Desa Menuju Pembangunan Berkeadilan. Begini Seharusnya
Bahkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di daerah pedesaan mencapai
Oleh: Andrew Donda Munthe
ASN pada BPS Kota Kupang, Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor
POS KUPANG.COM -- Pembangunan daerah pedesaan selama ini belum dilaksanakan secara merata di seluruh penjuru negeri. Akibatnya, masih banyak masyarakat daerah pedesaan yang masih hidup dalam jerat kemiskinan.
Bahkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di daerah pedesaan mencapai 13,47 persen pada periode September 2017. Nilai tersebut hampir dua kali lipat angka persentase penduduk miskin di daerah perkotaan yang mencapai 7,26 persen pada periode yang sama.
Sudah berpuluh tahun negeri ini merdeka dari cengkeraman para penjajah namun masih banyak masyarakat di daerah pedesaan yang masih belum menikmati "kue" pembangunan. Terdapat beberapa permasalahan utama yang terjadi pada pembangunan di wilayah pedesaan.
Pertama, ketersediaan sarana dan prasarana fisik maupun non fisik di desa yang belum memadai. Kedua, pengembangan potensi ekonomi lokal desa yang belum optimal karena keterbatasan masyarakat dalam penggunaan teknologi dan akses permodalan.
Kelemahan tersebut membuat proses produksi, pengolahan, maupun pemasaran hasil-hasil produksi oleh masyarakat desa menjadi tidak optimal. Selain itu, kualitas lingkungan masyarakat desa dari tahun ke tahun semakin memburuk akibat ulah manusia maupun karena dampak buruk perubahan iklim yang terjadi.
Beberapa permasalahan di atas membuat masyarakat pedesaan menjadi semakin tak berdaya karena faktor ekonomi maupun faktor non ekonomi.
Pada akhirnya semua akumulasi permasalahan tersebut membuat tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat pedesaan terus berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Hal inilah yang kemudian mendasari arah kebijakan pembangunan nasional pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama periode 2015 -2019, pembangunan Indonesia difokuskan pada program kebijakan yang disebut dengan Nawacita.
Nawacita berasal dari dua suku kata yaitu nawa yang berarti sembilan dan cita yang berarti harapan, agenda, atau keinginan. Istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta ini secara utuh dapat diartikan sebagai sembilan agenda prioritas pembangunan pemerintah.
Pembangunan menyeluruh yang mencakup berbagai bidang aspek kehidupan bangsa. Dengan Nawacita maka diharapkan visi pembangunan nasional 2015-2019 dapat tercapai. Visi pembangunan tersebut adalah "Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong."
Jalan menuju tercapainya visi tersebut adalah dengan mengimplementasikan Nawacita dalam setiap sendi pembangunan di Indonesia.
Dari sembilan agenda pembangunan prioritas dalam Nawacita, salah satu butirnya (butir ketiga) menyatakan pentingnya pembangunan pedesaan. Butir ketiga dari Nawacita yaitu, "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan."
Dukungan untuk membangun wilayah dan masyarakat pedesaan dialokasikan melalui dana desa. Anggaran dana desa yang dikucurkan setiap tahunnya pun terus mengalami peningkatan.
Dana desa tahun 2015 sebesar Rp 20,67 triliun mengalami peningkatan menjadi Rp 46,98 triliun pada tahun 2016. Sedangkan pada tahun lalu, dana desa telah mencapai nilai yang lebih fantanstis lagi yaitu mencapai Rp 60 triliun.
Dana desa yang tergolong sangat besar tersebut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan masyarakat. Selain untuk menunjang aktivitas ekonomi, dana desa juga dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa.
Contohnya saja untuk penyediaan sarana air bersih, penyediaan sarana Mandi Cuci Kakus (MCK), pembangunan posyandu, pembangunan Pondok Bersalin Desa (Polindes), maupun untuk membangun sarana Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Akan tetapi, semua implementasi kebijakan dana desa akan menjadi mubazir, tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran jika tidak direncanakan secara matang. Perencanaan yang didukung dengan data statistik akurat adalah kunci utama agar pembangunan di desa menjadi efektif dan efisien.
Pendataan Potensi Desa
Sejak tahun 1980, BPS telah melakukan pendataan untuk mengetahui potensi dari wilayah pedesaan yang ada di Indonesia. Sejak saat itu, Pendataan Potensi Desa (Podes) secara rutin dilaksanakan. Kegiatan Podes diselenggarakan dua tahun sebelum pelaksanaan siklus sensus 10 tahunan.
Pada tahun berakhiran `1', Podes dilaksanakan untuk mendukung Sensus Pertanian dan pada tahun berakhiran `4' dilaksanakan untuk mendukung Sensus Ekonomi. Sedangkan pada tahun berakhiran `8', Podes dilaksanakan untuk mendukung Sensus Penduduk yaitu untuk identifikasi wilayah pemukiman baru.
Terdapat beberapa tujuan utama yang ingin dicapai melalui kegiatan pendataan Podes. Tujuan pertama yang ingin dicapai adalah pendataan akan dapat menggambarkan potensi desa/kelurahan yang mencakup data-data sosial, ekonomi, sarana, dan prasarana wilayah.
Dengan data-data tersebut maka karakteristik infrastruktur yang ada di seluruh wilayah dapat tergambarkan dengan jelas. Hal ini penting bagi pemerintah pusat untuk dapat merumuskan kebijakan pembangunan khususnya dalam rangka mengimplementasikan Nawacita butir ketiga.
Selain itu, data Podes akan digunakan untuk membentuk Indeks Kesulitan Geografis (IKG) dan Indeks Pembangunan Desa (IPD). IKG merupakan salah satu komponen dalam mengalokasikan besaran dana desa.
Sedangkan IPD berperan dalam memantau perkembangan yang terjadi pada wilayah desa. IPD membagi seluruh desa di Indonesia menjadi tiga kategori yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal.
Tahun ini pelaksanaan podes kembali digelar pada tanggal 2-31 Mei 2018. Kepala BPS, Dr. Suhariyanto, menyatakan bahwa data podes yang berkualitas hanya dapat diperoleh melalui kerjasama dan dukungan berbagai pihak terkait. Hal ini disampaikan dalam acara Sosialisasi Pelaksanaan Pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 di Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Eko Putro Sandjojo, yang juga menghadiri acara sosialisasi Podes 2018 menyatakan betapa pentingnya hasil pendataan potensi desa dalam pembangunan Indonesia.
"Data Podes menjadi sangat krusial untuk mengevaluasi apakah program pemerintah tepat sasaran atau tidak, termasuk program pengentasan kemiskinan di desa," ujarnya pada acara tersebut.
Menuju Desa Mandiri
Program kebijakan pemerintah melalui pengucuran anggaran dana desa bertujuan agar seluruh desa di wilayah Indonesia pada akhirnya menjadi desa mandiri. Untuk mencapai tujuan itu, semua elemen masyarakat dan pemerintah perlu berkolaborasi untuk mengoptimalkan semua potensi desa yang karakteristiknya berbeda antar wilayah.
Dana desa tersebut perlu direncanakan penggunaannya secara matang. Penyalurannya pun harus mampu dilaksanakan secara transparan. Pengawasan penggunaannya juga perlu dilakukan secara ketat untuk menghindari penyalahgunaan anggaran. Selain itu perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar setiap kendala yang dihadapi dalam penggunaan dana desa dapat segera teratasi.
Ketersediaan data statistik akurat, penggunaan teknologi, pendanaan, dukungan pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif masyarakat merupakan kombinasi ideal menuju kemandirian desa.
Apabila status kemandirian desa mampu dicapai maka tingkat kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat. Dengan demikian maka sila kelima Pancasila akan mampu terwujud di bumi pertiwi yaitu "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." *