Diskursus Elektoral dan "Passion" Cendekiawan

Dikatakan demikian, karena persoalan-persoalan esensial seringkali ditematisasikan seturut selera nalar pragmatis

Editor: Dion DB Putra
Net
Ilustrasi 

Oleh: Inosentius Mansur
Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret, Maumere, NTT

POS KUPANG.COM - Deesensialisasi diskursus ruang publik menjelang pentas elektoral semakin tak terbendung.

Dikatakan demikian, karena persoalan-persoalan esensial seringkali ditematisasikan seturut selera nalar pragmatis. Akibatnya isu-isu substansial yang menjadi pokok-pokok penting tidak dikemas dan dielaborasi secara serius.

Selain itu, kajian-kajian akademik berlandaskan persoalan-persoalan krusial baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional acapkali terabaikan. Para elite politik hanya "menggunakan" rakyat untuk memperkokoh legitimasi publik agar mendapatkan keuntungan politik.

Tanpa disadari, rakyat terkapitalisasi dalam mega proyek bernama demokrasi elektoral. Pentas politik elektoral pun direduksi ke dalam agenda elektabilitas semata.

Benarlah tesis Andrew Heywood (2004) bahwa semua politik itu mengenai
kekuasaan. Faktanya, politik memang seringkali dikapitalisasi oleh segelintir elite dan digunakan untuk memperkuat kedudukannya. Para elite politik tidak memikirkan persoalan publik dan mendesain program-program solutif.

Mereka justru menjadi sustradara di balik panggung yang mengacak-acak demokrasi. Mereka menjadikan rakyat sebagai amunisi untuk memback-up serta melegitimasi agenda seting tertentu.

Mereka berusaha menjadikan ruang publik terkapitalisasi. Tidak ada dialektika yang memberi ruang bagi rakyat untuk menjadi subyek yang merasa bertanggung jawab dalam memberikan keputusan politik. Rakyat seringkali "didoping".

Semakin terlihat bahwa paradigma pragmatik -kekuasaan amat kuat mewarnai kontestasi politik elektoral. Akibatnya, pentas elektoral hanya dibatasi pada usaha untuk mendapatkan kekuasaan. Elite politik tidak menyediakan narasi empirik-rasional agar disodorkan kepada rakyat sehingga menjadi alasan mengapa seseorang patut didukung.

Mereka hanya menjadikan rakyat sebagai basis penguatan dukungan politik secara kuantitatif, tetapi mendiskualifikasi aspek-aspek kualitatif.

 Keterlibatan rakyat seringkali digeser kepada aspek-aspek periferi. Rakyat tidak lagi menggali, menyelidiki, mengelaborasi sejauh mana konsep liberatif yang diusung, tetapi diperalat untuk menaikan rating politik. Rakyat dimobilisasi untuk mendukung framing dan tagline politik pragmatis.

"Passion" Cendekiawan

Adalah benar bahwa setiap kali momentum politik elektoral, rakyat selalu mengharapkan datangnya pembebas. Jika demikian, wacana publik yang dibangun mesti mengedepankan program-program yang berpijak dan berpihak pada kepentingan rakyat yang didukung dengan intensi edukatif dan diperkuat data empirik.

Keterlibatan rakyat mestinya diarahkan pada hal seperti ini daripada sekadar mendiskusikan konsolidasai politik apalagi mengkoversi embusan isu-isu sensitif menjadi kekuatan politik. Rakyat tidak akan bisa "diselamatkan" karena manuver dan konsolidasi politik pragmatis. Program dan praksis liberatiflah yang menyelamatkan rakyat.

Jika nanti terpilih, program-porgram itulah yang menjadi rujukan rakyat untuk melakukan "gugatan" jika calon pemimpin yang dipilih mengingkari janji. Perlu diingat bahwa orientasi hakiki dari pentas demokrasi elektoral adalah tindakan liberatif transformatif. Inilah yang mesti diselidiki dan dikritisi dalam setiap agenda politik calon pemimpin.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved