Ketika Yesus Dijadikan Iklan, Tulisan Menarik Pendeta Eben Nuban Timo yang Layak Direnungkan

Mulanya saya enggan memberi respons, tetapi setelah saya membaca teks itu beberapa kali, sambil menghubungkannya

Editor: Dion DB Putra
Ilustrasi 

Oleh: Pdt. Ebenhaizer I Nuban Timo
Dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Orang-orang ini adalah makelar injil, saudagar kekristenan. Yesus dijadikan iklan; ibadah dan mujizat penyembuhan direklame; agama dijadikan komoditi.

POS KUPANG.COM -- Seorang teman meminta bantuan saya menjelaskan makna teks Markus14:3-11 bagi kehidupan gereja dan orang percaya di masyarakat kota.

Mulanya saya enggan memberi respons, tetapi setelah saya membaca teks itu beberapa kali, sambil menghubungkannya dengan situasi hidup masyarakat kota saya terinspirasi untuk mengajak diskusi di sekitar tema: Orang Kota: Yesus dan Uang.

Saya mulai dulu dengan menggambarkan dinamika kehidupan di kota supaya nanti kita bisa sama-sama berpikir tentang bagaimana gereja menghadirkan Injil tentang Yesus sebagai jawaban untuk persoalan di kota.

Radjamanikam, teolog asal Thailand menggambarkan kehidupan masyarakat Asia setelah Perang Dunia Kedua sebagai masyarakat yang bergerak ke kota-kota. Kehidupan kota menjadi seperti magnit bagi urbanisasi, terutama angkatan muda; laki-laki dan perempuan.

Akibatnya kota-kota di Asia penuh sesak dengan manusia desa, yang karena belum sepenuhnya melepaskan gaya hidup agraris maka terjadilah berbagai bentuk penyakit (patologi) sosial di kota.

Pengangguran dan kemiskinan menjadi seperti jerawat-jerawat yang tumbuh di hampir seluruh permukaan wajah kota, meskipun orang kota terus mencoba menutupi jerawat itu dengan berbagai kosmetik.

Ebiet G. Ade, musisi ternama tahun 1980-an menulis sebuah lagu berjudul JAKARTA, yang nyata melukiskan jerawat pengangguran dan kemiskinan itu.

Kini ia tidur terlentang di pinggiran jalan;
berselimut sarung tua
bekal dari kerabatnya yang masih tersisa.
Ingin ditulis sepucuk surat buat istrinya;
Bahwa di Jakarta ini bukanlah tempat yang ramah
Dan ia ingin kembali.

Lalu bagaimana gereja dan orang-orang percaya di kota menyikapi masalah ini?
Robert Linthicum, pemikir kristen Kanada yang saya baca buku-bukunya juga memberi gambaran sangat berarti untuk memahami hidup di kota. Salah satu bukunya berjudul: the city of God, the city of Satan.

Orang biasa berpikir bahwa Alkitab umumnya berisi kisah pekerjaan Allah di dalam masyarakat desa. Robert Linthicum justru mengatakan sebaliknya.

Alkitab berisi kisah pergumulan orang-orang percaya untuk memahami kehendak Allah dan firmanNya dalam menata kehidupan mereka di kota-kota.

Dia tunjukkan bahwa Yerusalem, Samaria, Mesir; Babilonia, Asyur, Aram, Korintus, Efesus, Filipi, Roma bukan desa atau kampung. Itu adalah kota-kota besar. Jumlah penduduk Ninewa yang 120.000 jiwa (Yun. 4:11) menjadi bukti bahwa Ninewe adalah kota.

Yang menarik dari kajian Linthicum adalah deskripsi mengenai kehidupan di kota. Linthicum menggambarkan kota sebagai medan pertempuran antara Yahweh dan Baal; antara Allah dan Mammon.

Orang-orang percaya di kota-kota mengaku bahwa Allah adalah nilai tertinggi pengendali hidup mereka, tetapi mereka tidak bisa menghindar dari soal mammon atau uang sebagai alat tukar, bahkan sangat berkuasa mengatur hidup di kota-kota. Kota sebagai medan pertempuran antara Allah dan Mamon tergambar dalam tiga contoh berikut.

Pertama, tukang parkir. Mana yang dia utamakan: mengatur kendaraan agar tertib parkirnya atau tunggu saja terima yang retribusi.

Kedua, ngamen. Kalau begitu terima uang langsung berhenti nyanyi itu tanda dia hanya mau uangnya; tetapi kalau terus nyanyi sampai usai liriknya meski sudah dapat uang, itu artinya dia utamakan kepuasan pendengar.

Contoh ketiga; pegawai negeri atau teller bank. Kalau kepada rakyat biasa dia layani setengah hati, tetapi kepada pejabat atau penguasa dia penuh senyum dan kasih kemudahan antrean, sudah jelas dia melayani mammon.

Kota adalah medan pertempuran antara ketaatan kepada Allah atau pelayanan kepada mammon. Itu bisa kita lihat pada perilaku orang kota terhadap uang. Tidak bisa kita sangkali bahwa semua orang membutuhkan uang; dan bekerja untuk dapat uang.

Tetapi kalau disimak lebih jauh, akan bisa kelihatan tiga tipe perilaku orang-orang kota saat berurusan dengan Yesus dan uang.

Tipe pertama, cukup banyak orang kota yang cari uang dengan mata tertuju kepada Yesus serta pikiran dan hati dipandu oleh firman Allah. Orang-orang seperti ini umumnya belajar mencukupkan diri dengan gaji, berusaha untuk tidak merampas dan memeras; haram untuk tipu-tipu.

Tipe kedua, tidak sedikit orang kota yang menjalani aktivitas kerjanya, mencari rejeki dan mengejar prestasi tanpa pernah pikir tentang Yesus dan sama sekali tidak peduli terhadap firman Allah. Mereka ini menganggap tidak ada masalah kalau ambil uang milik orang lain.

Tipe ketiga juga terbilang sadis. Mereka itu adalah orang kota yang pakai nama Yesus, istilah kerennya mencatut nama Yesus untuk memperoleh uang dan keutungan.

Orang-orang ini adalah makelar injil, saudagar kekristenan. Yesus dijadikan iklan; ibadah dan mujizat penyembuhan direklame; agama dijadikan komoditi.

Hasil dari iklan dan reklame untuk perkuat pundi-pundi denominasi atau pengkhotbah. Orang miskin tidak dipedulikan. Ada juga orang kota yang memeras dan merampas, ambil milik sesama secara diam-diam, lalu makan sendiri-sendiri dan sembunyi.

Uang itu mereka bawa beberapa ratus ribu ke gereja di hari Minggu sebagai persembahan; atau kasih sebagai sumbangan ke pantai asuhan.

Tiga tipe orang beriman yang tinggal di kota-kota tadi kita temukan dalam Markus 14:3-11. Betul bahwa teks ini menjadikan keprihatinan terhadap kehidupan orang miskin yang seumpama jerawat di wajah kehidupan kota-kota modern di Asia.

Teks ini memperhadapkan kepada gereja bagaimana memanfaatkan persembahan anak-anak Tuhan yang dibawa dalam setiap ibadah Minggu untuk menguraikan benang kusut kemiskinan yang membelenggu kehidupan orang kota.

Tetapi soal utama dalam teks itu bukan pada bagaimana gereja menyikapi kemiskinan dan menyelamatkan orang miskin.

Masalah utama dalam teks ini adalah di posisi mana orang percaya di kota-kota harus berdiri pada saat mereka mencari dan membelanjakan uangnya; mentaati firman Allah saat mencari uang; tidak peduli pada firman Allah saat melihat uang; atau menjual Yesus untuk memperoleh uang?

Dalam teks Markus 14:3-11 ada dua tokoh utama yang berurusan dengan Yesus. Tokoh pertama adalah seorang perempuan yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal dalam sebuah acara pesta.

Di cerita Lukas 7:36-40 disebutkan tentang seorang perempuan berdosa yang juga mengurapi kaki Yesus dengan minyak yang mahal.

Ini memang cerita tentang dua perempuan yang tidak sama, tetapi karena ada banyak bagian yang mirip maka kebanyakan warga gereja anggap perempuan dalam Markus 14 dan Lukas 7 adalah tokoh yang sama.

Perempuan dalam cerita Lukas dan Markus bukan murid Yesus; tetapi dalam bekerja dan beraktivitas pikirannya selalu terikat dan tertuju kepada Yesus.

Terbukti perempuan ini memakai uang miliknya untuk melayani Yesus. Perempuan ini termasuk pada tipe pertama orang kota yang saya sebutkan di atas.

Tokoh kedua adalah Yudas. Dia murid Yesus. Sudah jelas mulutnya pasti penuh nama Yesus kalau sedang diskusi atau bersaksi.

Tetapi belum tentu pikirannya tertuju kepada Yesus dan rancangan hatinya dipimpin firman Allah. Ayat 10 -11 tunjuk dengan jelas bahwa yang Yudas pikirkan dan rencanakan selama mengikuti Yesus dan bekerja dalam tim para murid adalah untuk dapat uang sebanyak-banyaknya dan cari popularitas diri. Yudas mengiklankan Yesus.

Memang ironis. Yudas yang adalah murid Yesus justru tidak bertindak seperti murid saat berurusan dengan uang, sementara perempuan tadi, yang digambarkan Lukas sebagai bukan murid, bahkan perempuan berdosa justru lebih bertindak sebagai murid ketika berurusan dengan uang.

Dua sikap ini berpengaruh jangka panjang. Di ayat 9 Yesus tegaskan: Di mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukan perempuan itu akan disebut juga untuk mengingat dia.

Apanya yang diingat? Menurut saya yang diingat itu adalah keberanian perempuan itu, juga kerelaannya membelanjakan uang dalam jumlah besar untuk Yesus juga merupakan kisah yang perlu terus dituturkan.

Adalah naïf kalau perbuatan herotik perempuan itu direduksi dengan mengatakan tidaklah penting besarnya pemberian bagi Yesus. Bagaimana dengan Yudas.

Saya yakin jarang ada orang tua memberi nama Yudas untuk anak-anak mereka. Markus 14:3-11 mau menegaskan bahwa sukses tidaknya perluasan Injil di masyarakat modern yang mendiami kota-kota tidak ditentukan oleh keberhasilan gereja memberi atribut kristen atau murid Yesus kepada orang kota; tetapi menopang mereka untuk mengerjakan pelayanan pengentasan kemiskinan bermotivasikan kasih dan cinta kepada Allah.

Dalam kehidupan kota-kota modern; kita menjumpai tiga tipe manusia di atas. Pertama, ada orang-orang percaya yang menguangkan Yesus. Kedua, ada juga orang kota yang membuat pemisahan antara mencari uang dan percaya kepada Yesus.

Ketiga, ada orang yang memang kadang-kadang mereka gagal, tetapi tetap saja mereka terus berusaha taat pada firman Allah dan berpikir tentang Yesus pada saat mencari uang.

Kalau kita simak tanggapan Yesus kepada tuduhan pemborosan yang dilakoni si perempuan, jelaslah bahwa orang-orang beriman di kota, juga komunitas agama perlu menjaga keseimbangan dan hubungan saling mengisi (dialektika yang kreatif dan transformatif) antara iman kepada Allah dan aktivitas mencari dan memperoleh uang. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved