Inilah Kosa Kata Baru Bahasa Indonesia yang Diambil dari Bahasa Manggarai
Entah yang sarkastis, hiperbolis, mencerca, mencela, mengunggulkan, menyanjung-nyanjung pasangan cagub/cawagub
Pasangan kata dureng dan kemarau terbentuk dari kata asli yang dipadankan dengan frasa musim hujan, wet season atau rainy season, dan musim kering/panas dari frasa `hot season' atau `dry season' dalam bahasa Inggris.
Bentuk penciptaan kata dalam Bahasa Indonesia antara lain berasal dari bahasa daerah. Cukup banyak kata-kata Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa daerah dapat kita temukan dalam kamus-kamus, KBBI, sebut saja kebyar (Jawa) yang berarti bergemerlapan.
Kata lampias ternyata berasal dari bahasa Jakarta yang berarti lancar dan deras mengalir (keluar), atau orang Lampung menyebut tikar kecil dengan lampik dan sebagainya. Masuknya kata dureng dalam kosa kata Bahasa Indonesia merupakan upaya pengembangan Bahasa Indonesia yang semakin terbuka.
Unsur-unsur kedaerahan dalam aneka bahasa etnik di bumi nusantara ini diambil sebagai penguat bahasa nasional sendiri dan pilar NKRI. Menurut Soenjono Dardjowidjojo ada tiga komponen dalam upaya pengembangan bahasa yaitu sintaktik, fonologi, dan semantik (Harian Kompas, 31 Oktober 1986).
Kosa kata tercakup dalam wilayah semantik. Menilik ulasan Soenjono Dardjowidjojo itu, kata dureng dapat dinilai memenuhi kriteria berdasarkan prinsip kebutuhan kata baru dalam Bahasa Indonesia dengan pertimbangan faktor konsep baru yang memiliki padanan kata yang persis sama dengan bahasa nasional `musim hujan'. Jadi sama dengan kata `dureng'.
Pembiasaan dan pembudayaan kata dureng dalam pergaulan bahasa (komunikasi lisan dan tertulis) menjadi masalah akibat keterlanjuran penggunaan frasa `musim hujan' di kalangan pengguna Bahasa Indonesia.
Kendala dalam usaha memperkenalkan pemakaian bahasa daerah, menurut Soenjono Dardjowidjojo, adalah daerah-daerah lain tidak mengenalnya. Ini tentu berlaku pada kata dureng yang hanya dikenal oleh orang Manggarai dan sekitarnya.
Teori linguistik mengatakan bahwa salah satu ciri bahasa ialah kebiasaan ( a habit). Yang pasti, para pemakai bahasa (penulis buku, novel, cerpen, guru, dosen, pegawai, penyiar) dan masyarakat luas tidak ragu-ragu menggunakan kata dureng baik secara lisan maupun tertulis.
Emily Dickinson, penyair kenamaan asal Amerika, membuat sebuah puisi definitif yang menarik tentang kata: a word is dead/when it is said/some say/ I say it just/begins to live/that day.
Definisi kata secara puitis ini adalah sesuatu (sebuah kata) mulai hidup ketika kata tersebut dipakai, meski pendapat lain mengatakan sebuah kata itu mati begitu ia diucapkan (digunakan).
***
Pertanyaan Soenjono Dardjowidjojo, apakah ada padanan kata dari suatu bahasa daerah yang persis sama dengan bahasa nasional kita? Padanan bahasa daerah dengan bahasa nasional yang digunakan para penulis dapat kita jumpai dalam karya sastra.
Kata `Inan' dan `Aman' yang dipadankan dengan kata `ibu' dan `bapak' dalam novel Doben (2016) karya Maria Matildis Banda pada halaman 2 dan 3 berasal dari kata bahasa daerah di Timor Timur (kini Timor Leste).
Novel Doben berlatar Timor Leste. Dua kata, Inan dan Aman, memiliki kemiripan gejala bunyi (fonologi) pada kata ine, ina (ibu/bunda) dan ama, ame, ema (bapak/ayah) di daratan Flores dan sekitarnya.
Penggunaan kata yang berasal dari bahasa daerah dalam bahasa nasional pada akhirnya disesuaikan dengan jenis produk karya tulis atau konteks pembicaraan (lisan, percakapan).
Diharapkan perluasan pemakaian kata dureng sudah bisa dilakukan dengan cara memasukkannya dalam teks buku pelajaran Geografi, Sosiologi, Bahasa Indonesia, Sastra (novel, cerpen) terutama di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi. Inilah sumbangsih daerah NTT di bidang bahasa dengan masuknya kata dureng sebagai lawan kata kemarau. *