Inilah Kosa Kata Baru Bahasa Indonesia yang Diambil dari Bahasa Manggarai

Entah yang sarkastis, hiperbolis, mencerca, mencela, mengunggulkan, menyanjung-nyanjung pasangan cagub/cawagub

Editor: Dion DB Putra
Ilustrasi 

Oleh: Drs.Willem B Berybe
Mantan guru dan peminat bahasa

POS KUPANG.COM -- Sejenak kita keluar dari ruang gemuruh drama Pilkada NTT yang kian hingar- bingar di media sosial. Hampir tiada hari tanpa cuitan status.

Entah yang sarkastis, hiperbolis, mencerca, mencela, mengunggulkan, menyanjung-nyanjung pasangan cagub/cawagub pujaan masing-masing. Semua tersaji apik. Inilah demokrasi. Ini keterbukaan dan efek teknologi informasi yang tak terbendung.

Ada keunikan tersendiri dalam "perang" di medsos ini. Ketika warga Manggarai membuat status atau membalas kiriman teman, mereka juga menggunakan bahasa Manggarai rada puitis.

Misalnya, Ceing kaut ata cau landuk, neka pande beti nai de ro'eng, yang artinya siapa pun yang jadi bupati/gubernur, jangan (berbuat) menyakiti hati rakyat.

Ungkapan `cau landuk' (cau=pegang, landuk= kayu patok pilihan yang ditancapkan di titik pusat lingkaran lodok dalam sistem pertanian jaring laba-laba) bermakna memegang tampuk pimpinan sebagai kepala daerah tingkat kabupaten/kota atau provinsi.

Bahasa sebagai alat komunikasi adalah keniscayaan. Dan, bahasa-bahasa daerah pun memiliki nilai untuk berkomunikasi secara efektif oleh para penutur asli bahasa tersebut `They have also shown the value of local language for effective communication with the native speakers of these languages' demikian Robert Lado (1961).

***
Dureng. Ini kata Bahasa Manggarai. Salah satu bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur. Wilayah linguistiknya mencakup seluruh daratan Manggarai (kabupaten Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat) dan pulau-pulau sekitarnya.

Linguis berkebangsaan Belanda yang juga misionaris dan pernah berkarya di Manggarai, pater Jilis A J Verheijen SVD adalah salah satu peneliti Bahasa Manggarai yang hasil penelitiannya berupa buku sering dijadikan sumber dan referensi karya ilmiah tentang Bahasa Manggarai.

Andaikata beliau masih hidup, ia pasti bahagia sekali melihat perkembangan kosa kata Manggarai yang masuk kamus besar Bahasa Indonesia untuk digunakan dalam berkomunikasi.

Dureng berarti musim hujan yang terus-menerus dan berlangsung lama. Kata ini sudah masuk dalam KBBI V, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima, dan sempat dipublikasikan oleh Kantor Bahasa NTT melalui rubrik Ihani (Istilah Hari Ini) edisi 13 Januari 2018 melalui media sosial.

Dengan demikian, kata ini boleh digunakan dalam bahasa Indonesia. Contoh, `Selama musim dureng, air pada sumur-sumur warga kota Kupang dan sekitarnya meluber'. Kalimat yang biasa digunakan selama ini `Selama musim hujan, air pada sumur-sumur warga kota Kupang dan sekitarnya meluber'.

Konstruksi istilah `musim hujan' amat dipengaruhi oleh format bahasa Inggris `wet season' atau `rainy season'. Bahasa Indonesia lebih memilih `rainy season' dan bukan `wet season'. Aneh rasanya bila dipadankan dengan `musim basah' sebagai lawan dari musim kering (dry season).

Masuknya kata dureng merupakan penciptaan kata baru dalam Bahasa Indonesia sebagai terjemahan ungkapan `musim hujan' dari frasa rainy season. Di sini kata dureng akan berlawanan (antonim) dengan kata `kemarau'. Kata kemarau memang kata dalam Bahasa Indonesia.

Namun, dalam Bahasa Manggarai juga ada kata yang berarti kemarau yaitu `walis'. Karena itu ungkapan `du dureng' dan `du walis', waktu musim dureng (musm hujan) dan waktu musim kemarau sering muncul dalam percakapan sehari-hari.

Pasangan kata dureng dan kemarau terbentuk dari kata asli yang dipadankan dengan frasa musim hujan, wet season atau rainy season, dan musim kering/panas dari frasa `hot season' atau `dry season' dalam bahasa Inggris.

Bentuk penciptaan kata dalam Bahasa Indonesia antara lain berasal dari bahasa daerah. Cukup banyak kata-kata Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa daerah dapat kita temukan dalam kamus-kamus, KBBI, sebut saja kebyar (Jawa) yang berarti bergemerlapan.

Kata lampias ternyata berasal dari bahasa Jakarta yang berarti lancar dan deras mengalir (keluar), atau orang Lampung menyebut tikar kecil dengan lampik dan sebagainya. Masuknya kata dureng dalam kosa kata Bahasa Indonesia merupakan upaya pengembangan Bahasa Indonesia yang semakin terbuka.

Unsur-unsur kedaerahan dalam aneka bahasa etnik di bumi nusantara ini diambil sebagai penguat bahasa nasional sendiri dan pilar NKRI. Menurut Soenjono Dardjowidjojo ada tiga komponen dalam upaya pengembangan bahasa yaitu sintaktik, fonologi, dan semantik (Harian Kompas, 31 Oktober 1986).

Kosa kata tercakup dalam wilayah semantik. Menilik ulasan Soenjono Dardjowidjojo itu, kata dureng dapat dinilai memenuhi kriteria berdasarkan prinsip kebutuhan kata baru dalam Bahasa Indonesia dengan pertimbangan faktor konsep baru yang memiliki padanan kata yang persis sama dengan bahasa nasional `musim hujan'. Jadi sama dengan kata `dureng'.

Pembiasaan dan pembudayaan kata dureng dalam pergaulan bahasa (komunikasi lisan dan tertulis) menjadi masalah akibat keterlanjuran penggunaan frasa `musim hujan' di kalangan pengguna Bahasa Indonesia.

Kendala dalam usaha memperkenalkan pemakaian bahasa daerah, menurut Soenjono Dardjowidjojo, adalah daerah-daerah lain tidak mengenalnya. Ini tentu berlaku pada kata dureng yang hanya dikenal oleh orang Manggarai dan sekitarnya.

Teori linguistik mengatakan bahwa salah satu ciri bahasa ialah kebiasaan ( a habit). Yang pasti, para pemakai bahasa (penulis buku, novel, cerpen, guru, dosen, pegawai, penyiar) dan masyarakat luas tidak ragu-ragu menggunakan kata dureng baik secara lisan maupun tertulis.

Emily Dickinson, penyair kenamaan asal Amerika, membuat sebuah puisi definitif yang menarik tentang kata: a word is dead/when it is said/some say/ I say it just/begins to live/that day.

Definisi kata secara puitis ini adalah sesuatu (sebuah kata) mulai hidup ketika kata tersebut dipakai, meski pendapat lain mengatakan sebuah kata itu mati begitu ia diucapkan (digunakan).

***

Pertanyaan Soenjono Dardjowidjojo, apakah ada padanan kata dari suatu bahasa daerah yang persis sama dengan bahasa nasional kita? Padanan bahasa daerah dengan bahasa nasional yang digunakan para penulis dapat kita jumpai dalam karya sastra.

Kata `Inan' dan `Aman' yang dipadankan dengan kata `ibu' dan `bapak' dalam novel Doben (2016) karya Maria Matildis Banda pada halaman 2 dan 3 berasal dari kata bahasa daerah di Timor Timur (kini Timor Leste).

Novel Doben berlatar Timor Leste. Dua kata, Inan dan Aman, memiliki kemiripan gejala bunyi (fonologi) pada kata ine, ina (ibu/bunda) dan ama, ame, ema (bapak/ayah) di daratan Flores dan sekitarnya.

Penggunaan kata yang berasal dari bahasa daerah dalam bahasa nasional pada akhirnya disesuaikan dengan jenis produk karya tulis atau konteks pembicaraan (lisan, percakapan).

Diharapkan perluasan pemakaian kata dureng sudah bisa dilakukan dengan cara memasukkannya dalam teks buku pelajaran Geografi, Sosiologi, Bahasa Indonesia, Sastra (novel, cerpen) terutama di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi. Inilah sumbangsih daerah NTT di bidang bahasa dengan masuknya kata dureng sebagai lawan kata kemarau. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved