Tim 11 Ulama Alumni 212 Gelar Pertemuan Tertutup dengan Presiden Jokowi, Ini yang Mereka Bahas
Sekretaris Tim 11 Ulama Alumni 212 Muhammad Al Khathath menegaskan, pertemuan itu murni hanya membahas persoalan kriminalisasi ulama.
POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Tim 11 Ulama Alumni 212 membantah pertemuan tertutup dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Minggu (22/4/2018), membahas persoalan dukungan politik.
Sekretaris Tim 11 Ulama Alumni 212 Muhammad Al Khathath menegaskan, pertemuan itu murni hanya membahas persoalan kriminalisasi ulama dan aktivis alumni 212.
"Kita Tim 11 tidak berpikir calon-mencalonkan dalam Pileg, Pilkada dan Pilpres. Presiden meminta apa yang harus dilakukan, karena mendapatkan informasi sepihak, tidak dari kedua belah pihak," ujar dia dalam konferensi pers di Restoran Larazeta, Rabu (25/4/2018), sebagaimana dilaporkan Kompas.com.
Baca: Presiden Serahkan Sertifikat HKI Kopi Arabica Flores Manggarai
Menurut dia, pertemuan itu membuat Presiden Joko Widodo bisa mendapatkan data akurat terkait adanya kriminalisasi ulama oleh aparat hukum.
"Jadi kriminalisasi itu bukan wacana tapi fakta. Kita tidak tahu apakah itu kebijakan Presiden atau aparat, tapi kan yang punya kebijakan menghentikan itu Presiden," kata dia.
Khathath juga sempat menyinggung kasus dirinya kepada Presiden. Menurut dia, Presiden sempat menanyakan kebenaran barang bukti uang Rp 18 juta yang akan digunakan untuk melakukan makar dalam aksi 313 tahun 2017 silam.
"Ditanya Pak Presiden 'itu uang apa Pak Khathath?', 'Itu uang makan bukan uang makar', uang makar enggak mungkin Rp 18 juta. Jadi saya sampaikan keliru hurufnya, bukan uang makar tapi uang makan. Untuk makan demonstran, karena waktu itu 313 adalah demo kepada Presiden agar mencopot Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta," kata dia.
Baca: Saat Berkunjung ke TTU, Pangdam IX Udayana Sampaikan Pesan Ini Kepada Ibu-ibu Persit
Dengan demikian, ia menilai kesalahpahaman tersebut membuat dirinya harus diproses oleh aparat hukum atas tuduhan makar. Sehingga, Presiden diharapkan perlu memahami permasalahan kriminalisasi ulama dan aktivis 212 dari berbagai perspektif.
Di sisi lain, Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama, Yusuf Martak merasa ada ketidakadilan aparat hukum dalam melakukan proses hukum terhadap ulama dan aktivis 212.
Menurut dia, proses hukum terhadap ulama dan aktivis 212 terkesan tidak jelas dan tak terselesaikan dengan baik.
"Sedangkan laporan yang dibuat oleh para ulama tentang penistaan terhadap para ulama, para habib, bahkan kitab suci umat Islam, rasul umat Islam dan Tuhan pun, dihinakan. Tidak ada satupun yang mendapatkan satu proses akurat," katanya.
Sehingga situasi itu menjadi bagian dari aspirasi yang disampaikan kepada Presiden Jokowi dalam pertemuan tertutup.
Di sisi lain, Ketua Persaudaraan Muslimin Indonesia Usamah Hisyam menjelaskan, pertemuan ini dinilai penting untuk menanggulangi miskomunikasi antara ulama dan aktivis 212 dengan Presiden Jokowi.
