Pilgub NTT dan Dua Batu Kubur Sosial Budaya, Apa Maksudnya?
Pertama, batu restorasi budaya lokal. Cukup banyak kearifan budaya lokal telah mati dan karenanya sekadar sebagai
Dua Batu Sosial Budaya
Akhir tahun lalu, kami dari LPPM Unwira yang bekerja sama Pemda Lembata, antara lain menawarkan 5 nota konsep sosial budaya untuk bangun Lembata. Namun dalam rumusan populer di media ini saya hanya menawarkan dua dari kelima nota konsepnya.
Pertama, batu restorasi budaya lokal. Cukup banyak kearifan budaya lokal telah mati dan karenanya sekadar sebagai tacid knowledge -pengetahuan yang tak terungkap dalam bingkai kesadaran subsidier (Watu 2008).
Isu ini juga banyak diutarakan kaum cendekiawan yang sadar bencana budaya. Karena itu kita wajib membangkitkannya kembali melalui minimal upaya restorasi.
Sebisanya kearifan itu dapat menjadi kesadaran fokal para generasi muda dan dapat menjadi landasan pembangunan dengan kesepakatan misioner dalam terang penetapan karakteristik masyarakat yang bertumpu pada idealisme "manusia yang baik" (Lamaholot `ata diken').
Dalam bahasa budaya Ngada disebut manusia sebagai `kita atta'. NTT adalah kita yang adalah `ja'o" -aku dan `kau' -engkau; sebagai `atta', yaitu pasangan persona atau pribadi-pribadi yang ada bersama dan sederajat, untuk saling melayani dan menyempurnakan keindahannya, sebagai saudara dan sahabat.
Maka dalam rancang bangun pembangunan sadar kebencanaan di semua wilayah kabupaten kota di NTT, kiranya terarah pada perwujudan kemanusiaan yang baik itu, yang dalam rumus ideologi Pancasila disebut manusia yang berperi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bencana kemanusiaan terjadi jika ada krisis kesadaran tentang "ata diken / kita atta" berbasis budaya sendiri. Bencana budaya terjadi juga jika generasi tua muda di NTT itu `tidak tahu adat' lagi.
Untuk itu berbagai bentuk kearifan lokal, seperti kode etik lokal yang memperlihatkan gambaran kesejatian pribadi kolektif yang baik itu, perlu direstorasi dan dijadikan modal sekaligus model pendekatan pembangunan yang adil dan beradab.
Dalam tuturan tradisional Ngada restorasi budaya lokal itu terkait dengan panggilan luhur untuk generasi jaman now: we tuku toko nunga ura, tuku mumu nunga lema (`menyambung tulang menyempurnakan urat, menyambung bahasa menyempurnakan lidah). Itulah infrastruktur dan superstrukur peradaban dan Anda yang melakukannya sebagai pemimpin, baru pantas disebut "tokoh".
Kedua, batu kubur kepedulian sosial dan kesetiakawanan sosial. NTT adalah provinsi kebencanaan dengan hadirnya fakta kemiskinan. Karena itulah ada warga kena busung lapar dan mudah tertipu rayuan para mafia perdagangan manusia. Jika kesadaran untuk peduli dan setia kawan ini sudah mati dan ditutup dengan batu kubur yang padat, maka batu bencana ini perlu digulingkan.
Kita harus terus membangkitkan nilai kepedulian sosial dan kesetiakawanan sosial di Flobamorata ini. Batu kuburnya harus digulingkan.
Saya percaya, dalam wilayah tacid knowledge kesadaran kemanusiaan ini ada dan tertuang dalam petuah-petuah adat, ajaran-ajaran Gereja dan Negara untuk mewujudkan secara inovatif, karakter kepedulian sosial dan kesetiakawanan sosial.
Di Ngada misalnya ada amanat adat : Waga mogha ne'e padhi loka, ngeta bhaghi ngia mami utu mogo (`Ambil dan berbagi dengan tetangga, masih mentah milik sendiri sudah masak milik bersama').
Sebagai 100 % warga Adat, 100 % warga Gereja, dan 100 % warga Negara, ajaran, perayaan, praktik nilai kepedulian dan kesetia kawanan sosial walaupun mati berkali-kali, sepantasnya harus dihidupkan terus-menerus.