Dari Black Board ke White Board, Masih tentang Pendidikan di NTT
Lalu mereka membalikkan papan tulis tersebut. Bagian depan yang sudah penuh tulisan bapak ibu guru yang menggunakan
Oleh: Willem B Berybe
Mantan guru, tinggal di Kolhua Kupang
POS KUPANG.COM -- Dua murid maju ke depan kelas yang masih berlantai tanah. Masing-masing berdiri di sisi kiri dan kanan papan tulis.
Lalu mereka membalikkan papan tulis tersebut. Bagian depan yang sudah penuh tulisan bapak ibu guru yang menggunakan kapur tulis ditukar dengan bagian belakang.
Pekerjaan ini rutin dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung. Ini bukan sebuah fiksi tapi benar terjadi sebagaimana penulis alami di sekolah rakyat (SR) alias SD dulu.
Anda tahu, papan tulis berwarna hitam (black board) tersandar pada tiga tumpuan kaki yang terbuat dari bambu. Ketiganya tersimpul pada satu titik di ujung atas. Dua kaki depan berdiri sejajar di depan dan satunya ke belakang sebagi penopang.
Pada dua kaki depan bagian tengah, terdapat dua lubang tempat pasak-pasak kecil ditancapkan guna menahan lembaran papan tulis sehingga bisa tersandar. Dengan demikian, papan tulis hitam ini dapat direndahkan atau ditinggikan.
Alat tulis yang digunakan ialah kapur tulis putih yang membuat telapak tangan bapak ibu guru belepotan limbah debunya usai mengajar.
Kini papan tulis hitam itu sudah lenyap. Ruang-ruang kelas diisi papan tulis putih, licin, mulus (white board) terbuat dari triplek (plywood). Kesan elit dan modern sangat menonjol. Alat tulis yang digunakan spidol khusus, board marker, bermerek snowman harus diisi dengan tinta spesial.
Lantas, adakah perbedaan hasil akhir sebuah proses pembelajaran dengan media black board dan white board?
Generasi tua abad ini rata-rata berangkat dari ruang kelas dengan fasilitas black board. Mereka hebat, dengan kondisi dan sarana belajar seperti itu, mampu berprestasi dalam hal belajar.
Konteks pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) tak lepas dari efek papan tulis hitam. Mutu pendidikan paralel dengan mutu sekolah, mutu siswa/guru dan mutu lulusan (out put). Di sekolah, seluruh proses pendidikan dan pembelajaran formal itu berlangsung. Sejak awal berdirinya Provinsi NTT hingga sekarang, mutu pendidikan tak pernah beringsut dari posisi terbelakang dalam skala nasional. Perubahan kenaikan mutu yang signifikan belum pernah terjadi.
Apakah memang anak-anak NTT otaknya `beku'? Bukankah anak NTT juga mampu mencapai rekor doktor termuda (24 tahun) di Indonesia pada tahun 2017?
Indikator rendahnya mutu pendidikan dengan instrumen UN pernah disinggung dalam opini yang menunjukkan posisi NTT pada urutan ketiga dari bawah (Watu Yohanes Vianey, opini Pos Kupang, 2/11/2017).
***
POLITIK pendidikan nasional kita hingga saat ini masih berkutat pada aspek pemerataan (secara fisik) yaitu pembukaan sekolah-sekolah baru sebanyak mungkin hingga ke pelosok-pelosok.
Ambisi untuk mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan akibat banyaknya anak tidak sekolah atau putus sekolah (drop out) membuat pemerintah pusat (nasional) memberlakukan program wajib belajar enam tahun (wajar 6 tahun) untuk tingkat SD.
Tujuannya, semua anak usia sekolah di negeri ini wajib sekolah (belajar) minimal tamat SD. Kemudian ditingkatkan ke level wajar 9 tahun dengan sasaran semua anak SD yang sudah tamat wajib mengenyam pendidikan sampai tamat SMP.
Kebijakan wajar ini cukup berpengaruh terhadap pola pikir (mind set) kalangan pendidik dan masyarakat umum sebagai upaya mengejar target nasional. Persoalan kualitas/mutu anak didik kurang ditekankan.
Untuk melihat profil mutu pendidikan di NTT secara nasional, kita merujuk pada hasil evaluasi ujian akhir nasional (UN) sebagai pembanding. Pencapaian rata-rata nilai per provinsi adalah indikator yang digunakan pusat.
Kita ambil profil hasil UN SMA di NTT tahun pelajaran 2016/2017 sebagaimana diberitakan Pos Kupang, 13 Mei 2017 (hal.3). Dari data Dinas PPO Provinsi NTT, diketahui perolehan nilai rata-rata UN provinsi versi UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) dan UNPK (Ujian Nasional Pensil Kertas) berbeda (Lihat tabel).
Jurusan UNBK UNPK
IPA 47,90 40,85
IPS 46,92 40,94
Bahasa 51,13 45,34
Dari data ini dapat dihitung nilai rata-rata UN provinsi yaitu 44,37 untuk IPA, 43,93 untuk IPS, dan 48,23 untuk Bahasa.
Jika nilai rata-rata UN provinsi kita konversikan dari nilai skala 100 ke skala 4 dengan predikat huruf sebagaimana ditentukan dalam pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan siswa SMA (Permendikbud No.104 Tahun 2014, pasal 7 ayat 3) maka posisi ketiga jurusan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Jurusan Nilai skala 100 Nilai skala 4 Predikat huruf
IPA 44,37 1,76 (1,51-1,84) C-
IPS 43,93 1,72 (1,51-1,84) C-
Bahasa 48,23 1,92 (1,85-2,17) C
Nilai rata-rata UN provinsi yang disajikan di sini tidak dimaksudkan untuk mempertontonkan sebuah sisi negatif tetapi sebagai umpan balik (feed back), apa yang harus dilakukan ke depan.
Evaluasi dan kriteria kemajuan pembangunan nasional di bidang apapun semuanya menggunakan parameter pencapaian masing-masing provinsi.
Untuk level provinsi maka pencapaian oleh setiap kabupaten dan kota akan dianalisa berapa persen yang pencapaian indeks akademik UN berada di atas garis passing grade yaitu standar nilai UN yang dicapai peserta didik.
Kalau ada 34 provinsi di Indonesia maka masing-masing provinsi sesungguhnya berkompetisi dalam hal mengejar mutu dan prestasi belajar siswa secara makro -komprehensif.
***
DALAM rangka memperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas) 2018, mungkin hal-hal berikut dapat dijadikan bahan pemikiran tentang pendidikan di NTT. 1) Rasionalisasi jumlah rombongan belajar yang beragam pada tiap sekolah perlu ditegakkan.
Bayangkan jika jurusan IPA bisa sampai empat atau lebih rombel (rombongan belajar) dengan jumlah siswa rata-rata 40 orang per kelas.
Benarkah semua siswa yang lolos masuk jurusan IPA dengan 4 mata pelajaran jurusan (Matematika, Fisika, Biologi, Kimia) memiliki kemampuan standar IPA yang tercermin dalam angka (nilai) hasil belajarnya?
2) Proses kenaikan kelas. Yang berhak naik kelas adalah siswa/i yang telah memenuhi syarat kurikulum secara murni dan obyektif. Kejujuran akademik, bukan target jumlah siswa yang banyak atau penilaian hasil belajar siswa atas dasar belas kasih. 3) Faktor guru yang kompeten, punya kompetensi di bidang mata pelajaran yang diajar.
Bertanggung jawab dan mampu melaksanakan tugas mengajar. Menguasai isi dan materi kurikulum (silabus nasional) serta memiliki buku-buku sumber mata pelajaran berstandar.
4) Pemda provinsi (gubernur) harus berani mengambil keputusan politik pendidikan untuk menegakkan mutu pendidikan (mutu sekolah/siswa/lulusan) di NTT.
Secara praktis dapat diformulasikan, siswa yang duduk di kelas IV (SD), VII (SMP) dan X (SMA) pada tahun pelajaran 2018/2019 hendaknya sudah dipersiapkan dan diproyeksikan menuju UN yang berkualitas di tahun 2020/2021 dengan merujuk pada butir-butir yang dikemukakan di atas tanpa mengabaikan aspek-aspek lain.
Pekerjaan menaikkan mutu pendidikan/lulusan di daerah ini memang tidak gampang. Ibarat sebuah batu besar yang menghadang di tengah jalan.
Ia tak akan tergeser sedikit pun kalau tidak ada yang berani mengambil sikap dan bertindak meminggirkan atau menggulingkannya. "Butuh kerja keras dan kerja cerdas", begitu kata-kata kampanye yang inspiratif. Selamat merayakan Hardiknas 2018!*