Diskursus Elektoral dan "Passion" Cendekiawan
Dikatakan demikian, karena persoalan-persoalan esensial seringkali ditematisasikan seturut selera nalar pragmatis
Di sinilah urgensi "passion" cendekiawan. Kelompok cendekiawan mesti mendesain konstruksi akademik yang memberi ruang bagi berkembangbiaknya nalar berpikir rakyat. Mereka harus menyiapkan narasi yang memiliki landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Rakyat mesti dibantu untuk mengkritisi agenda politik dan tidak hanya digiring untuk melibatkan diri dalam isu-isu nirsubstansial. Dengan demikian, rakyat terhindar proyek kapitalisasi yang "ditender" seturut selera politik parsial.
Rakyat mesti tahu bahwa demokrasi elektoral bukanlah ajang untuk mengejar kekuasaaan. Mengikuti Thomas Aquinas (dalam Magnis-Suseno, 1988), para politikus tidak boleh terjebak dalam cara berpikir despotik yang mengejar kekuasan saja, tetapi pemerintahan politik sah yang sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk bebas.
Itu berarti kekuasaan yang dikejar bukanlah kuasa hegemonik eksklusif-elitis nan kapitalis, melainkan kekuasaan yang digunakan sebagai daya untuk mengeluarkan rakyat dari ketidakadilan. Adalah tanggung jawab cendikiawan untuk membuka public discourse yang berkualitas.
Problem sosial seperti populisme, human trafficking, kemiskinan, pengangguran,
pendidikan, kekuranga lapangan kerja, radikalisme, hoaks, korupsi, denalarisasi, politik identitas, ancaman disintegrasi, ekonomi, infrastruktur, gizi buruk, persoalan hukum dan narkoba mesti menjadi primat lalu diinventarisasi dan ditematisassi.
Cendekiawan harus mengajak rakyat untuk menggali lebih jauh apakah program setiap calon pemimpin memang benar-benar untuk kepentingan bersama ataukah hanya untuk memenuhi hasrat parsial. Di sini, Pancasilalah yang menjadi landasan dalam praksis berpolitik mereka. Artinya referensi doktrin berpolitik serta rujukan program pembangunan harus menjabarkan cita-cita kebangsaan sebagaimana terdapat dalam Pancasila.
Program pembangunan elite politik mesti menjabarkan hakikat serentak berkarakter Pancasila. Pancasila tidak boleh didekonstruksi untuk mendukung kepentingan politik jangka pendek. Itulah yang harus menjadi landscape dan menjadi power point untuk dipresentasikan dalam diskursus politik.
Cendekiawan mesti membentengi rakyat dari jebakan instrumentalitatif. Kata Edward W. Said: "dosa paling besar cendekiawan adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya".
Cendekiawan mesti mencegah denalariasi yang semakin masif lagi ekspansif. Mereka harus selalu berani menginterupsi tendensi frame politik parsial dengan menyediakan narasi-narasi akademik, empirik dan rasional. Cendekiawan tidak boleh terkooptasi lantas mendegradasi diskursus elektoral pada tataran abal-abal.
Mereka mesti mengadvokasi hak politik dan mengagregasi harapan rakyat yang acapkali absen dari agenda para elite. Mengikuti Nancy Fraser (1992) kelompok akademik harus membantu kelompok-kelompok marginal agar dapat mengembangkan "perilaku politik dan norma ujaran publik alternatif ", jauh dari pengaruh hegemonik dan kepentingan-kepentingan dominan. Itulah cara cendekiawan membentengi rakyat dari kontaminasi politik pragmatik.
Antonio Gramsci (1987) mengatakan: semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua manusia dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual. Di sini, cendekiawanlah yang bisa menjalankan peran intelektual yang termanifestasi dalam sensibilitas sosial. Salah satunya adalah tidak membiarkan rakyat diacak-acak demi kepentingan politik.
Cendekiawan mesti membantu rakyat dengan mengonstruksi diskursus elektoral yang lebih esensial. Alangkah tidak elok jika mereka melegitimasi diskursus elektoral yang hanya memperkuat paradigma elitis, kental dengan kalkulasi politik pragmatis.
Cendekiawan harus mengembalikan pentas elektoral sebagai "milik" rakyat.
Paradigma kerakyatanlah yang harus mewarnai setiap diskursus elektoral. Orientasinya adalah liberalisasi rakyat. Cendekiawan tidak boleh membiarkan rakyat menjadi korban hegemoni elitis.
Di tengah semakin menguatnya paradigma pragmatik yang politis kapitalis, "passion" cendekiawan adalah memproduksi diskursus rasional yang merupakan manifestasi dari cita-cita dan harapan rakyat.
Mereka mesti tetap menjadi kelompok independen, yang menginventarisasi problem kebangsaan lalu dianalisis secara akademik, ditematisasi dalam diskursus kemudian terkristasilasi dalam sejumlah pemikiran solutif bagi kemajuan bangsa.*