Antara Vino Bianco dan Tuak Putih
Kedua, tatap muka dan diskusi dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran pada
Setiap kali bicara tentang kemiskinan dalam sebuah ruang politik negara, Amartya Zen, tidak pernah lelah menegaskan bahwa kelaparan (baca kemiskinan) terjadi bukan karena kurangnya makanan tetapi karena kurangnya demokrasi.
Karena demokrasi dalam pengertian yang paling umum mulai dari proses perumusan aspirasi rakyat, pembentukan pemerintahan sampai pada proses menjalankan pemerintahan atas dasar semangat kedaulatan rakyat, adalah jawaban yang menjelaskan sejauh mana kesejahteraan masyarakat diurus.
Sehingga persoalan kemiskinan, termasuk kemiskinan di NTT ada dalam wilayah tanggungjawab konstitusional politik negara.
Sangat tidak cukup menyatakan bahwa NTT atau salah satu daerah di Indonesia itu miskin. Tapi harus ditanyakan sejauh mana negara menjalankan urusan-urusan kesejahteraan umum seluruh warganya.
Dalam konteks ini menarik, menyimak percakapan kedua dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran, Eko Putro Sandjojo baru-baru ini di KBRI Italia dan Malta.
Dalam pertemuan itu, ia menggambarkan secara optimistis sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk mengentaskan desa-desa Indonesia dari kemiskinan.
Dalam hitungan saya nama provinsi NTT disebut lebih dari sepuluh kali. Dua hal jelas terlihat. Di satu sisi kondisi dan masalah kemiskinan di NTT menjadi contoh yang konkrit. Kedua, tampak bahwa pemerintah pusat sangat serius "mengurus" NTT.
Beberapa contoh konkrit diberikan, antara lain pembangunan tujuh bendungan di NTT untuk melayani kebutuhan masyarakat akan air baku untuk pertanian, peternakan dan kehidupan sehari-hari. Semangatnya memang konkrit. Asumsinya dengan begitu akan tercipta peluang lapangan kerja baru di desa, sehingga orang desa tidak perlu lagi ke kota.
Pemulihan Kepercayaan Diri Desa
Kemiskinan desa-desa di NTT tidak terlepas dari fakta akut, kebijakan pembangunan yang sentralistik. Desa hanyalah sisa dari kota. Lalu secara kultural orang desa pun terhegemoni dengan stigma stigma minor; bodoh, kampungan, terbelakang, miskin, bermasalah dan lain-lain.
Diperparah oleh propaganda budaya konsumerisme yang tumbuh liar dan bebas melalui media massa dan medsos, desa akhirnya ditinggalkan. Orang-orang pergi ke kota. Tidak ada kebanggaan untuk tinggal di desa.
Akibatnya sebagai contoh, di desa-desa di NTT, angkatan kerja produktifnya bisa dihitung dengan jari dan cuma sedikit yang mau turun ke ladang. Harga diri dan kepercayaan diri desa sebagai satu komunitas, yang dibutuhkan sebagai kekuatan kreatif untuk bertahan dan survive, perlahan tergerus.
Hal ini membuat saya teringat percakapan ketiga dengan satu keluarga petani di sebuah desa di wilayah Lazio, pinggiran Kota Roma. Beberapa hari lalu kami dijamu di rumahnya dengan minuman anggur putih (Vino bianco) produk petani di desa itu.
Sudah umum diketahui bahwa sejumlah minuman yang dijual di toko-toko minuman seluruh dunia, terbanyak adalah minuman orang-orang desa di Eropa dan Amerika yang kemudian diolah secara profesional menjadi minuman berstandar internasional.
Hal ini memberi pada mereka kepercayaan diri yang membuat mereka sanggup mengenal kekuatan-kekuatan dalam diri mereka yang bisa dikembangkan. Kreativitas tetap tumbuh dari desa. Sejumlah anak muda masih mau pulang ke desa.