Pilgub NTT dan Dua Batu Kubur Sosial Budaya, Apa Maksudnya?
Pertama, batu restorasi budaya lokal. Cukup banyak kearifan budaya lokal telah mati dan karenanya sekadar sebagai
Oleh: Dr. Watu Yohanes Vianey, M.Hum
Kepala LPPM Unwira Kupang
POS KUPANG.COM - Batu dalam tulisan ini terkait dengan misteri `batu kuburan' yang dalam konteks kebangkitan Kristus ia terguling sendiri karena ada kuasa kebangkitan sorgawi.
Maria Magdalena dan kawan-kawan tidak perlu kerja sama untuk menggesernya, supaya dapat merempah-rempahi jenazah Yesus. Yesus sudah bangkit. Namun analogia entis dari `batu' dalam tulisan ini terkait dengan `berat dan padatnya' dua problem sosial budaya' yang perlu diatasi dengan keberanian dan kerja sama secara disiplin untuk mengatasi berapa fenomena praktik baik sosial budaya yang `mati' dan dikuburkan.
Untuk itu perlu didentifikasi dua jenis batu kubur sosial budayanya dan bagaimana strategi menggulingkannya. Apakah kita harus menunggu anugerah kuasa kebangkitan atau justru bersamaan dengan kuasa kebangkitanNya kita proaktif mengatasinya secara kultural?
Strategi kebudayaan itu berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan ditangani supaya tercapai kebaikan bersama dalam hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode eavaluasinya.
Tulisan ini hanya mencubit sedikit hal yang terkait isu strategis dari kebudayaan yaitu semacam "batu sosial budaya' yang dikaitkan Pilgub yang beradab dalam terang tekad membangkitkan daya jiwa ke arah yang lebih baik di NTT.
Berhubung kebudayaan juga menyangkut cara kita berpikir, merasa, berkehendak dan bertindak, maka pembangunan kultural kiranya tetap terarah ke semangat reformasi, performasi, dan transformasi budaya yang masuk akal.
Hal mana dapat diwujudkan jika kita sungguh memberi perhatian yang tulus dan tuntas pada peta mental dan bingkai tindakan tersebut, dengan mulai menempatkan kembali atau restorasi arti dan pengertian kebudayaan sampai ke tataran praktik hidup sehari-hari. Tentu dalam terang kebudayaan sebagai struktur super.
Kebudayaan sebagai struktur super itu memiliki minimal 9 unsur sistemiknya, mulai dari bahasa, pengetahuan, orgaisasi sosial, mata pencaharian, teknologi, kesenian, religi, kuliner, dan olahraga.
Untuk kasus NTT yang sadar bahaya batu kebencanaan, baik bencana alam/natural dan bencana kemanusiaan/kultural seperti perdagangan manusia yang tertenun dengan estetika wajah kemiskinan yang jelek dan bencana SDM yang cenderung dungu dan karenanya gampang tertipu, kiranya dapat menjadi langkah keprihatinan dan daya dongkrak kebangkitan pembangunan.
Dengan demikian agenda pembangunan kebudayaan yang paling kontekstual hic et nunc adalah berani dan disiplin menghidupi local genius dari 9 unsur kebudayaan secara arif dan adil. Perwujudannya bukan sekadar kebudayaan sebagai "kata benda", tetapi juga "kata kerja" dan "kata sifat".
Juga tidak "tertoa" pada kebiasaan jelek pengembangannya, yang hanya pada unsur seni budaya (hanya seni bahasa dan seni tari). Mudah-mudahan kaum `pakar-pakaran' sosial budaya di sekitar rezim penguasa selama ini, bisa mengakhiri hidupnya seperti Yudas Iskariot.
Dan dalam konteks ini, rasanya perlu disirami pupuk pengetahuan terkait akar jati diri kita melalui pemuliaan produk, praktik, dan nilai budaya lokal kita di Flobamorata. Rugi, misalnya jika pakaian adat Flobamorata yang sudah menjadi merek peradaban yang etnoscape, tergoda dan cenderung bergeser ke sumber nilai yang finanscape (Watu 2016).
Cenderung diredusir sekadar komoditi agar mendapatkan uang dan dijadikan celana umpan untuk pesiar di pantai Lasiana. Berbagai kuman diamika mental (logos -ethos -pathos) yang ultranegatif dan bodoh, yang berpotensi dan aktual "mematikan" kemanusiaaan perlu digulingkan.
Terus terang selama ini saya merasa aneh ketika para pria Flobamorata, terutama sebagian pakar budaya, pejabat negara dan akademisi memakai jas dari jenis tenun ikat, yang dalam logos tradisi kearifan lokal, motif tenun ikat itu eviden untuk perempuan. Apakah para lelaki penikmat pakaian bermotif milik perempuan NTT sudah menjadi transgender?