Opini Pos Kupang

Quo Vadis Pendidikan Inklusif di NTT?

Di tengah hiruk-pikuk ini, jalur pendidikan inklusif justru sunyi senyap. Kadang-kadang seperti dipandang tidak penting.

Editor: Dion DB Putra
Ilustrasi 

Oleh Isidorus Lilijawa
Warga Kota Kupang-NTT

POS-KUPANG.COM - Tahun ajaran baru sudah dimulai. Seperti biasa, hiruk-pikuk persoalan klasik menyeruak. Penerimaan siswa baru selalu jadi problem. Ada yang sudah dapat sekolah.

Ada yang sedang mencari. Ada pula yang bingung mau sekolah di mana. Para orangtua masih sibuk mencari keadilan di rumah wakil rakyat. Para wakil rakyat juga bingung mencari solusi. Guru-guru juga galau terhadap desakan para orang tua murid. Ini bukan soal baru. Dari dulu sudah seperti ini. Yang kurang di NTT adalah kita tidak pernah belajar menjadi lebih baik dari pengalaman-pengalaman masa lalu.

Di tengah hiruk-pikuk ini, jalur pendidikan inklusif justru sunyi senyap. Kadang-kadang seperti dipandang tidak penting. Malah sering diabaikan. Padahal, seingat saya, dua tahun lalu, persisnya tanggal 7 Juni 2016, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Inklusif. Lantas, quo vadis pendidikan inklusif di NTT?

Konteks NTT

Konsep pendidikan inklusif lahir untuk memberi solusi adanya perlakuan diskriminatif dalam layanan pendidikan terutama bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Penerapan Pendidikan Inklusif di Indonesia dilatari oleh alasan semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak didiskriminasikan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.

Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya. Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

Di NTT saat ini terdapat 69 SLB, baik SDLB, SMPLB maupun SMALB. Hanya tiga kabupaten yang belum memiliki SLB.

Meskipun sudah terdapat SLB serta sekolah inklusi di daerah-daerah, namun sesungguhnya operasionalisasi institusi-institusi tersebut masih jauh dari harapan. Jumlah sekolah luar biasa dan sekolah inklusi yang masih minim belum sanggup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dari sekitar 10.000 anak dengan disabilitas di NTT (data Dinsos NTT, 2013).

Letak sekolah khusus yang berpusat di ibukota masing-masing daerah juga menyulitkan anak disabilitas di daerah terpencil untuk mengakses pendidikan inklusif. Belum lagi kapasitas pendidik yang belum mumpuni untuk mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus. Praktis para tenaga pendidik ini hanya belajar secara otodidak saja.

Menyikapi permasalahan ini, pemerintah pusat selayaknya mempersiapkan strategi khusus untuk memastikan pendidikan inklusif berjalan dengan baik di NTT. Monitoring anggaran harus ekstra ketat sehingga ruang untuk korupsi mengecil.

Pemerintah pusat kemudian harus bekerja sama dengan pemerintah daerah di NTT untuk lebih memperhatikan kesempatan memperoleh pendidikan yang layak bagi kaum penyandang disabilitas.

Pembekalan sarana-prasarana yang mumpuni di SLB dan sekolah inklusi serta penguatan kemampuan dan skill guru dalam mendidik anak dengan disabilitas harus segera dilakukan demi tercapainya pendidikan inklusif yang berkualitas di NTT.

Problem lainnya dalam kaitan dengan pendidikan inklusif di NTT adalah masih banyak orangtua atau keluarga yang malu kalau anaknya lahir dengan kondisi berkebutuhan khusus. Karena malu maka anak-anak yang berkebutuhan khusus ini dibiarkan di rumah saja dan tidak disekolahkan. Bahkan untuk membawa anak-anak ini ke luar rumah dianggap seperti aib.

Deklarasi NTT sebagai provinsi inklusif meninggalkan banyak kisah. Gubernur NTT saat itu, Frans Leburaya menegaskan sekolah-sekolah umum bisa membuka kelas inklusif sehingga anak-anak dengan keterbatasan fisik dan mental bisa mendapatkan pendidikan seperti anak-anak normal.

Selama ini SLB ada di ibukota kabupaten sehingga anak-anak dengan keterbatasan atau penyandang disabilitas yang ada di desa-desa tidak bisa mendapatkan pendidikan. Tetapi dengan program NTT Provinsi Inklusif, anak-anak penyandang disabilitas bisa berkesempatan sekolah seperti anak-anak umumnya.

Orangtua tidak perlu malu kalau anaknya lahir dengan kondisi fisik kurang sempurna. Karena apa yang terjadi bukan kemauan orang tua. Anak penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus harus mendapatkan pendidikan yang layak dan diberi pelatihan keterampilan agar bisa mandiri di kemudian hari.

Bahkan sang gubernur ini meminta para bupati dan walikota di NTT untuk mendukung pendidikan inklusif dengan menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang.

Launching NTT sebagai provinsi inklusif didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kementerian Pendidian dan Kebudayaan RI menyatakan hambatan yang ada pada anak tidak boleh menyebabkan anak tidak mendapat pelayanan pendidikan yang maksimal.Hambatan bukan halangan.

Dorongan yang kuat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini mesti memacu pemerintah Provinsi NTT, para orang tua dan keluarga untuk memenuhi hak atas pendidikan setiap anak.

Peran Keluarga

Peran orangtua dan keluarga untuk anak berkebutuhan khusus sangat penting. Anak yang dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan emosianal, atau perilaku, hambatan fisik, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, komunikasi, dan anak-anak yang memiliki bakat khusus.

Di zaman sekarang ini, banyak orangtua yang memiliki sedikit waktu untuk keluarga. Hal tersebut justru malah berdampak pada anak-anak yang kurang perhatian, terutama pada anak-anak berkebutuhan khusus.

Keluarga dalam hal ini orang tua adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus. Berbagai penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat ditentukan oleh peran dan dukungan penuh dari keluarga, sebab keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai karakter dalam diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang lain.

Bagi anak berkebutuhan khusus, peran aktif orang tua ini merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan kesehatan dan perkembangannya, baik secara fisik maupun secara psikologis.

Dukungan sosial dimaksudkan sebagai keberadaan dan kesedian orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya untuk membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu ABK agar dapat mandiri. Setiap anak lahir dengan membawa kemampuan di dalam dirinya yang harus dikembangkan secara optimal tak terkecuali pada Anak Berkebutuhan Khusus.

Tidak ada alasan bagi orang tua dan keluarga untuk merasa malu dengan kondisi anak berkebutuhan khusus.

Setiap anak yang lahir ke dunia adalah anugerah Tuhan. Tuhan tidak pernah salah menciptakan ciptaan-Nya. Tuhan memiliki rencana atas semua ciptaan-Nya, termasuk dalam diri anak berkebutuhan khusus.

Merawat, melindungi, mengasuh dan mencintai mereka dengan memenuhi hak atas pendidikan inklusif adalah peran luar biasa yang dapat dilakukan orangtua dan keluarga. Bahkan anak berkebutuhan khusus memiliki talenta yang luar biasa, yang tidak ditemukan pada anak-anak yang lahir nomal.

Melalui pendidikan, talenta dan bakat itu dapat diasah dan dikembangkan lebih baik. Sampai saat ini, pendidikan adalah jalan terbaik menciptakan generasi unggul, jalan terbaik mengubah kehidupan menjadi lebih berkualitas.

Mudah-mudahan syair Khalil Gibran ini dapat memperteguh peran keluarga dalam pendidikan inklusif anak-anak mereka. "Anakmu bukan milikmu / mereka milik Sang Hidup / yang rindu pada dirinya sendiri. Lewat kita mereka ada / namun tidak dari kita. Mereka ada pada kita / tetapi bukan milik kita. Berikan mereka kasih sayang / tetapi jangan sodorkan bentuk pikiran kita." Semoga pendidikan inklusif di NTT dapat berkembang dengan baik dan anak-anak berkebutuhan khusus menikmati haknya atas pendidikan yang layak. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved