satu upaya ke arah perubahan cara pikir, praktik budaya dan kebiasaan yang mendukung peningkatan kesehatan dasar seperti gizi, atau merevitalisasi praktik budaya tertentu kalau nyata-nyata itu mendukung perbaikan gizi.
Karena keberakarannya di dalam cara pikir dan cara pandang budaya itulah maka perang terhadap stunting tidak boleh disempitkan sebagai urusan perang terhadap kekurangan pangan yang absen gizi saja.
Urusannya harus menukik sampai sekian rupa sehingga mulai banyak orang yang paham bahwa tidak semua pandangan dan praktek budaya yang terwariskan dari nenek moyang mendukung kesehatan/kesejahteraan hidup manusia.
Pemerintah, lembaga non-pemerintah, lembaga pendidikan, media, institusi keagamaan dan adat, organisasi kepemudaan, organisasi rohani dan sebagainya perlu mewacanakan isu stunting sebagai salah satu isu terkait budaya.
Perlu diperbanyak upaya seperti seminar, diskusi, ceramah, diskusi terbuka untuk mendebati praktik-praktik yang secara langsung atau tidak langsung berdampak buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Pemimpin agama bisa membantu, dengan berpatok pada kasih sayang Tuhan yang menghendaki manusia hidup sehat sejahtera, sebagaimana dimaksudkan agama apapun. Lembaga pendidikan perlu sejak awal menyebarkan cara pikir baru bahwa melihat dan menilai budaya bukan sesuatu yang sama dengan sikap `anti-budaya'.
Pendidikan harus menyebarkan informasi bahwa kebudayaan harus dimengerti sebagai strategi yang dikembangkan manusia untuk bisa bertahan, sesuai zaman. Kalau zaman berubah, strategi itu berubah pula.
Tentu saja dampak atau perubahan yang diharapkan tidak bisa terlihat cepat. Akan ada resistensi, akan ada debat. Tetapi kesediaan untuk mendebatkan, mewacanakan, mendiskusikan dengan kritis tidak akan berakhir di ruang kosong. Perubahan cara pandang dan cara pikir adalah hasil dialektika aksi-refleksi berulang, baik dalam tataran individu maupun masyarakat. *