Libido Kekuasaan yang Cenderung Imoral

Filsuf yang memproklamirkan kematian Tuhan ini memahami kekuasaan sebagai hasrat yang paling alami dari manusia

Editor: Dion DB Putra

Oleh: Dony Kleden
Antropolog, tinggal di Rumah Retret St. Alfonsus, Jl. Katedral No.2 Weetebula Sumba Barat Daya.

Sifat animalis manusia sesungguhnya adalah mau berkuasa dan pada saat yang sama ingin `memangsa'.

POS KUPANG.COM -- Saya rasa, Nietzsche ada benarnya ketika dia mengatakan bahwa, "kehendak sebagai asas dari eksistensi manusia yaitu kehendak untuk berkuasa sebab kehidupan merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan dan perjuangan merupakan hal yang baik".

Filsuf yang memproklamirkan kematian Tuhan ini memahami kekuasaan sebagai hasrat yang paling alami dari manusia (the original desire of people). Dan, bagi Nietzsche, kekuasaan itu bisa diperoleh dengan cara apa saja dan semuanya itu halal.

Libido Kekuasaan

Pemahaman Nietzsche yang demikian ini rasanya juga sangat berbicara dalam konteks kita sebagai sebuah bangsa yang besar, bangsa Indonesia. Percaturan dan "akrobat" politik kita belakangan ini, hemat saya sangat didorong oleh libido atau hasrat akan kekuasaan.

Kekuasaan membuat orang menjadi beringas. Kekuasaan membuat orang sampai menggadaikan dirinya dan orang lain. Dan hanya karena kekuasaan orang bisa kehilangan segalanya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kekuasan adalah masalah urusan memuaskan hawa nafsu atau libido.

Kaum pragmatis, salah satu yang terkenal hingga hari ini adalah Harold Dwight Laswell (1902-1978), memahami politik sebatas urusan merebut kekuasaan. Lasswell (1936) bahkan dengan sinis memaknai politik sebagai who gets what, when, and how -siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.

Tidak mengejutkan, profesor yang dikenal dengan sebutan "one-man university" ini memang dipengaruhi paradigma pragmatisme semenjak belajar di Universitas Chicago pada dekade 1920-an.

Lasswell selalu menggunakan tiga perspektif dalam memahami realitas sosial-politik yaitu personalitas, struktur sosial, dan kultur.

Tiga kombinasi yang menyempurnakan watak pragmatis seorang Lasswell dan membuat bacaannya lebih akurat dan kontekstual hingga hari ini. Tak ada yang menyangkal, politik hari ini pun sebatas libido kekuasaan.

Ia seperti mahluk telanjang yang pornoaktual sekaligus pornografik-memikat orang untuk bersenggama tanpa sense of morality! Medan politik bergeser dari ranah moral menjadi pasar kepentingan seperti dalam anggapan Schumpeterian (Hargens, 2017).

Pertanyaannya adalah, apakah kekuasaan yang demikian ini salah? Apakah usaha orang untuk memenuhi the original desire ini salah? Pertanyaan yang demikian ini tentu tidak bisa dengan serta merta dijawab dengan ya atau tidak.

Masalahnya adalah manusia adalah satu-satunya makhluk yang berakal budi. Dan fungsi utama dari akal budi adalah men-drive kesadaran agar tidak terjebak dalam sifat animalis yang cenderung liar.

Kesimpulannya jelas bahwa dorongan itu pada dirinya sendiri adalah netral, tetapi keputusan dalam menyikapi dorongan itulah yang harus dipertanggungjawbakan secara moral.

Kita bisa mengatakan bahwa perburuan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara adalah tindakan yang imoral, yang dikuasi oleh sifat-sifat animalis dalam dirinya. Mereka adalah orang-orang yang rasionalitasnya kalah dengan hasrat alamiahnya yang sulit dibendung.

Kalau memang demikian, bisa dipastikan bahwa pada gilirannya nanti, kekuasaan yang dipegangnya pun sangat rentan dengan tindakan dan keputusan-keputusan yang tidak rasional dan malah cenderung memangsa dan memberangus yang lain.

Mengapa? Karena bagi mereka, kehadiran yang lain adalah ancaman akan kenyamanan kekuasannya.

Kekuasaan dan Moral

Apakah kekuasaan dan moral bisa disandingkan sebagai dua hal yang saling mengandaikan? Ataukah keduanya harus ditempatkan dalam bilik yang berbeda karena kekuasaan dan moral memang pada dasarnya tidak bisa bersanding?

Pertanyaan ini rasanya perlu diurai lebih cermat dan cerdas. Mengapa? Karena tidak sedikit orang termasuk para politisi yang haus akan kekuasaan, merasa bahwa kekuasaan itu harus mengapkirkan dirinya dari moral.

Pemahaman yang demikian ini rasanya sangat naif. Ada dua kemungikinan yang dalam hemat saya bisa ditelusuri lebih jauh.

Pertama, ada kemungkinan bahwa orang yang mengatakan kekuasaan itu harus apkir dari moral karena memang orang itu tidak mengerti dengan baik konstruksi sebuah kekuasaan yang seharusnya di dalamnya ada hadir moral.

Kedua, karena orang memang ingin menjauhkan moral itu dari kekuasaan demi empuk dan nyamannya kekuasaan walaupun tahu bahwa moral memang sama sekali tidak bisa diapkir dari adanya kekuasaan.

Libido kekuasaan yang cenderung imoral adalah cermin buram bangsa yang mau tidak mau harus segera disudahi. Dan untuk menyudahi libido kekuasaan yang cenderung imoral ini, bangsa kita membutuhkan warga negara yang cerdas, kristis, tanggap dan tangguh dalam memerangi segala bentuk kejahatan dalam perburuan sebuah kekuasaan.

Usaha yang demikian ini memang tidak mudah karena kita akan berhadapan dengan kaum pragmatis radikal yang cenderung kasar dalam memburu kekuasaan. Tetapi kita tidak punya pilihan lain. Justru dalam konteks inilah kecerdesan dan komitmen kita diuji.

Dan dalam ujian ini, kita semua berharap bahwa kita keluar sebagai pemenang untuk membunuh libido kekuasaan para kaum pragmatis yang cenderung animalis dan imoral. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved